Pagi telah tiba ...
Tepat di hari Senin, dan kami akan melaksanakan yang namanya ujian semester genap untuk kelas XI. Sembari bersiap di depan cermin, aku menyisir rambut hingga rapi. Kemudian, memakai dasi panjang berwarna abu-abu.
Sementara di luar rumah, Siti—adikku sudah memanasi motornya. Hari ini, aku pergi sekolah bersama dia. Bukan karena tak mau diantar oleh Emak, akan tetapi kami buru-buru dan ini adalah pilihan.
Setelah selesai memakai seragam sekolah, aku ke liar dari dalam kamar dan berjalan menuju ruang tamu. Di sana, di dalam dapur sudah ada Bapak yang menyantap menu pagi ini. Sebenarnya kami ingin bolos tidak sarapan pagi, tetapi si Bapak selalu saja tahu gerak-gerik kami.
"Andy ...." panggil si Bapak, bada suaranya menggema seisi ruangan.
"Hmmm ...," gumamku. "Ada apa, Pak?" tanyaku spontan.
"Mari, sarapan dulu. Biar ujiannya tambah semangat, dan dapat nilai bagus," imbuh Bapak, dengan nada suara mengajak.
"Pak, kami enggak sarapan pagi ini. Udah kenyang banget," kataku beralasan.
"Andy ... Siti ... kalau enggak mau sarapan, gak usah pergi sekolah, Nak. Udah, ganti bajunya ikut bapak kerja aja," tambah si bapak.
Mendengar perkataan horor itu, aku menoleh sang adik di samping kanan. Kami pun menarik napas panjang bersamaan. Pasalnya, selain keras dalam mendidik anak, Bapak adalah laki-laki yang tak cuma mulut saja ketika berbicara,
Akan tetapi, tangan dan kakinya juga ikut berkata kalau sedang menasihati. Mau tidak mau, kami berdua pun memasuki dapur dan mendudukkan badan. Bentuk posisi kami sudah lingkaran, dan Emak mengulum senyum melihat kami.
Setelah si Emak duduk, dia memberikan kami teh manis hangat. "Ini, minum teh dulu. Sekolah itu, harus makan. Kalau lapar, nanti enggak bisa fokus."
"Mak, Andy udah kenyang makan ayam panggang tadi malam," sergahku.
"Kalau udah kenyang, sedikit aja. Urusan tadi malam, itu tadi malam. Kalau sekarang, ya, sekarang. Kalau gak mau makan, jangan kasih uang jajan, Mak!" pekik si bapak mengancam.
'Alamak, kalau gak dapat uang jajan, gimana aku bayar uang kas di sekolah. Hmmm ... ya, udah, deh, nurut aja apa kata Bapak.'
Sembari mengunyah nasi, aku pun menatap ponsel dan beberapa pesan lewat BBM telah datang. Kali ini, sahabat sudah banyak yang datang di sekolah. Pasalnya, mereka sibuk dengan memasukkan foto di mading.
"Kalau makan itu, jangan main HP. Entar, HP-nya bapak buang," kata si bapak.
Mendengar ucapan itu lagi, aku pun menarik napas dan mematikan ponsel di dalam kantong baju. Setelah selesai makan, ini saatnya kami pergi ke sekolah.
"Mak, kami pergi dulu," ucapku pada si emak.
"Iya, kalian hati-hati di jalan. Siti, kalau bonceng abangmu jangan laju-laju. Dia takut itu," kata si emak memberikan nasihat.
"Hmmm ... iya, Mak. Kami pamit, assalammualaikum ...," sapa kami serempak.
"Wa'alaikumsallam ...," jawab Bapak dan Emak.
Dengan mengendarai motor bebek, aku pun berada tepat di belakang sang adik. Kami melaju melalui jalan aspal hitam. Siti memiliki gaya tomboy, tidak lazim perempuan. Bahkan, dia sempat ingin memakai celana ketika sekolah.
Kami terlahir kembar, akan tetapi, kembar laki-laki dan perempuan. Wajah kami sama, akan tetapi ada bedanya juga. Kalau sifat, hampir sama dari orangtua.
Siti memiliki sifat keras, seperti Bapak. Sedangkan aku, memiliki sifat lembut, seperti Emak. Keseharian kami sebagai anak seorang petani, selalu hidup sederhana. Sepulang dari sekolah, biasanya kami pergi ke ladang untuk jaga padi.
Akan tetapi, sekarang sudah panen dan kami tidak pernah lagi menginjakkan kaki ke ladang.
"Siti, kalian ujian juga emangnya?" tanyaku.
"Iya, Bos! Kami ujian Matematika sama Bahasa Inggris. Haduh ... mana bisa jawab aku," ucap Siti menjawab.
"Sama, kami juga ujian itu," jawabku.
"Ya, kau enak, pasti bisa jawab semua. Kalau aku—"
Belum lama berdebat panjang kali lebar, sampailah aku di depan gerbang sekolah. Seluruh siswa sudah menghambur masuk. Dengan sangat cepat, aku memasuki halaman gedung sekolah.
Tepat berada di samping pos satpam, sebuah motor pun datang dengan sangat laju. Suaranya berisik, hampir saja menabrak aku.
"Hey! Minggir!" pekiknya berteriak.
"Itu siapa, sih, jadi orang ngayap banget," ucapku sendiri di posisi berjalan.
Tak berapa lama, sebuah sentuhan mendarat sempurna di pundakku. Lalu, tatapan ini pun menoleh ke orang tersebut. Sambil, memandang orang yang tadi hampir menabrak.
"Wak, ngapain, sih, dari tadi melihat parkiran?" tanya Arifin.
"Itu, loh, ada orang aneh yang mau nabrak aku," jawabku sekenanya.
Lalu, lelaki setengah dewa itu menoleh juga. Kemudian dia menjawab, "oh, itu anak baru. Dia masuk kelasku, tapi anaknya songong banget."
"Eh, dia itu cewek, ya?" tanyaku lagi.
"Hmmm ... memang cewek, tapi anaknya sok kaya. Padahal, Bapak dia jual tepung doang di pajak pagi."
"Hus! Gak boleh gibah. Siapa tahu kalau bapak dia bosnya," imbuhku.
Tanpa menjawab lagi, Arifin pun menaikkan pundaknya. Setibanya di bangku tunggu yang terbuat dari besi, kami mendudukkan badan. Sembari menunggu bel apel pagi, kami menatap ponsel.
Tiba-tiba, Arifin menyiku lenganku. "Andy ...," panggilnya.
"Hmmm ...," gumamku.
"Astaga ... sumber multivitamin datang, aku harus siap-siap ini," celetuk Arifin, dia pun terlihat sangat semringah.
Secara saksama, aku menoleh ke kanan. Ternyata, Ilham dan Jhon datang berdua. Lelaki yang lumayan tampan itu selalu menjadi pusat tatapan ketika datang. Namun, aku tidak suka gaya mereka.
Terlebih, aku adalah siswa yang lumayan tampan dibandingkan mereka. Seraya menatap ponsel, aku pun mengernyitkan alis.
"Andy," panggil seseorang.
Lalu, aku menoleh orang tersebut. "Apa, Ham!"
"Ini ada titipan. Enggak tahu dari siapa, yang jelas surat dari cewek," katanya.
"Ah, aku lagi malas nerima surat apa pun. Untukmu aja," jawabku, setelah itu, aku memandang ponsel lagi.
"Ih, ini anak sombong banget. Hey, ceweknya cantik banget tadi. Kulit putih, pokoknya bagus kalau diajak jalan."
"Ham, kau bawel banget. Aku lagi gak mau kenal cewek, ribet, pusing!" pekikku ngegas.
"Ya, sudah, kalau gak mau. Aku buang aja di sini suratnya." Ilham pun membuang surat itu.
Tak berapa lama, datang lagi sahabat dari arah yang sama. Sambil menenteng laptop dan membuang tatapan sangat tajam.
"Nenek lampir datang," kata Arifin.
"Biarin aja," sambungku.
"Hai-hai ... lagi apa, nih?" tanya Rika Pidiyanti.
"Ada pengacau, jangan jawab. Pura-pura bego aja," sambung Arifin.
Sembari mengulum senyum, aku menggelengkan kepala. Rika adalah siswi yang sangat kepo, sama dengan Mita. Mereka berdua pernah menjabat sebagai admin lambe turah.
Setiap ada gosip di sekolah, selalu saja mereka tahu. Ter-ekspos dan tak pernah ketinggalan. Sehingga, para cowok sejati muak melihat mereka. Jangankan cowok perkasa, yang setengah dewa seperti Arifin pun tidak mau bersahabat.
"Wey, kalau ujian nanti aku lihat, ya," ucap Rika.
"Kau kira aku mafia kunci jawaban?" tanyaku menyambar.
"Ya, elah ... pelit banget. Orang pelit, kuburannya sempit," jawab Rika.
"Biarin sempit, biar gak muat malaikat masuk. Kalau lebar, nanti malaikat bisa masuk," sambungku memekik.
"Ha-ha-ha ... Rika ... Rika, kalau ngomong sama ini bocah, kalah nanti kau," sambar Ilham.
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Ku
Fiksi RemajaMenceritakan kehidupan seorang guru, terinspirasi dari kisah nyata penulis menjadi pendidik hingga menuai berbagai konflik dalam hidup.