Pelajaran pertama ujian pagi ini telah tiba. Lembaran soal Matematikan telah disebar oleh pengawas ujian, ada juga yang membantu memberikan soal yaitu ketua kelas. Kami pun duduk sangat rapi, menantikan apa-apa saja yang ke luar sebagai soal yang diujikan.
Tepat di depan mataku, sebuah soal ujian pelajaran Matematika telah datang. Secara saksama, kedua netra ini memantau satu persatu semua yang tertera. Ternyata, sesuai dengan ekspetasi, kalau ujian kali ini sesuai demgan apa yang diajarkan oleh guru.
Dengan sangat mudahnya, aku langsunh mengambil lembaran jawaban dan menulis nama serta kelas. Memasuki soal yang pertama, masih stabil karena pembahasan seputar rumus photagoras. Sebuah palajaran paling indah sepanjang hidup.
Meskipun terbilang baru di sekolah ini, akan tetapi materi pelajarannya sama dengan yang ada di sekolah lama. Dengan santainya, aku mengerjakan satu soal itu tanpa ada kendala. Rumus yang diminta juga aku tuliskan secara singkat.
Untuk soal selanjutnya tentang pecahan dan bilangan aljabar. Bilangan berpangkat, dan menghitung debit. Aku bisa menebak kalau soal itu yang akan ke luar. Menurut pengalaman di kelas satu, beberapa soal di kelas dua sama, tidak ada yang berubah.
Tak berapa lama, guru pengawas pun berjalan seraya memantau kami yang sedang ujian. Kebetulan, guru kali ini sedikit killer, jadi dia tidak membiarkan satu siswanya yang melihat contekan dalam bentuk apa pun.
Tepat berada di mejaku, Pak Adnan pun berkata, "Andy, kau sudah nomor berapa?"
"Hmmm ... ini, Pak, saya baru nomor lima," jawabku sekenanya.
"What! Dalam waktu beberapa menit, sudah nomor lima!" pekik Pak Andan terkejut.
Seluruh siswa tercengang, mereka menolehku dan seperti sedang melihat makanan rendang yang sangat lezat. Seraya celingukan, aku kembali menatap soal.
"Jangan heran, Pak, dia mafia kunci jawaban di kelas ini," sambar Ilham di pojok ruangan.
Beberapa siswa terkekeh, lalu Pak Andan membalas, "kalau kamu apa, Ham? Rumput liar?"
"Ha-ha-ha ... benar, Pak. Si Ilham itu rumput liar," sambar Rudi dan Jhon.
"Sama saja, kalian bertiga itu rumput liar," tambah Pak Adnan.
Ruang kelas menjadi sangat riuh, yang tadinya sunyi berubah sangat ribut. Akan tetapi, aku tidak peduli dan tetap mengerjakan soal. Tidak ada yang lebih penting selain menyelesaikan ujian sebelum waktunya. Ya, prioritasku demikian.
"Sudah-sudah, kalian kerjakan lagi soalnya, nanti tidak selesai," imbuh Pak Andan.
Kesunyian kelas membuat aku kembali fokus dan mengerjakan soal hingga selesai. Tanpa menunggu lama, di saat Pak Adnan baru saja duduk, aku datang menemuinya.
"Eh, kau mau ngapain Andy?" tanya Pak Adnan penasaran.
"Saya sudah selesai, Pak. Ini soalnya, dan ini jawabannya."
"Master ... bentar, saya mau cek dulu jawaban kamu," jawab Pak Adnan, dia mengernyitkan alisnya.
Beberapa menit menunggu, ternyata nilai langsung diberikan oleh gulu killer itu. Ya, nominal sempurna di angka 100 aku dapatkan di ujian yang pertama.
"Dalam durasi singkat, Andy mendapat nilai 100 dari saya. Nak, kau akan menjadi perwakilan kelas ini untuk olimpiade tahun depan. Persiapkan dirimu dari sekarang," celetuk Pak Adnan.
"Ta-tapi, Pak, di kelas ini ada yang lebih mumpuni. Itu ada Ayunda, ada juga Vera. Mereka selama ini memegang rangking umum, kan?" tanyaku.
"Andy ... kemampuan orang itu beda-beda. Mereka akan berlaga di pelajaran lain, kamu khusus Matematika dan Bahasa Inggris. Karena saya dapat info juga, kalau kamu sangat pasih berbahasa."
"Pak, sa-saya ...."
"Andy, percaya diri. Kamu bisa, apakah kamu mau jalan di tempat aja?" tanya Pak Adnan.
"Hmmm ... baiklah, Pak, saya akan coba," jawabku.
Kali ini, beban berat bertambah satu lagi. Belum selesai memikirkan perihal olimpiade bahasa Inggris, sekarang mendapat lagi tantangan 1, yaitu olimpiade Matematika.
Bukan karena tak sanggup, tetapi aku tidak mau menyakiti hati sahabatku—Vera. Tahun lalu, dia sempat mengikuti olimpiade dengan predikat juara ke 4. Namun, semua itu malah membuat guru ingin menggantikannya.
Sekilas aku menoleh sang sahabat yang tampak masam dan sedih. Pasalnya, dia sudah berusaha lagi untuk tahun ini. Sekarang, dengan mudahnya digantikan. Sebagai siswa yang biasa saja, hal-hal seperti itu bukanlah tujuanku.
Tetapi apa boleh buat, aku tidak bisa menanentang. Sembari berpikir keras, diri ini pun terdiam di bangku yang memang sejak awal pindah di sekolah ini, aku tidak punya pasangan tempat duduk.
"Oke, waktu tinggal lima belas menit lagi. Kalian tulis mama sangat lengkap. Ujian kedua, kita laksanakan selepas istirahat," ucap Pak Adnan.
"Baik, Pak ...," jawab satu ruang kelas.
Satu persatu siswa dan siswi mengumpulkan soal ujian. Ada yang menatapku dengan semringah, ada juga melirik sangat sinis. Namun, aku tetap diam dan membaca buku pelajaran untuk ujian selanjutnya.
"Udah, wey ... kita gak usah dekat-dekat sama Andy. Kan, kita ini rumput liar." Tiba-tiba, Mita pun berkata di belakang.
'Tuh, pasti mereka merasa juga. Emangnya ... ini salah aku apa? Kan, aku enggak ngomong apa-apa,' gumamku dalam hati.
Kring ... kring ....
Bel pun berbunyi. Jam istirahat telah tiba. Seluruh siswa menghambur ke luar ruangan, hanya ada aku dan Ilham saja di dalam kelas. Lelaki yang menjabat sebagai ketua kelas itu datang menghampiri.
Posisi duduknya semakin dekat, lalu dia merapatkan bangkunya. Dari ambang pintu, Tini pun datang juga, dia duduk di senelah kiri.
"Kenapa diam aja? Dari tadi termenung? Ada masalah?" tanya Ilham bertubi-tubi.
Tanpa menjawab, aku hanya sekadar menggeleng.
"Ndy ... kau sakit hati dengan ucapan Mita tadi?" tanya Tini Sulastri.
Kali ini, aku tetap membungkam dan hanya sekadar menggeleng saja.
"Jangan dipikirkan. Kan, mereka memang begitu kalau bicara," kata Ilham.
Seketika aku menoleh kanan, tepat di posisi Ilham. "Apakah aku salah dalam berkata tadi. Kan, aku enggak mengatakan apa pun pada Pak Adnan. Lagian ... aku udah berusaha menolak."
"Kau tidak salah, Ndy. Aku aja yang dibilang rumput liar, biasa aja. Kenapa jadi dia yang merasa," jawab Ilham.
"Tau, tuh, jadi orang, kok, biang kerok banget," sambar Tini.
"Sebenarnya, aku masuk sini hanya ingin biasa aja. Dari awal aku minta, untuk masuk ke kelas Akuntansi 1 atau 2. Tapi, kenapa dapat di kelas ini," jawabku.
"Hmmm ... kalau kau masuk kelas lain, mungkin kami tidak punya orang berbakat dalam segala hal. Memberikan kami contekan, dan mau memberikan saran." Ilham pun mengambil ponselnya.
Lalu, dari samping kiri, Tini mengelus pundakku sangat lembut. "Sudahlah, jangan pikirkan. Ingat filosofi pohon yang kau katakan beberapa hari lalu? Semakin tinggi pohon itu berdiri, semakin deras juga angin yang menerpanya."
"Ya, kau benar. Aku akan bilang sama Pak Adnan dan Bu Rani, kalau aku tidak akan menerima ajakan mereka untuk mewakili sekolah di olimpiade tahun ini," kataku.
Tanpa mampu berkata, kedua sahabatku terdiam di posisinya. Beberapa menit setelah itu, dari ambang pintu datang Dedi dan Gibral. Siswa dari kelas sebelah melangkah laju menghampiri.
Keduanya duduk di posisiku paling depan, lalu menatap sangat tajam.
"Tadi aku dengar di bawah, katanya ada yang lagi gosipin kamu, Ndy?" tanya Gibral.
Tanpa menjawab, aku menaikkan pundak saja.
"Emangnya ada masalah apa, ya? Kok, seperti sangat serius gitu?" tanya Dedi penuh selidik.
"Biasalah, orang yang gak mampu selalu begitu," sergah Ilham menyambar.
"Udah, Ham ... jangan makin memperkeruh situasi," tambah Tini menengahi.
Bersambung ...

KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Ku
Dla nastolatkówMenceritakan kehidupan seorang guru, terinspirasi dari kisah nyata penulis menjadi pendidik hingga menuai berbagai konflik dalam hidup.