Semburat arunika mulai datang, menyingsing suasana subuh, dan kumandang azan telah terdengar. Karena sudah terbiasa bangun lebih awal, membuat aku tidak begitu terkejut di kala tak ada orangtua. Lamat-lamat, aku membuka mata seraya mendudukkan badan.
Sejak kemarin, kami memilik tidur di ruang tamu berdua dengan sang adik. Walaupun menggunakan tempat tidur yang berbeda, kami tetap dalam satu ruangan. Dengan lembut, aku menggoyangkan lengan sang adik.
"Siti, kau enggak bangun?" tanyaku perlahan, sambil menyibak kedua bola mata.
"Hmmm ... bentar lagi," gumam sang adik menjawab.
Untuk bangun pagi, adikku memang sangat malas. Pasalnya, dia hanya takut kalau bapakku yang membanguni. Namun, sang bapak sekarang tak ada, sehingga dia sedikit bandal.
Tanpa peduli dengan Siti yang masih tertidur, aku pun membangkitkan badan seraya berjalan menuju dapur. Tanpa disangka, kalau tadi malam terjadi hujan lebat hingga membuat atap rumah kami sedikit terbuka. Sehingga, cahaya dari langit masuk begitu saja.
Di meja dekat kompor gas, sudah tersedia telur dan beberapa sayuran. Aku pun mengambil bayam sembari memotongnya beberapa bagian. Menunggukan sang adik bangun, kali ini aku akan menggoreng telur.
Menggunakan bumbu apa adanya, telur pun sudah selesai aku goreng. Dari ambang pintu, seseorang seperti hadir. Ya, dia adalah adikku yang ternyata bangun tanpa ada yang bersuara keras.
"Kau ngapain di situ?" tanyanya spontan.
"Aku lagi goreng telur untuk makan kita. Emangnya ... kau enggak lapar apa?" Kali ini, aku yang bertanya balik padanya.
"Hmmm ... lapar, tapi aku tak yakin kalau kau bisa melakukan itu," sambung Siti, dia berkata sangat remeh.
Sang adik pun bergegas memasuki kamar mandi dengan membawa handuk, kemungkinan dia akan membersihkan badan lebih dulu. Setelah selesai menyayur bayam, aku pun bergerak menuju kamar tidur dan ingin membersihkan badan juga.
Sementara di samping lemari, makanan sudah tersedia untuk sarapan. Perasaan pun berubah tenang, lalu aku dapat mandi dengan cepat. Hari ini adalah ujian hari kedua, mata pelajaran Bahasa Inggris dan Bahasa Jepang.
Walaupun aku baru beberapa kali ikut belajar Bahasa Jepang, akan tetapi sudah sedikit paham dengan materi tersebut. Karena sangat sibuk malam ini, tak ada waktu untuk kamu belajar di rumah.
Sibuk tak menentu, membuat aku dan sang adik berada dalam satu ruangan saling tukar tatap. Menu ala kadarnya telah tersedia, kemudian napas ini berubah menjadi ngos-ngosan setelah mendapati beberapa menu tak sesuai selera.
"Ternyata, memasak itu susah. Terkadang, kita sudah mendapatkan masakan yang enak malah tak mau makan," celetuk sang adik.
"Ya, itu kamu. Kalau aku, sih, selalu makan saja apa yang menjadi menu," kataku menyambar.
"Mulai, memuji diri sendiri. Perasaan, kita berdua selalu begitu," ungkap sang adik.
"Ya, sudah, kita makan aja ini. Daripada sakit perut, nanti bisa repot," kataku mengajak.
Kami pun menyantap menu masakan yang aku sayur pagi ini, meskipun sedikit lambat mengunyah, karena sempat tak mampu masuk ke dalam mulut. Namun, kami harus belajar menjadi anak yang menghargai makanan. Karena di luar sana, masih banyak yang tidak bisa makan.
Setelah selesai sarapan pagi, aku dan sang adik mengambil tas dan menggendongnya di pundak. Kami bersama-sama ke luar dari rumah, dan aku menutup semua pintu. Kali ini, kami pergi lebih awal, karena akan mengambil uang dari jualan si emak di warung.
Siti pun menyalakan motor dan dia menarik gas hingga menciptakan bunyi yang sangat dahsyat, bahkan telingaku terasa sangat panas apabila dia memanasi motornya.
"Siti ... kalau manasi motor jangan keras-keras, bising banget ini," kataku mengomel.
"Ah, kau ini, baru juga segini udah ngeluh. Ayo, naik, nanti kita telat pergi sekolah," katanya menyuruh.
Dengan sangat cepat, aku pun menaiki motor dan duduk di belakang. Belum pun mapan ketika duduk, samg adik malah menarik gas sangat laju dan membuat aku hendak jatuh.
"Aduh! Buset! Kalau bawa motor pelan-pelan," omelku.
Siti pun mengedarkan senyum simpul, lalu dia kembali fokus menatap dengan dan menyetir. Beberapa warung sudah kami datangi untuk mengambil uang, mereka bertanya-tanya kenapa si emak tak menitipkan kuenya lagi di warung mereka.
Setibanya di depan kelas, aku pun turun dari motor dan berjalan menuju halaman depan. Siti telah pergi begitu saja. Lalu, aku berjalan memasuki halaman depan dan menenteng susu hangat di dalam botol minuman.
Dari arah belakang, seseorang menyentuh pundakku. Lalu, aku menoleh orang tersebut. "Eh, kamu, Fin."
"Tumbenan kau datang agak telat. Kenapa?" tanyanya.
"Iya, karena kami lagi terkena musibah. Oh, ya, kau kenapa pergi naik angkot? Emangnya ... enggak tinggal di kos lagi?"
"Enggak juga, aku habis menginap di rumah teman. Andy, aku entar malam nginap di rumah kamu, ya. Soalnya ... aku bosan di kos terus," kata lelaki setengah dewa itu.
Tanpa menjawab, aku pun mengangguk dan sekadar fokus menatap depan saja. Di bangku tunggu, telah ada Maya dan Mita tengah bergosip. Aku tak mau menemui mereka, akan tetapi Arifin malah menarik tangan ini.
Seribanya di hadapan wanita itu, aku dan Ari bergeming tanpa suara.
"Kalian akrab banget belakangan ini, Ndy?" tanya Maya.
"Bukan aku yang akrab, tapi anak ini yang selalu saja ngintilin," sergahku.
"Aku nyaman berteman sama Andy, jadi kami selalu sama-sama aja," imbuh Ari.
"Asal jangan ketularan tulang lunak kamu, Ndy. Kan, orang ganteng zaman sekarang pada begitu semua," sambar Maya meledek.
Dengan memukul kening, aku pun menjawab, "amit-amit ... jabang bayi."
Beberapa menit setelahnya, datang lagi seorang lelaki yang sepertinya tulang lunak juga. Namun, aku tak kenal siapa dia. Kulitnya sedikit gelap, dengan tinggi badan yang standart. Entah dari mana datangnya anak itu, karena hari ini baru terlihat.
"Ari, kau udah selesai tugas untuk minggu depan?" tanya lelaki itu dengan nada suara di lebay-lebaykan.
"Udin, lah, karena aku mau nyontek aja nanti," kata Ari.
"Nyontek dari siapa?" tanya lelaki hitam itu lagi.
"Nih, ada mafia kunci jawaban." Arifin pun menoleh ke arahku secara saksama.
Sembari membuang wajah menuju lantai, akhirnya bel untuk masuk kelas pun berbunyi. Kami menghambur untuk menaiki gedung sekolah, tepat di lantai tiga. Melalui tangga darurat, aku pun berada di posisi depan.
Sementara Maya berada di sampingku, lalu siswi itu menoleh terlihat dari lirikan ekor netra. "Andy, kau suka sama bakwan enggak?"
"Hmmm ... enggak begitu, karena aku tak suka sayur," jawabku.
"Oh, ini aku udah buatkan kamu gorengan bakwan. Spesial, dan semoga kamu bisa menerimanya." Maya memberhentikan langkah.
Aku pun berhenti juga di samping ruang BK, menatap sodoran yang diberikan oleh Maya. Meskipun sudah beberapa kali aku tolak pemberiannya, akan tetapi Maya tetap bekerja keras untuk memberikan.
Akhirnya, pagi ini hatiku pun terbuka untuk menerima pemberian itu, kemudian aku berkata, "terima kasih, May."
"Iya, sama-sama. Semoga ... kali ini gorengannya kau habiskan, bukan Ilham dan Tini lagi yang makan," imbuh Maya.
Tanpa menjawab, aku mengangguk dua kali. Kemudian, aku meninggalkan Maya dan berjalan sangat kencang memasuki ruang kelas. Di tangan kanan, aku menenteng gorengan itu yang hampir setiap hari diberikan.
Di dalam ruang kelas, aku mendudukkan badan seraya menatap gorengan yang tersusun rapi di dalam sebuah tempat. Kemudian aku memasukkannya ke dalam laci.
'Segini perjuanganmu untuk membuat aku suka, May? Tetapi, aku tak bisa merubah perasaan ini sama kamu. Maafkan aku!'
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Ku
Teen FictionMenceritakan kehidupan seorang guru, terinspirasi dari kisah nyata penulis menjadi pendidik hingga menuai berbagai konflik dalam hidup.