Bab 08

568 9 0
                                    

Sampailah kami di dalam ruang kelas, para siswa dan siswi tengah berbincang dan menanti pelajaran akan dimulai. Sebelum bel berbunyi, kebiasaan buruk kami adalah memakan makanan di dalam kelas hingga membuat sampah menumpuk di dalam laci.

Bagaimana tidak, hampir seluruh siswa melakukan hal demikian. Karena untuk menuju kantin, kami harus melewati waktu beberapa menit. Siasat para siswa yang masih terjaga hingga sampai saat ini adalah, membeli makanan yang lumayan banyak dan disimpan dalam laci meja.

Begitu bel istirahat kedua berbunyi, kami tidak perlu keluar lagi dalam mencari makanan. Terkadang, aku hanya makan makanan yang dibawa dari rumah. Untuk setiap harinya, emak membawakan aku bekal nasi goreng. Terkadang ada susu putih dan cokelat, terkadang kue basah.

Sebagai anak yang tidak mau menolak perbuatan baik si emak, aku membawa saja ke sekolah sembari mengurangi uang jajan dan dapat ditabungkan. Rutinitasku itu perlu dicontoh, akan tetapi tidak ada satu pun siswa dan siswi yang mencontoh.

Sedih memang, berteman dengan anak orang kaya membuat diri ini selalu menerima keadaan. Akan tetapi aku tidak ambil pusing dengan hal tersebut. Karena di sekolah yang patut dibanggakan adalah prestasi, bukan uang jajan.

"Andy, kau mau goreng pisang?" tanya Nazmitha di samping kiri.

"Ah, enggak. Aku lagi batuk soalnya, buatmu ajalah." Selepas menolak, Nazmitha tetap meletakan gorengan itu di dalam laciku.

Melihat tingkah siswi aneh ini, rasanya overload sepanjang waktu. Bagaimana tidak, dia selalu membuat siapa saja kesal saat berbicara. Selain suka ngegas, Nazmitha adalah siswi dengan tingkat keponya melebihi pemilik akun Lambe Turah.

Sejak awal masuk kelas, Maya hanya merenung tanpa bersuara. Siswi yang hidup tanpa kedua orangtua itu selalu merenung. Di balik sikap gembiranya, dia adalah wanita lemah yang pernah aku tahu. Sejak SMP, kami selalu curhat perihal keluarga dan lain sebaginya.

Karena merasa sangat penasaran, aku menyiku lengan Nazmitha. "Nas, kau lihat ke samping coba."

"Ah, malas. Kalau aku lihat ke samping akan terlihat wajahmu, membuat mual saja kau ini." Selepas meledek, Nazmitha mengambil cermin seraya menatap jilbabnya.

"Bukan itu yang aku maksud."

"Lalu, apa lagi, sih ...?" tanyanya penuh selidik, dia pun menoleh ke arahku.

Tanpa menjawab, aku menunjuk Maya dengan jemari sebelah kanan. Padahal di samping wanita tomboy itu ada sang sahabat bernama—Tini Sulastri. Namun, dia tidak memedulikan tingkah konyol sahabatnya itu. Dari sekian banyak siswi, Tini adalah orang dengan tingkat humoris yang sangat tinggi.

Bahkan dia hampir tidak pernah sakit hati jika ada sindiran. Kehidupannya selalu bahagia, meskipun tanpa cinta.

"Sepertinya Maya lagi sedih," cetus Nazmitha menebak.

"Coba kau tanya padanya, apa yang dia sedihkan!" seruku pada wanita di samping.

"Ah, gila. Nanti aja pulang sekolah. Sebentar lagi si Sir datang."

Belum lama kami berbincang, guru bahasa Inggris pun datang dengan menenteng buku pelajaran. Kehadiran lelaki berperawakan tampan itu membuat beberapa siswa dan siswi memekik di atas bangku. Bagaimana tidak, mereka tidak menyukai pelajaran yang dia bawakan.

Lain halnya dengan aku. Pelajaran Bahasa Inggris adalah mata pelajaran paling indah di dunia. Jika masuk materi dari si Sir, aku merasa tengah berada di sebuah taman surga. Karena kegemaran itu, ilmu pun tidak segan-segan untuk masuk dalam ingatanku.

"Baiklah, kita akan belajar speaking di depan kelas. Apakah ada yang berminat untuk maju," ucap Sir Sugi.

Siswa dan siswi menadahkan kepala masing-masing menuju meja. Mereka seakan pura-pura tuli ketika pak guru berkata perihal tugas dan latihan. Seluruh pasang mata mengarahku, tertuju hanya satu pusat sebagai kebiasaan setiap hari.

Karena para sahabat sudah menatap, aku pun membangkitkan badan. Takutnya, kalau pak guru akan marah pada kami yang tidak berminat mengikuti pelajaran. Aku pun berbicara menggunakan Bahasa Inggris, kemudian bernyanyi dan di akhiri dengan salam penutup.

"Apakah ada lagi yang berminat maju? Sebentar lagi kita akan ada pembiasaan di fodium, jadi kalian harus punya perwakilan dalam satu kelas," ucap Sir Sugi.

"Ya, sudah, perwakilan kami si Andy aja, Sir." Dengan ucapan lantang, Risma menyambar.

Mendengar ucapan itu, pak guru menatap siswi paling gokil di dalam kelas. "Apa yang kau bilang, Nak?"

"Si Andy saja yang kami tunjuk untuk perwakilan, Sir." Bersama senyum malu, Risma mengulang ucapannya.

Sir Sugi pun berjalan menemui Risma, dia menatap netra siswi berwajah sangat glowing itu. Kemudian Risma membuang tatapan, karena pak guru sangat suka menjahil kami terkhusus di dalam kelas Akuntansi tiga.

Jika kami melihat sepintas, Sir Sugi tidaklah seperti saat ini ketika mengajar di kelas lain. Mungkin karena kami adalah siswa dengan paket komplit. Humor ada, tukang galau ada, tukang kepo ada, dan paling ribut seantero kota Kisaran pun ada.

Sembari menjelaskan lagi, Sir Sugi berjalan menemui Rudi dan Ilham di bangkunya. Mereka berdua adalah siswa kesayangan guru-guru. Bukan karena pintar, tetapi karena jago dalam bersilat lidah dan mencari alasan. Bagi yang belum kenal mereka, pasti akan mengatakan bahwa keduanya punya sifat tempramen terlalu tinggi.

Akan tetapi, mereka tidak pernah memukul siapa pun sejauh ini. Jumlah siswi perempuan di dalam kelas ada empat puluh satu, sementara laki-laki hanya ada empat saja. Namun, walau cuma ada empat orang, siswa laki-laki paling ribut di dalam kelas.

Bel pelajaran pun berakhir hari ini, kami menghambur keluar satu persatu melalui akses utama menuju koridor. Bersama dengan Maya, hanya ada kami berdua sebagai penghuni terakhir kelas.

Maya pun membangkitkan badan sembari bergeming di sampingku. Lalu dia berkacak pinggang dan ingin berkata sesuatu.

"May, kau kenapa?" tanyaku penasaran.

"Aku ingin curhat padamu. Apakah kau bisa menemani aku sebentar? Kita cerita entah di mana gitu," ajaknya.

"Hmmm ... boleh. Kita nongkrong aja di jus biasa. Tetapi aku ajak Siti, mungkin dia sudah ada di luar."

"Oke, enggak masalah. Kalau begitu, yuk, kita keluar." Kami pun bergegas keluar dari ruang kelas dengan menuruni anak tangga.

Setibanya di parkiran, Maya mengambil motornya dan aku menuju sang adik di depan gerbang. Seperti tebakan awal, kalau dia telah ada di sana untuk menjemputku. Kemudian kami bergegas pergi ke tempat jus langganan.

"Dek, kita ke tempat jus dulu," kataku pada si supir.

"Mau ngapain di tempat jus, Bang?" tanyanya penasaran.

"Adalah, pokoknya kita ke sana saja sebentar."

"Oke, kau pegangan erat, biar kita tancapkan." Selepas berkata, kami melaju dengan mengendarai motor.

Dari belakang badan, Maya mengikuti dengan motor metiknya. Tibalah kami di tempat jus Bang Faisal. Laki-laki tersebut sudah lama kami kenal sebagai penjual jus paling enak di kecamatan. Sembari memarkirkan motor, kami memesan jus sesuai keinginan.

Kemudian kami memilih bangku paling belakang, agar tidak ada satu orang pun yang mendengar pembasahan kami. Belum pun berkata, Maya membungkam dengan menekan keningnya beberapa kali.

"May, kau mau ngomong apa? Ayo, katakan saja, kami akan mendengarkan." Aku mempersilakan sang sahabat.

"Jadi begini, aku sepertinya enggak akan lanjut sekolah."

"Apa! May, kau pasti bercanda. Enggak mungkin kalau kau akan putus sekolah," pekikku sedikit berteriak.

"Iya benar yang Abang aku bilang. Kau kenapa mau berhenti, May?" tanya sang adik.

"Aku akan pindah ke Palembang ikut dengan ibuku. Jadi, mau enggak mau harus pindah sekolah juga."

Sejenak kami membungkam, sementara tatapan pun hanya sejurus pada permukaan meja.

Bersambung ...

Diary KuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang