Ujian pun telah berakhir hari ini, seluruh siswa dan siswi menghambur ke luar ruangan dan berjejer rapi melintasi jalan setapak. Dengan menenteng tiga buku yang tadi aku pinjam di perpus, membawa diri untuk mengikuti beberapa siswa dari jurusan berbeda.
Di sepanjang perjalanan, aku hanya fokus menatap jalan saja. Tanpa menghiraukan sama sekali perihal kehadiran beberapa sahabat di samping kanan dan kiri. Mereka mendekatiku, lalu menyiku lengan ini.
Sekilas, aku menoleh posisi kanan. "Kau, hmmm ... aku kira siapa."
"Wak, tadi aku lihat kau ke luar lebih awal. Emangnya ... kau sudah selesai ujian saat itu?" tanya Arifin—lelaki setengah dewa.
"Iya, aku udah siap. Kalau belum, mana boleh ke luar ruangan," jawabku.
"Wih ... enak banget, ya, jadi kamu. Semua pelajaran di lahap hingga tak ada pikiran dan beban mendapat nilai berapa," imbuhnya lagi.
"Ah, kau bisa aja. Sejarahnya, semua manusia itu punya pikiran. Kalau gak punya pikiran, berarti patung."
"Bukan gitu konsepnya, Wak," sergah Arifin.
"Eh, BTW kenapa kau memanggil aku dengan sebutan WAK. Emangnya ... aku ada ikatan saudara samamu?" tanyaku.
"Ha-ha-ha ... ya, enggak. Tapi ... biar kita semakin akrab aja."
"Alasan, bilang aja kalau kau mau minta kunci jawaban lagi," protesku mencibir.
Tak berapa lama, dari arah belakang badan seperti ada suara seseorang tengah berlari. Secara saksama, kedua telinga ini menangkap gelombang tersebut. Ternyata benar, di adalah Risma dan Rahma yang berhadir si samping kami.
"Wey, cong, kalian ngapain berdua sama Andy?" tanya Risma.
"Cang-cong, cang-cong. Emang apa, sih, arti cong? Kencong?" tanya Ari bertubi-tubi.
"Bukan, cong itu ... ya, bencong!" pekik Rahmah.
"Enak aja, aku bukan bencong. Eh, boneng, kau kenapa tidak dijemput sama cowokmu itu?" tanya Ari.
"Kalian, ya, yang satu manggil bencong. Yang satu lagi manggil boneng, hmmm ... jangan saling menghina," omelku menengahi.
"Ha-ha-ha ... biar makin seru aja pertemanan kita," sambung Risma. "Oh, ya, Andy. Terima kasih, ya, udah mau bagi cokelat ke hari ulang tahunku. Tapi ... kenapa, ya, Maya malah sinis gitu pas aku dapat cokelat."
"Mungkin dia cemburu kali, Ris," jawab Rahma.
Dari belakang badan, datang lagi Vera dan Siska. Kedua siswi non muslim itu hadir di saat kami membahas serius tentang apa yang dikatakan oleh Risma.
"Hayo ... kalian lagi bahas apa ini?" tanya Siska.
"Kami lagi bahas Maya, kenapa dia sinis gitu sama aku," kata Risma.
"Biasalah, itu masalah personal. Tapi ... kalian enggak melihat gaya Mita juga. Kan, sejak dikatain rumput liar mereka juga aneh?" tanya Siska.
"Yang penting aku enggak ikut-ikutan," sambungku.
Setibanya di pintu gerbang sekolah, Maya dan Mita bergeming di sana. Kedua wanita itu menatapku, akan tetapi sekilas tertuju pada ponsel masing-masing.
Tanpa peduli, aku pun tetap berjalan meninggalkan sahabat di belakang. Namun, ketika sampai di samping kanan Maya, dia pun menggeser posisi badannya lalu kamu berhadap wajah.
"Astaga!" pekikku ngegas.
"Andy, kau mau pulang?" tanya Maya.
"Hmmm ...," gumamku singkat.
"Yuk, aku boncengin. Daripada kamu lama menunggu Siti, aku bisa anterin," ajak Maya.
"Aku udah janji akan pulang sama Siti. Lain kali aja, May." Kataku, lalu langkah kaki kembali berjalan.
"Eh-eh ... tunggu dulu. Andy, aku ada hadiah untuk kamu ini." Maya pun mengambil sebuah bingkisan dari dalam plastik. Lalu, dia menyodorkannya padaku.
Seraya menatap bungkusan itu, aku pun tak ingin mengambilnya. Pasalnya, Maya sudah terlalu baik karena setiap hari memberikan hadiah. Aku tak mau kalau dia terus-terusan berharap akan cintanya terbalas.
Bagaimana pun juga, kami adalah sahabat dan tak akan tergantikan. Seraya menarik napas panjang, aku menatap bingkisan itu saja. Namun, tangan ini terasa malas untuk mengambilnya.
"May, ak-aku, aku enggak bisa menerima hadiah ini dari kamu," titahku terbata-bata.
"Kenapa emangnya, Ndy? Apakah kau tak suka makanan dariku?" Kali ini, Maya yang bertanya padaku.
"Bu-bukan, May. Ak-aku, aku enggak mau merepotkan kamu."
"Enggak, kau tak merepotkan. Nih, ambillah bingkisan ini dan nikmati."
Setelah memberikan bingkisan itu, Maya dengan girangnya pergi dari posisi bergeming. Sambil menenteng buku, aku pun membawa bingkisan itu dan berjalan menuju ponsel bang Topik.
Sebagai tempat menunggu, ponsel Bang Topik adalah tempat yang menjadi kesepakatan bersama antara aku dan adikku. Kami biasanya bertemu di sana. Belum lama mendudukkan badan, datanglah sahabat yang sangat setia di kelas.
Dia adalah Ilham dan Tini Sulastri. Kedua orang yang tadi sempat menghabiskan donat pemberian dari Maya. Namun, aku tak peduli, karena tujuan aku berteman bukan untuk merubah haluan menjadi cinta.
"Melamun aja, nih. Lagi mikirin apa?" tanya Tini, dia mendudukkan badan di posisi kanan.
"Ah, eng-enggak. Ini, loh, aku dapat bingkisan lagi dari Maya," jawabku.
"Wah, baik banget anak itu. Aku curiga, kalau dia itu sebenarnya ada rasa samamu," sambar Ilham sekenanya.
Dengan menaikkan kedua pundak, aku pun menjawab, "iya, dia sempat nembak aku dia atas motor."
"What! Gila ... cewek zaman sekarang, emangng udah aneh," cetus Tini.
"Terus-terus, kau jawab apa, Ndy?" sambung Ilham.
"Ya ... aku enggak maulah. Kan, niat kita itu untuk bersahabat aja. Mana mau aku jadi pacar," pungkasku.
"Aku kira ucapanmu kemarin malam itu bercanda, Ndy. Ternyata ... benar kalau Maya suka sama kamu," sambung Ilham.
Kami pun menghabiskan waktu menghisap es krim yang kamu beli di samping. Wak Gemuk yang kala itu membawa jualan berhenti selalu di samping ponsel Bang Topik. Tempat ini sudah ibarat kafe, karena mampu membuat nyaman.
Belum lama bercanda, adikku pun datang menjemput dari sekolah yang berbeda. Ya, wanita tomboy itu melaju melintasi kantor polisi di segitiga jalan lintas. Saudara kembarku itu memang mirip gaya laki-laki, karena dia sangat berani melawan siapa pun, termasuk polisi.
"Guys, adik aku udah datang. Kalau begitu, kita sambung besok aja, ya, perbincangan ini," kataku seraya membangkitkan badan.
"Oke, baik. Hati-hati kalian di jalan. Siti ... tancap gas, biar abangku melayang kayak layang-layang," ledek Tini.
"Siap, komandan!" sergah Siti.
Baru pun menempelkan pantat di bangku motor, Siti menginjak gas sangat laju dan hampir membuat aku tersungkur.
"Astaga! Siti! Kalau bawak motor pelan-pelan," omelku mencibir.
"Makanya ... kalau udah naik pegangan biar gak jatuh," jawabnya ngegas.
"Siti ... pelan-pelan, ini habis hujan jalanan licin," kataku lagi.
"Bawel banget, kalau mau pelan-pelan naik angkot aja sono. Awas, ya, kalau ribut lagi, aku turunkan di tengah jalan." Siti pun mengancam.
Karena Siti sudah mengancam, aku pun terdiam seribu bahasa. Pasalnya, tidak ada guna meneruskan perdebatan padanya. Karena ujung-ujungnya, pasti aku juga yang akan kalah.
Jangankan mencari kemenangan, sekadar imbang saja sangat sulit di dapatkan. Sembari pasrah, aku pun menahan takut di tengah jalan.
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Ku
Roman pour AdolescentsMenceritakan kehidupan seorang guru, terinspirasi dari kisah nyata penulis menjadi pendidik hingga menuai berbagai konflik dalam hidup.