Karena telah lama menunggu jemputan yang tak kunjung datang, aku memutuskan untuk pergi ke tepian trotoar sembari memainkan ponsel. Namun, sejak kepergian sang sahabat beberapa menit lalu, aku tidak melihat batang hidungnya. Maya telah berpamitan untuk menuju parkiran motornya, bersama Nazmitha dan Linar juga menuju ke sebuah bangunan gedung dua sekolah.
Karena sekolah sudah tampak sangat sunyi, aku mencoba untuk beringsut pergi dan menapak menuju tepian trotoar. Sampailah aku di sebuah halte dekat dengan ponsel penjualan pulsa dan berbagai merek telepon genggam.
Sebagai rutinitasku setiap hari jika menunggu jemputan selalu di sana. Kemudian badan pun mendudukan badan seraya membuka telepon genggam dan berselancar di layar social media. Jemariku menari indah bak turnamen balet yang setiap hari hanya sekadar memerhatikan, menatap, dan memberikan semangat lewat like pada status-status teman.
Karena merasa telah bosan, aku menatap arloji di tangan sebelah kiri, jarum jam pun telah menunjukan pukul 15.00 WIB. Namun, si emak tak kunjung datang bahkan adikku pun tak kelihatan batang hidungnya.
Tepat si tepian trotoar, wanita tomboy yang menaiki motor matic memberhentikan aksi. Dia adalah Maya, memakai helem berwarna cokelat tanpa kaca untuk menutup wajah. Penampilannya yang sangat mengundamg tawa membuat aku menahan geli dalam hati.
Secara saksama, aku menatapnya sebelum akhirnya dia merogoh kantong roknya. Entah apa yang akan dia lakukan di sana, karena sedari tadi hanya sekadar menatap layar ponsel tanpa beringsut sama sekali.
"Kau masih betah di sana?" tanya Maya tanpa menoleh ke arahku.
Karena di sekitar halte ada tiga orang yang merupakan siswi lain jurusan, aku menoleh di antara ketiganya. Namun, mereka tidak ambil pusing dengan ucapan Maya barusan, malah sibuk menggosip tentang pacar mereka masing-masing.
"Apakah kau memanggil aku?" tanyaku dengan menunjuk diri sendiri menggunakan jemari kiri.
"Ya, iyalah. Masak aku manggil hantu, mana ada siang-siang hantu di sini!" pekiknya sedikit mengomel.
"Enggak, ah, aku takut kalau pulang sama kamu. Soalnya ... naik motor berasa hilang nyawa sejenak," ujarku sembari memeluk buku pelajaran.
"Ya, ampun ... si culun penakut banget jadi orang. Ayo, kita pulang bareng. Lihat ke sana, sebentar lagi akan ada hujan yang sangat deras." Maya menunjuk ke atas langit berawan gelap, semesta sepertinya akan menumpahkan air dengan curah hujan yang teramat banyak.
Akhirnya aku tidak punya pilihan lagi, dengan berat hati kedua kaki ini menapak dan lompat seketika dari kursi. Sementara mobil simpang siur menuju ke arah rumahku. Sampai saat ini, aku tidak berani naik mobil angkutan. Bukan karena mereka membawanya sangat laju, tetapi lebih kepada di dalam ruang mobil sangat bau keringat.
Walaupun aku seorang laki-laki, tetapi sangat membenci bau keringat apalagi bau ketiak. Yang namanya anak sekolah, wangi hanya ada di pagi hari. Ketika sudah jam pulang, bau mereka seperti ikan asin yang sedang dijemur di atas terik matahari.
Di sepanjang perjalanan menuju rumah, aku menutup kedua netra seraya berzikir dalam hati. Namun, sepertinya Maya hari ini sangat lambat membawa motor. Kemungkinan dia sedang terkena hantu dari depan sekolah, karena di rumah kosong itu sangat angker.
"Andy, kenapa orangtuamu enggak menjemput?" tanya wanita tomboy itu.
"Aku enggak tahu, May. Mungkin mereka ada urusan di rumah, sampai lupa kalau anaknya sudah pulang." Selepas berkata, aku menoleh ke samping kanan.
Maya adalah wanita yang tak pernah mau kalau dibonceng, dia selalu mementingkan kehendaknya dan seperti hilang harga diri jika aku yang membawa motornya. Jarak dari rumah menuju sekolah lumayan jauh, sekitar tiga kilo atau lebih pun paling sedikit saja.
Setibanya kami di depan penjualan jus buah, Maya berhenti dan mematikan motornya. Karena sangat penasaran, aku pun ikut turun seraya berjalan menuju penjual jus.
"Bang, aku jus jeruk satu. Kau mau jus apa, Ndy?" tanya Maya.
"Aku biasa aja, May," jawabku sekenanya.
"Jus biasa itu apa? Perasaan kita baru aja beli hari ini," omelnya.
Mendengar ucapan itu aku meringis malu, karena pentingnya membaca membuat aku selalu berkata sesuka hati.
"Aku jus melon rasa cinta aja, jangan pakai gula karena aku sudah manis. Jangan terlalu cair, karena hatiku telah membeku seperti es. Satu lagi, plastiknya jangan warna merah, hatiku sudah berubah warna menjadi abu-abu."
Selepas berkata, penjual jus pun menatap ke arahku dengan membawa batang kayu berukuran kecil. Karena penasaran, aku menoleh ke arahnya sesaat.
"Kau kenapa, Bang? Kok, kayak enggak senang gitu kalau aku beli!" paparku menjelaskan.
"Memang gak senang aku kalau kamu yang beli, bawel banget kayak penjual ikan di pasar pagi." Penjual itu pun membuat jus dengan kekesalan.
Karena jus tak kunjung selesai, Maya berjalan menghampiriku. "Kau lagi baca apa, sih? Sepertinya serius banget gitu. Sesekali yang dilihat itu cewek, bukan buku. Hmmm ...."
Sekilas aku menatap Maya, lalu pandangan ini beralih ke arah buku yang telah terkena tetesan air.
"Aduh ... udah gerimis lagi. Bagaimana ini, Ndy?" tanya Maya.
"Ya, udahlah, kita tunggu aja di sini," ujarku sekenanya.
Tidak berapa lama, penjual jus pun menyodorkan apa yang kami pesan. Namun, langit telah gelap gulita dan petir menyambar semesta alam. Karena merasa masih ada waktu, Maya menarik tanganku erat dan kami menaiki motor dengan cepat.
Motor telah menyala dan siap untuk kembali melaju. Namun, rintik hujan sepertinya tidak akan membiarkan kami lepas dari tetesannya itu.
"May, kenapa kita enggak singgah aja di tempat abang tadi?" tanyaku pada wanita tomboy di depan.
"Jangan bawel, kau pegangan erat bajuku. Kita akan tancap pulang!" serunya.
'Lah, bagaimana aku bisa pegangan bajunya? Kan, seragam dia ngepas dan masuk ke dalam rok. Ada-ada aja ini orang, bikin overload aja dengan kata-katanya.'
Selepas bersenandika, sampailah kami di portal dengan tulisan Selamat Datang Di Desa Sipaku Area. Membutuhkan waktu beberapa menit, sebelum akhirnya sampai di depan rumah.
Belum pun sampai, hujan deras mengguyur badan dan membasahi sekujur tubuh ini. Akibat rasa sakit terkena air hujan, tingkat laju motor pun mulai berkurang.
"May, pelan-pelan saja, jalan mulai licin banget." Aku memberikan nasihat pada wanita tomboy itu.
"Andy, kita sudah sampai. Kau capat masuk, nanti demam lagi," ujarnya menyuruh.
"May, kau enggak mampir? Ayo, kita masuk saja di rumah. Hujannya sangat deras," ajakku sedikit memaksa.
"Enggak, Ndy, lain kali saja. Oh, ya, aku pulang lebih dulu. Sampai jumpa besok di sekolah, bye ...."
Wanita berjilbab putih itu pun melaju dengan motor maticnya. Karena sudah sampai di depan rumah, aku berlari dan memasuki pintu dengan baju yang sudah basah kuyup. Setibanya di dalam rumah, aku memberhentikan langkah karena suasana sangat sunyi.
"Assalammualikum ...," sapaku sangat lembut.
"Wa'alaikumsallam ... eh, udah pulang, Le? Diantar sama siapa?" tanya emak sekenanya.
"Tadi pulang sama Maya. Oh, ya, kenapa enggak jemput aku di sekolah?" Aku malah balik nanya.
"Motor kita rusak, dan baru juga selesai. Kamu ganti baju dulu di kamar mandi, biar emak ambil handuk di kamar." Selepas berkata, wanita paruh baya itu berjalan memasuki kamarku.
Karena keadaan badan yang sudah sangat basah, aku pun segera memasuki kamar mandi seraya membuka seragam sekolah. Melihat air di dalam bak, seperti sebuah genangan es yang siap membuat badan menjadi sangat beku.
Akan tetapi, mau tidak mau aku harus membasuh badan sebelum rasa gatal itu datang kembali.
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Ku
JugendliteraturMenceritakan kehidupan seorang guru, terinspirasi dari kisah nyata penulis menjadi pendidik hingga menuai berbagai konflik dalam hidup.