"Bang, aku pamit pergi dulu, ya ...," ucap sang adik sekenanya.
"Hmmm ... hati-hati kau di jalan, jangan ngebut bawa motornya," jawabku seraya menoleh ke belakang.
"Assalammualikum ... jangan takut, ya, sama begu. Kalau nanti takut keluar aja dari rumah dan cari pertolongan. Hahaha ...," ledeknya sembari membuang tawa lepas.
"Kau, ya ... awas aja nanti kalau emak pulang," omelku sembari menatap mantap orang yang sedang berlari memasuki ruang tamu.
Siti pun menuju ruang tamu dan membawa motor dan pergi dari rumah. Kepergiannya secepat kilat dan membuat aku sendiri di dalam dapur, karena sangat mengundang rasa takut, akhirnya aku memutuskan untuk menutup pintu sangat rapat dan berjalan menuju ruang tengah.
Tibalah aku di atas kursi dan memainkan ponsel sendirian, kali ini rumah benar-benar sangat sepi seperti kuburan. Tanpa kehadiran Siti memang membuat suasana sangat berbeda, dia adalah orang yang kocak dan sangat lawak.
Seketika terdengar suara-suara aneh datang dari mana saja. Termasuk kamar mandi, ruang salat, dan pojok rumah. Aku berada pada pusat tumpu yang ada di rumah, sesekali netra seperti menangkap bayangan orang sedang melintas.
Menurut para dukun, rumah yang saat ini kami huni berhantu. Makhluk halus banyak dan merupakan lintasan orang bunian. Namun, karena sedari tadi tidak ada orang yang menemani dan mengajak untuk berkata, aku berpikir positif sembari menyibak rasa takut.
Bulir keringat keluar dan bergerak membasahi badan, jatuh sejurus dari leher hingga dada. Sesekali aku menelan ludah dan menoleh kanan serta kiri. Siluet orang-orang telah menghilang, tidak tahu ke mana rimbanya hingga arloji menunjukkan pukul 09.00 WIB.
Saking takutnya, aku menyalakan lagu-lagu di ponsel genggam. Bernyanyi dan mencoba untuk tetap tenang meskipun di dalam dapur seperti ada orang yang sedang bermain piring.
Klontang!
'Astaga! Itu apa, ya, kok kayak orang lagi main piring di dapur. Jangan-jangan yang dibilang Wak Sukir benar lagi, kalau rumah ini berhantu dan sangat menyeramkan,' batinku dalam hati seraya menelan ludah.
Tak henti-hantinya aku berpikir tentang hantu, karena hanya ada itu yang menguasai pikiran saat ini. Apalagi kamar tempat aku tidur, sebagian orang percaya kalau tempat tersebut banyak yang menghuni. Salah satunya adalah wanita bergaun hijau, berperawakan cantik sudah seperti ratu.
Tetapi bukan Ratu Kidul yang berada di pantai selatan, akan tetapi aku belum pernah melihatnya, karena memang mata batin ini tak terbuka dan aku bukanlah keturunan anak indogo.
Sementara ruangan lain juga sama, memiliki wujud aneh dan sangat sulit dibersihkan oleh ustaz. Pernah suatu ketika, seorang ustaz datang memenuhi panggilan ayah, hanya sekadar untuk mengusir makhluk-makhluk tersebut agar tidak suka mencuri uang.
Ternyata mereka bukan pelaku dari hilangnya uang orangtuaku, tetapi karena memang banyak tikus liar yang membawa dompet-dompet berisi uang menuju bawah lemari dapur. Sejak saat itu aku tidak percaya yang namanya hantu, karena dapat membuat mental rusak dan selalu memikirkan hal konyol.
Lain cerita dengan kali ini, karena sendirian memang membuat aku lumayan takut. Badan gemetar, dan pikiran hanya bercampur aduk dengan kematin Wak Mirna beberapa hari lalu yang sangat tragis.
Kepulangannya menuju rahmatullah dengan cara tak wajar, meminum racun dan tidak ada yang tahu. Bahkan orang pernah melihat Wak Mirna berkeliaran setelah seratus hari, tidak menjelma yang aneh-aneh, tetapi minta tolong karena tali pocongnya belum dibuka.
Aku berjalan menuju dapur, memberanikan diri karena merasa penasaran dengan suara-suara aneh yang muncul dari sana. Tapakan gontai pun aku lakukan, serta kedua netra celingukan ke kanan dan ke kiri.
'Bissmillah ... Bissmillah ... Bissmillah ... Bissmillah ... ya, Allah ... lindungi hamba dari setan yang terkutuk, karena engkaulah pemilik alam semesta ini.'
Dengan ditemani basmalah dan menyebut asma Allah, aku tertegun seraya menatap sejurus ke depan. Ternyata pintu kamar mandi bergerak ke sana dan ke mari tanpa henti, angin yang melakukan itu semua.
Karena pelaku telah diketahui dan merupakan dari alam, aku mengelus dada sembari ingin kembali ke tempat semula. Terbayar lunas sudah apa yang aku pikirkan, ternyata hanya sekadar halusisasi dan membuat buta segalanya.
"Syukur ... ternyata semua adalah ulah angin, bukan hantu Wak Mirna atau siapa pun. Baiklah, kalau begitu aku kembali ke meja tadi saja." Setelah berkata sendiri, aku memutar badan secara saksama.
"Astaga! Ted! Kau, ngapain di depan aku tiba-tiba!" hardikku berteriak sangat ketakutan.
"Kau yang ngapain natap aku seperti itu, sudah orang terkena mental aja tau enggak," jawab Teddy mengomel.
"Ak-aku, aku biasa aja. Kau dari mana aja, sih?" tanyaku.
"Aku baru pulang dari pasar pagi, beli ikan sama emak kamu. Karena di sana ramai, emak nyuruh aku buat pulang. Kau pasti takut, kan, di rumah sendirian?" Lawan bicara pun berkata sekenanya.
Seketika aku mengalihkan topik, dengan ekspresi yang biasa saja aku buang pada lawan bicara.
"Siapa juga yang takut, aku hanya ingin kembali putar badan. Lalu, kau memang mengejutkan aku sekarang," cibirku mengomel padanya.
"Hmmm ... banyak alasan. Bilang saja kalau kau benar-benar takut sendirian," jawab Teddy, lalu dia masuk ke dalam dapur seraya meletakan ikan ke dalam lemari.
Kemudian aku memutar badan dengan cepat dan mendudukan badan di atas kursi, seketika jantungku berdecak kencang, sudah seperti kendaraan yang akan berperang. Sementara Teddy hanya mondar-mandir entah mencari apa.
Berasama tinggkah lakunya yang sempat mengundang penasaran, membuat aku kepo untuk bertanya parihal apa yang dia lakukan saat ini.
"Kau mau ke mana, sih, sebenarnya? Kayak orang lagi bingung gitu?" tanyaku penasaran pada Teddy.
"Kata emak aku disuruh mencari uang yang ada di bawah telapak meja, kenapa enggak ada, ya?" Dia malah balik nanya.
Dengan sedikit berteriak, aku pun menjawab lagi. "Nanti emak salah letak, karena dia memang suka begitu ketika meletakan uang. Oh, ya, emang emak ke mana?"
"Emak masih di sana, tadi lagi bertemu dengan temannya dan mengobrol, jadi aku disuruh ambil uang."
"Lah, kenapa begitu? Emang belanja emak enggak bawa uang apa?" tanyaku lagi.
"Bawa, tapi kurang karena sekalian beli bumbu dapur," jawabnya.
Aku pun berjalan kencang menuju kamar tidur, kemudian mengambil uang yang sengaja aku simpan di bawah nakas. Bersama dengan beberapa lembar uang kertas, aku pun keluar dari kamar seraya menuju ruang tamu.
"Ted ... kau di mana? Ted ... ini uangnya, pakai punyaku dulu aja!" teriakku pada remaja somplak satu itu.
Orang yang kucari telah menghilang, berserta motornya juga tidak ada lagi di depan teras. Melihat tingkah konyol sepupu, membuat aku menjadi overload dan ingin memukul kepalanya. Tidak beda jauh dengan Siti, karena membuat orang kesal dan tidak pandang bulu.
Baru saja semenit lalu ada di ruang tamu, anak tersebut bagai telah dimakan genderuo. Aku pun mengomel dalam batin sembari mengelus dada beberapa kali.
'Memang kau, Ted. Mau marah, kau adalah sepupu. Kalau enggak marah, ngeselin. Semoga Allah memberikan ketabahan lebih pada hamba, karena bersanding dengan orang-orang aneh setiap saat.'
Selepas bersenandika, aku pun kembali berjalan menuju kamar dan meletakan uang tersebut di dalam nakas. Kemudian badan ini mendudukan badan tepat di atas kursi seraya mencatat lirik lagu. Buku diary sudah hampir penuh, dan pengganti untuk kertas baru akan segera hadir.
Kegemaran aku sejak SMP adalah menulis, bercerita tentang hari yang sangat mengesalkan seperti saat ini.
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Ku
Teen FictionMenceritakan kehidupan seorang guru, terinspirasi dari kisah nyata penulis menjadi pendidik hingga menuai berbagai konflik dalam hidup.