Bab 32

65 2 0
                                    

"Ka-kamu, kamu Andy, kan?"

Lelaki yang tengah mengedarkan senyum itu pun mengangguk.

'Akhirnya ... orang yang paling aku suka telah membalas cinta ini,' batinku dalam hati.

'Hmmm ... Andy, aku senang banget kalau kamu ada di sini," ucapku sembari membuang senyum semringah.

"Emangnya, kenapa dengan aku? Kan, emang setiap hari kita sama-sama," balasnya.

"I-iya, tapi aku kemarin udah marah sama kamu. Aku ngaku salah, kalau kamu udah nolak aku."

"Sudahlah, kau tidak perlu minta maaf. Kan, sekarang aku udah ada di sini menemani kamu," jawabnya sangat membuat aku semangat 45.

Tak berapa lama, Andy pun menyentuh tanganku. Di mulai dari telapak, hingga ke punggung. Pada akhirnya, jemariku pun berada di sela jemarinya. Tepat di bawah semburat jingga sang senja, kami menghabiskan waktu berdua.

Tidak ada orang lain di sini, hanya kamilah pemilim dunia dan yang lainnya pada ngontrak. Namun, dalam sekelebat penglihatan, aku menoleh lagi tangan lawan bicara untuk sekadar memastikan.

Telapak tangan yang tadinya sangat lembut, berubah menjadi sangat kasar. Karena yang aku tahu, kalau Andy memangnya laki-laki pemilik tangan sangat lembut. Secara saksama, aku menatap wajah di samping.

'Beneran Andy, aku kira siapa,' celetukku lagi dalam hati.

"May, kamu tahu enggak, kenapa aku selalu di sini?" tanyanya.

Sebelum menjawab, aku menggelengkan kepala dua kali. "Kenapa, Ndy?"

"Karena, kamu kenapa belum bangun sudah jam segini. Emangnya, enggak sekolah?" tanyanya lagi.

Secara spontan, aku pun membuka kedua bola mata. "Astaga! Nenek, kenapa masuk kamar aku diam-diam!" pekikku ngegas.

"Ha-ha-ha ... hayo, kamu lagi mimpiin siapa? Sampai tangan nenek dielus-elus begitu," jawab wanita berambut putih itu.

"Ah, emmm ... ak-aku, aku enggak mimpi apa-apa," titahku terbata-bata.

"Ini udah jam berapa Maya ... emangnya kamu enggak sekolah?" tanya si nenek, lalu dia menunjuk arloji di dinding kamar.

"Alamak, kenapa aku bisa kesiangan. Mana belum sempat goreng pisang lagi," omelku sendiri.

Dengan melompat dari atas dipan, aku berlari seraya menarik handuk di sampiran dekat dengan meja rias. Langkah kaki membawa diri untuk segera menuju kamar mandi. Kali ini, aku tak sempat untk bersenandung. Pasalnya, yang ada di dalam otak adalah pergi ke sekolah.

"Nek ... tolong gorengkan pisang Maya di samping kompor ...!" teriakku dari dalam kamar mandi.

"Pisang untuk apa, May ...?" tanya sang nenek sedikit berteriak.

"Udah, deh, jangan tanya lagi. Gorengkan aja, Nek ...!" balasku.

"Oke, sip! Kamu cepat mandinya, karena Setia udah nunggu di luar," kata si nenek.

Karena adikku juga ingin mandi, aku cepat-cepat menyudahi hingga membilas rambut pun apa adanya. Ketika ke luar dari dalam dapur, terlihat si nenek sudah menggoreng. Kemungkinan, kalau dia lagi menuruti apa yang tadi aku katakan.

Langkah laju pun akhirnya membawaku sampai di dalam kamar. Dengan cepat, aku memakai baju kotak-kotak merah sesuai hari. Ya, ini adalah Jumat. Seragam sudah aku pakai, menggunakan bedak seadanya, aku pun berjalan menuju ruang tamu.

"May, kamu enggak makan dulu?" tanya si nenek.

"Enggak usah, Nek, nanti telat datang ke sekolah," jawabku.

Diary KuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang