Beberapa buku pelajaran telah ada dalam pelukan, langkah gontai pun ditapakan tepat di atas bumi semesta. Kembali menuju sekolah untuk menimbah ilmu, itu adalah rutinitasku sebagai seorang siswa. Setibanya di dapan pintu gerbang, sebuah motor tengah mendekat dari jarak hanya sekitar satu meter.
Seketika aku menatap siapa orang yang ada di belakang, dengan pongahnya dan angin pagi seolah membawa ekspresi ini untuk tetap berada dalam tatapan sejurus. Setibanya wajah menuju orang tersebut, aku tercengang. Penglihatan tidak lazim telah ada di sana, dia bukan siapa-siapa tetapi pernah ada dalam hidup ini.
Kehadiran sang mantan ke SMK yang ternyata dia adalah anak baru. Namun, aku tidak tahu dia akan masuk kelas yang mana. Soalnya di sini banyak jurusan dan pilihan itu telah ditetapkan olehnya beberapa hari yang lalu ketika mendaftar. Perasaan dalam jiwa bergejolak kembali, aku pun menolehnya yang sedang memainkan ponsel di samping portal bertuliskan nama dari sekolah.
Kemudian dia pergi begitu saja bersama motor metiknya memasuki pintu gerbang, bersama seragam yang rapi tetapi jilbabnya berkibar seperti bendera pada acara pengibaran setiap hari Senin. Aku pun mendadak kaget, tak biasanya kulakukan hal demikian dan berdiam diri di pintu gerbang sekolah.
"Andy ...!" teriak orang dari belakang lagi, belum lama aku menatap depan dan memerhatikan di mana mantan memarkirkan motornya.
Dalam sekelebat penglihatan, kubuang tatapan ke belakang dan menoleh dengan sangat lambat seperti aplikasi slow-mo pada ponsel berlisensi apple. Tampak jelas dari kedua netra, kalau Risma telah ada di tepian trotoar dan ingin menyeberangi jalan raya. Namun, wanita berjilbab putih itu takut untuk lewat dikarenakan volume kendaraan lalu lalang tanpa henti.
Dengan sigap, pak satpam pun datang dan memberikan aba-aba untuk menyeberangkan siswa dan siswi, mereka menghambur untuk menuju depan pintu gerbang sekolah dan Risma memberhentikan motornya. Siswi berwajah glowing itu menatap spion motornya, sebelum dia kembali menolehku sesaat di posisi.
"Andy, kau ngapain di sini?" tanyanya penuh selidik.
"Ak-aku, aku nunggu kau, lah. Kan, tadi yang manggil adalah kau," jawabku terbata-bata.
"Ah, iya, kah? Kenapa nungguin aku. Ya, udah, masuk aja sana." Dengan pongahnya, Risma mempersilakan.
"Dasar enggak tahu diri, tadi manggil sekarang nyuruh masuk," omelku sendiri dengan nada suara pelan.
Risma masih berada di ambang pintu gerbang, entah apa yang akan dia lakukan di sana. Karena merasa sangat terlambat, aku segera memasuki halaman sekolah yang sudah tidak ada guru sama sekali untuk bersalaman. Siswa dan siswi masih ada yang melintas, tetapi tidak banyak.
Sekilas aku menapak dan berjalan menuju lapangan sepak bola, kemudian dari belakang badan sebuah suara muncul lagi sangat keras. Rupanya itu adalah ulah anak laki-laki jurusan TKJ. Mereka selalu urak-urakan ketika masuk sekolah, apalagi motornya oblong dan mengganggu pendengaran.
Menghela napas berat, seraya lanjut menuju lapangan sepak bola, sebuah teriakan pun terdengar lagi. "Andy ...!"
Secara saksama, aku memutar badan seraya menatap mantap siapa gerangan orang di belakang. Ya, dia adalah Nazmitha dan Tini. Kedua wanita kocak itu hadir di antaraku saat ini. Tak biasanya mereka hadir sangat pagi, bahkan lebih pagi dari biasanya.
"Hey, kalian kenapa seperti dikejar hantu gitu?" tanyaku penasaran.
"Kami tadi lari-lari karena takut terlambat. Eh, enggak tahunya masih ada siswa yang melintas juga. Syukur ...." Tini mengelus dadanya.
"Memang udah terlambat bodoh, coba lihat di sana." Selepas menunjuk, aku pun berlari menuju barisan paling pinggir.
"Astaga! Jam tanganku rusak, bodoh banget aku!" pekik Tini yang mengikuti dari belakang.
Setibanya di barisan paling pinggir, kami pun berjajar rapi dan mengikuti acara di depan fodium. Pembiasaan setiap hari Sabtu adalah bernyanyi dan membacakan segala karya sastra dalam bahasa Inggris. Sementara ini, perwakilan yang maju adalah dari SMK gedung satu, sehingga kami sekadar memerhatikan.
"Selepas ini siapa yang akan maju ke depan, ya?" tanya Nazmitha di sampingku.
"Enggak tahu, sepertinya anak akuntansi satu. Karena Sir bilang, akan ada perwakilan dari SMK kita untuk maju minggu ini." Tini sulastri menjelaskan.
Guru bahasa Inggris yang setiap hari menjaga laboratorium bahasa pun berdiri tegap di depan fodium, dia memberikan kata sambutan seraya bertepuk tangan pada siswa yang berani maju ke depan. Sementara netranya seperti tengah mencari bakat lagi, dia pun mengarah ke anak akuntansi satu.
"Baiklah, kita akan menunjuk satu kelas lagi dan berasal dari anak akuntansi. Apakah kalian sudah siap ...!" teriaknya menggunakan pengeras suara.
"Siap, Mom ...," jawab siswa serempak.
"Oke, perwakilan dari kelas akuntansi tiga, silakan maju dan tunjukan bakat kalian di sini." Guru bahasa Inggris pun bungkam setelah menunjuk.
Sementara kami saling tukar tatap dan memang belum ada persiapan latihan. Maya yang ada di belakang telah berkacak pinggang seperti sangat acuh gitu, wanita pintar main alat musik gitar di sekolah sangat tidak tertarik untuk tampil mewakili kelas.
"Ayo, wey, kalian maju. Kalau enggak kita akan kena jemur di lapangan sepak bola," ujar Risma dengan nada suara gemetar.
"Ya, udah, kalian maju sana," jawab Maya sekenanya.
"Wih ... malu kali kita enggak ada yang maju," sambung Risma lagi.
"Percuma ada yang jago bahasa Inggris, kalau enggak mau maju ke depan."
Mendadak barisan kami sangat ricuh dan ribut, akibat tidak ada yang mau menunjukan taringnya di depan umum. Aku adalah anak baru, sehingga sedikit takut untuk berbicara di wilayah yang baru saja aku datangi. Namun, karena tuntutan dari pembelajaran, akhirnya kedua kaki ini pun berjalan membawa ransel dan menyibak semua yang menghalangi.
Para sahabat menyingkir tanpa di suruh, aku berjalan di tengah keramaian dan membawa kamus besar dipelukan. Sebagai rutinitas setiap hari, susu putih telah ada bersamaku dalam menjalani aktivitas. Seluruh pasang mata tercengang, kakak kelas juga terbelalak karena heran dengan aksiku pagi ini.
Mereka tidak pernah melihat aku sebelumnya, karena memang sejak awal masuk aku tidak pernah keluar dari dalam ruang kelas. Sementara dari belakang, Maya pun mengikuti dengan membawa gitar kesayangannya yang dia titipkan di kantin Bu Eem.
Kami bersama-sama melangkah maju tanpa persiapan latihan sama sekali, bermodalkan nekat dan hanya pasrah hasilnya seperti apa. Setibanya di fodium, Maya mendudukan badan di samping kanan, dan aku di kiri. Wanita tomboy itu mulai mensetel kunci gitar sesuai dengan nada suaraku.
"Wah, baru kali ini ada yang maju untuk bernyanyi dengan menggunakan gitar. Apalagi yang menjadi gitarisnya adalah perempuan, mereka adalah contoh baik untuk kalian semua." Guru bahasa Inggris berujar dan memuji Maya.
Untuk bermain gitar, aku belum paham benar cara memetik senarnya, sehingga kuserahkan pada Maya yang sangat ahli dibidang alat musik tersebut. Akan tetapi, sang sahabat tidak paham berbahasa Inggris, menjadikan aku tumpuan sebagai vokalis untuk menyuarakan bait-bait lagu.
Kami adalah paket komplit, karena memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing untuk menjadi paduan yang sempurna. Sementara di kelas, telah ada wanita pintar belajar akuntansi hingga membuat guru-guru tercengang, akan tetapi dia tidak bisa main alat musik dan hanya monotone pada pelajaran saja.
Sebagai siswa yang memahami alat musik, kami memanfaatkan hobi itu untuk menarik simpati para guru, agar mereka tidak mengatakan bahwa kelas kami adalah buangan anak jin. Pernah terdengar olehku, dan membuat kecewa beberapa hari lalu.
Bersambung ...

KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Ku
Teen FictionMenceritakan kehidupan seorang guru, terinspirasi dari kisah nyata penulis menjadi pendidik hingga menuai berbagai konflik dalam hidup.