Tepat di dalam kamar, aku masih sibuk mengerjakan tugas yang telah menumpuk. Memang semua tugas itu akan dikumpulkan seminggu lagi. Namun, apa salahnya jika diselesaikan tanpa menunggu yang lain datang.
Perlahan sang waktu bergulir bersama udara yang kian dingin, angin sepoi-sepoi datang dari lubang ventilasi dan meyergap badan. Seraya mendudukan badan, aku menatap layar ponsel di atas nakas. Notifikasi datang dari grup BBM, sebuah aplikasi yang maaih sangat booming untuk saat ini.
Secara saksama, aku pun membaca grup di sekolah dan seketika senyum itu datang setelah tingkah para sahabat di sana. Namun, sampai saat ini aku masih menjadi penonton setia, karena tidak tertarik untun bercanda bersama mereka.
Selepas membaca aku meletakan kembali ponsel tersebut di samping nakas, netra pun sejurus pada tugas yang hanya beberapa pertanyaan lagi sudah selesai. Belum pun menulis nomor terakhir, pesan BBM datang dari orang yang aku tidak tahu. Seketika perasaan sangat kepo setelah mendapati emotikon love terang-terangan terkirim di chat pribadiku.
'Ini pesan dari siapa, ya? Kok, foto profilnya enggak ada. Atau jangan-jangan Maya yang lagi ngerjain aku? Tapi enggak mungkinlah, kalau jam segini pasti dia sudah molor. Hmmm ... biarkan sajalah, besok akan aku tanya pada Maya di sekolah.'
Selepas bersenandika, aku menutup buku dan lampu di meja belajar. Dengan suasana sedikit temaram, aku mencoba untuk menutup netra dan menutup seluruh badan menggunakan selimut berukuran sangat panjang.
Pagi telah tiba ...
Semburat arunika memasuki lubang ventilasi, memboyong beberapa kicauan hewan kecil di luar kamar. Kemudian aku membuka gorden jendela, tatapan sejurus pada kupu-kupu dan burung gereja di tepian pohon bunga kertas. Secara saksama, aku menatap arloji di dinging kamar.
Sang waktu telah menunjukan pukul 06.10 WIB. Kemudian aku membangkitkan badan dari atas dipan seraya berjalan keluar kamar. Dengan langkah gontai, sampailah aku di dapur dan mendapati sang ibu tengah asyik mendengarkan lagu melalui poselnya.
"Hallo, Emak aku sayang ... pagi banget bungkus tapainya?" tanyaku sekenanya.
"Iya, Le, karena emak enggak sempat bungkus tadi malam," jawab emak dengan menoleh sekilas.
Di tangan kanan sudah ada handuk berwarna merah, aku pun memasuki kamar mandi dan membasuh sekujur tubuh hingga bersih dan wangi. Sebagai teman mandi, aku bernyanyi tanpa henti senandung lagu-lagu nostalgia. Sebagai rutinitas seperti biasanya, rumah terasa sangat sunyi apabila aku sedang sakit gigi.
Suara yang menggema pun mampu memecah keheningan, termasuk sang ayah tak lagi dapat tidur nyenyak. Apalagi Siti, dia sangat membenci ketika aku sudah teriak-teriak tidak jelas di dalam kamar mandi. Sebagai anak yang sangat riang, aku selalu menjadi bahan ejekan orangtua.
Tepat di ambang pintu, ketukan pun terdengar tiga kali.
Tok-tok-tok!
"Siapa itu ...?!" tanyaku sedikit berteriak.
"Aku! Lama sekali mandinya, sampai berjamur nungguin," omel sang adik dari luar.
"Sabar, sebentar lagi," jawabku sekenanya.
Karena nenek sihir sudah menyuarakan terompet, aku pun bergegas mengakhiri lagu yang tinggal satu bait itu. Dengan langkah laju, aku keluar dari kamar mandi seraya menatap sang adik yang masih menutup netranya di bangku.
"Sudah siap, silakan mandi Nyonyah ...," ledekku dengan membuang tatapan jijik.
"Lama sekali kalau mandi, sampai telapak kaki pun disabuni." Selepas berkata, Siti memasuki kamar dan mandi dengan sangat cepat.
Tepat di samping pintu dapur, aku menatap ibu yang masih asyik membungkus. Ketika aku memakai seragam sekolah, si ibu telah menghilang secepat kilat. Walau sudah berusia lumayan senja, ibu adalah orang paling cepat yang pernah aku tahu.
Jangankan pada kami, dia lebih hebat dalam menyupir motor dan melewati beberapa polisi yang tengah menjaga jalan raya. Akibat aksinya itu, si ibu selalu dipanggil Valentino Rossi oleh sahabatnya.
Karena pagi ini banyak makanan di atas meja, aku pun menyantap nasi goreng dilengkapi dengan telur dadar. Setibanya Siti di hadapan, aku berhenti makan karena nafsu mendadak hilang. Wanita berjilbab putih itu selalu memakan apa saja yang ada, sehingga membuat siapa pun akan mendadak kenyang.
"Kalau makan pelan-pelan," ujarku memberikan nasihat.
"Bodo! Yang penting kenyang," sambarnya seketika.
"Perempuan enggak ada lembut-lembutnya kalau makan. Gimana kalau punya cowok, pasti langsung kena tinggal di warung," omelku lagi.
"Biarin, buat apa punya cowok seperti itu. Kalau enggak bisa menerima, cari yang lain." Selepas berkata, Siti membangkitkan badan dari atas kursi.
Karena sang waktu telah menunjukan pukul 06.30 WIB, kami pun bergegas untuk pergi ke sekolah. Sebagai rutinitas, uang jajan telah ada di atas televisi, bahkan emak selalu meletakan di samping meja kompor. Karena kebiasaan seperti itu sudah berlaku sejak lama, kami pun paham benar apa yang menjadi ketetapan.
"Bang, ambilkan uang jajanku!" seru sang adik yang masih memanasi mesin motor di depan rumah.
"Hmmm ... kalau kau, ya, merintah orang yang lebih tua," pekikku dengan mengernyikan kedua alis.
Dengan cepat aku berlari kembali memasuki dapur. Menggunakan tangan kanan, aku mengambil dua lembar uang dan menyisakan yang lainnya di sana. Kemudian kuberikan pada sang adik di samping motor berwarna hitam.
"Nah, uang jajanmu," ucapku dengan menyodorkan uang.
Siti mengambil sodoran uang dariku. "Terima kasih, Abangku yang ganteng ...."
"Lebay! Yuk, pergi sekarang. Aku takut telat," suruhku.
"Ya, elah ... ini manusia seperti lagi dikejar hantu. Perasaan masuk sekolah satu jam lagi, udah sibuk banget daritadi." Selepas mengomel, Siti pun menaiki motor.
Seperti biasanya, yang menyupir adalah adik perempuanku. Sejak kami pergi sekolah bersama, dia tidak mau dibonceng dengan alasan yang tidak masuk akal. Memang ketika aku membawa motor, sedikit lebih lambat darinya. Sehingga dia tidak mau memberikan kunci motor tersebut.
Tepat di depan mata, beberapa orang polisi tengah berdiri tegap membawa sebuah pukulan yang panjang. Kami pun mendadak hilang kendali karena takut tertangkap. Sementara helem, kami tidak pernah pakai. Apalagi lampu motor juga telah lama padam dan tidak menyala sesuai ketetapan lalu lintas.
"Dek, kayaknya razia di depan sana," ujarku.
"Enggak ... kau tenang aja di situ, serahkan sama aku!" pekiknya menyambar.
"Aku takut kalau kita kena tangkap polisi. Sebaiknya putar balik dan cari jalan tikus aja," titahku.
"Bawel sekali, loh, jadi orang. Nanti aku turunkan di sini mau?"
Seketika aku membungkam setelah mendengar ucapan sang adik. Perempuan tomboy itu pun hampir menabrak polisi di samping orang-orang yang telah kena tangkap.
"Pak ... awas! Kami mau lewat ...!" teriak Siti sekenanya.
"Astaga!" jawab pak polisi seraya memekik di posisinya.
Karena kesalahan itu, aku tak berani menoleh ke belakang. Namun, saking banyaknya yang sudah tertangkap, kami pun lepas begitu saja dari mereka. Sesampainya di depan pintu gerbang, aku turun dan bergeming di samping sang adik.
"Dek, apakah kau berani lewat sana lagi?" tanyaku penuh selidik.
"Ya, enggaklah. Aku jalan sana aja, biarin motor jorok karena takut kena tangkap polisi." Siti pun menghidupkan mesin seraya beringsut pergi.
Karena para siswa dan siswi telah memasuki halaman sekolah, aku pun beringsut juga dengan berjalan sedikit laju. Sepanjang jalan menuju lapangan sepak bola, kami harus bersalaman kepada guru-guru yang telah berbaris rapi seperti membentuk formasi bodyguard.
Satu persatu siswa dan siswi menjabat tangan para guru seraya mengucapkan salam.
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Ku
Teen FictionMenceritakan kehidupan seorang guru, terinspirasi dari kisah nyata penulis menjadi pendidik hingga menuai berbagai konflik dalam hidup.