Bab 26

138 3 0
                                    

Bersama dengan sang adik, aku pun mengendarai motor menuju sekolah bersama-sama. Sebagai rutinitas anak sekolah yang taat peraturan guru, orangtua, nusa dan bangsa. Banyak para siswa lalu lalang tanpa henti, mereka memakai simbol yang sama dengan aku.

Tepat di ujung netra, seorang wanita tengah berhenti di depan masjid berwarna hijau. Ya, tempat favorite para polisi ketika hendak merazia siapa pun yang tak taat peraturan, mereka tidak pandang bulu dan hanya fokus menjalankan tugasnya.

Bahkan pagi-pagi buta sudah berdiri dan menyetop, akan tetapi yang aku tahu, kalau anak sekolah sudah pasti tidak punya SIM. Karena kami belum cukup umur dalam memiliki kriteria mengendara. Namun, kesalahan bagi anak sekolah adalah—menggunakan kendaraan yang diperuntukan untuk orang cukup umur.

Karena siswa sudah mahir menyupir, banyak anak sekolah menggunakan motor di jalan besar. Bahkan anak SMP yang umurnya di bawah kami pun banyak melintas, dengan berbagai motor keluaran negara Tirai Bambu. Namun, tampaknya pagi ini polisi sedang terlelap, hari Senin merupakan hal wajar jika aparat berjaga di pos.

Aku dan sang adik pun santai dalam membawa motor, menghirup udara segar seperti telah keluar dari penjara. Namun, yang membuat kami harus waspada adalah—polisi kerap keluar dari balik kerumuman orang banyak. Sehingga tertangkap tanpa syarat dan kata-kata. Jangankan menggunakan helem, lampu motor kami juga sangat padam beberapa abad yang lalu.

Kebiasaan buruk itu kami alami beberapa minggu saja, sangat tidak patuh sebenarnya, tetapi apa boleh buat. Karena ayah dan ibu tidak memerhatikan kendaraan yang kami bawa setiap hari. Tidak dengan mereka, menggunakan motor yang teramat cantik keluaran terbaru. Jadi, semuanya hidup lengkap.

Apalagi tentang pajak dan surat-surat, kami seperti tengah mengantarkan motor itu pada polisi saja. Sepanjang jalan menuju sekolah, aku tak henti-hentinya berzikir dan membaca surah pendek. Demi keselamatan, dan yang paling utama terhindar dari bahasa polisi.

Yang aku maksud bukan polisi tidur seperti yang ada dikebanyakan jalan aspal, tetapi berseragam hijau kalau manusia lewat selalu membelokkan kendaraan dengan paksa. Tak berapa lama, aku dan Siti melintasi jalan segitiga yang membelah pulau Sumatera.

Kami pun berbelok sebelah kiri dan berhenti di trotoar. "Dek, aku turun di sini aja."

"Lah, apa bedanya kau ikut menyeberang dengan aku ke sana," jawab Siti sekenanya.

"Kalau kau berhenti di sini, sama saja aku akan ke jalan sebelah sana dan menyeberang. Gimana, sih!" pekiknya.

Dengan menggaruk kepala, aku pun paham dengan kata-kata sang adik. "Oh, iya, aku paham. Tapi setidaknya ketika kau menyeberang tidak berat, jadi bisa tancap."

"Hmmm ... kau mengajari aku untuk jadi pembalap?" Bersama omelan, Siti pergi tanpa pamit.

Menapaki jalan yang telah ada garis putih dan hitam, aku melintas penuh hati-hati. Peran penting satpam sekolah ketika pagi hari, berdiri di tengah jalan raya dan membiarkan anak sekolah untuk masuk ke dalam perkarangan. Ya, satpam milik sekolah ada tiga orang. Sehingga kami merasa sangat aman ketika sampai tempat tujuan.

Tanpa menunggu siapa pun, aku bergerak masuk seraya bersalaman dengan para guru. Tenaga pendidik sekolah telah ada yang berjajar rapi seperti membentuk formasi bodyguard, mereka siap menyapa seluruh siswa dengan membuang tatapan semringah.

Karena masih terlalu pagi, guru yang hadir di sana juga masih ada satu orang saja. Kepala sekolah adalah orang pertama hadir, meskipun berusia senja, semangatnya patut diacungi jempol. Karena bapak itu sangat tepat waktu, tidak pernah ketinggalan ketika datang ke sekolah.

"Selamat pagi, Pak," ucapku memberikan salam.

"Selamat pagi, Nak," jawabnya lembut.

Setelah bersalaman, aku pun berjalan menuju sebuah tempat duduk yang masih kosong. Bangku berwarna biru terbuat dari besi, meskipun masih basah karena hujan, membuat diri ini membersihakan lebih dulu. Kemudian aku mendudukan badan seraya menatap sejurus ke ruang UKS.

Tepat di ujung netra, sebuah penglihatan tidak biasa pun hadir di sana. Karena para siswa tengah masuk dan entah hendak melakukan apa. Yang aku tahu selama sekolah di sini adalah—ruang UKS selalu tertutup dan tidak pernah terbuka.

Dari samping kiri, Cici pun datang seraya berjalan santai. "Hai, sendirian aja."

"Hai, Ci. Iya, aku lagi nunggu Maya. Kau juga sendiri?" tanyaku pada teman satu kelas.

"Aku cariin Nazmitha enggak nampak, kau melihat dia?" Cici malah balik nanya.

Karena memang tidak tahu, aku menggelengkan kepala seraya membuang tatapan menuju parkiran. Cici pun mendudukan badan di sampingku, kami berjajar rapi dan siap untuk mengikuti kegiatan Upacara Bendera.

Siswa dan siswi simpang siur dari tadi, mereka membawa motornya dan masuk ke gedung dua bangunan sekolah. Anak dari SMK satu memang seperti itu, memarkirkan motornya berbeda dari SMK dua dan SMA. Sementara SMP juga bergabung bersama di gedung satu.

Lama kelamaan, sekolah pun penuh, lebih kurang lima ratus orang. Namun, aku sampai saat ini tidak melihat batang hidung Maya dan Tini. Kedua siswi somplak yang kalau bicara apa saja selalu lucu.

"Andy, kau udah siap tugas dari Pak Sugi?" tanya Cici spontan.

Mendengar ucapan itu aku menoleh. "Udah, Ci. Kalau kau udah siap juga?"

"Aku enggak ngerti cara mengerjakannya, karena memang enggak pernah paham dengan bahasa Inggris, sih," jawabnya jujur.

"Kan, ada google translate. Semua sudah canggih, Ci, ngapain bingung-bingung!" jelasku.

"Bukan itu masalahnya, karena mengerjakan soalnya pakai rumus juga. Kalau salah dari awal, pasti salah semua," pungkasnya seraya menatap wajah dengan cermin kecil.

"Iya, sih ... jawaban aku belum tentu benar juga. Karena ngerjakannya sambil tiduran," jelasku.

Tidak berapa lama, Tini pun datang dari samping kanan bersama dengan Nazmitha. Entah di mana mereka bertemu, bisa satu jurusan padahal berbeda kecamatan. Setibanya mereka di bangku, langsung mengambil napas berat.

"Kenapa kalian ngos-ngosan?" tanyaku.

"Kami tadi hampir kena razia di luar!" seru Nazmitha.

Deg—

'Mampus! Jadi di luar tadi ada razia? Aduh ... adik aku kena enggak, ya? Kalau ketangkap bagaimana dia?' tanyaku dalam hati.

"Kenapa kau diam aja, Ndy? Enggak seperti biasanya," kata Nazmitha.

"Eng-enggak, aku lagi kepikiran sesuatu."

Tidak berapa lama, bel pun berbunyi dan membuat para siswa harus berkumpul di lapangan. Masing-masing siswa pun mengambil topi dan dasi dari dalam tas. Sedangkan aku sudah memakainya dari rumah, sehingga tidak repot lagi ketika bel telah berbunyi.

Kami pun berjalan menuju lapangan, berbaris rapi sesuai dengan kelas masing-masing. Tepat di samping badan, Maya tidak ada dan entah pergi ke mana dia. Sejak tadi, aku sudah berpikir buruk kalau dia telah tertangkap polisi. Untuk surat pemberitahuan sakit atau izin tidak ada, karena biasanya juga teman-teman memberikan padaku.

Upacara berlangsung, membuat kami harus mengikuti kegiatan pertama dengan terpaan matahari menyapa kulit. Semburat matahari pun seakan ikut ambil andil dalam upacara. Yang memberikan amanat adalah Bu Rani, dia sudah naik fodium dan memberikan pengarahan.

Kami sedikit lega, karena Bu Rani selalu memberikan nasihat yang padat dan singkat. Sehingga upacara pagi ini tidak terlalu lelah, kami pun selesai juga di penghujung acara. Selepas berdoa, kami bubar barisan teratur dan menuju kelas masing-masing.

Untuk di sekolah ini, tidak ada yang namanya berbaris di depan kelas, karena ruangan kami memiliki empat lantai.

Bersambung ...

Diary KuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang