Setibanya di depan rumah, suasana berubah menjadi sangat sunyi. Yang tadinya ramai karena keponakan, sore ini bak sebuah kuburan umum di tengah kota. Aku dan Siti meletakkan motor di samping rumah, kemudian kami menuju pintu depan untuk masuk.
Yang membawa jalan adalah Siti, dia bergeming di ambang pintu dan aku juga berada di sana. Beberapa menit setelahnya, Siti menoleh ke belakang badan 180 derajat. Saking penasarannya, aku pun mendekat dan bergeming di sampingnya.
"Kau kenapa?" tanyaku penuh selidik.
"Eng-enggak, biasanya emak meletak kunci di dekat sini. Tapi, sekarang kenapa tidak ada, ya?" tanyanya seraya mengernyit.
"Ah, kalau mencari yang benar. Kan, kau belum bongkar sendal-sendal," kataku, kemudian kami membongkar sendal di pinggir pot bunga.
Dugaan awal dalam hatiku, kalau kunci rumah telah terselip di sana. Namun, kami kehilangan benda kecil tersebut agar dapat memasuki rumah. Saking lelahnya, kami berdua mendudukkan badan di ambang teras dan saling tukar tatap.
"Siti, tadi pagi kau meletak kunci di mana emang?" tanyaku.
"Eh, mana aku yang nyimpan. Kan, emak yang terakhir pergi. Lagian ... gak pernah sejarahnya aku menyimpan kunci," omel Siti ngegas.
"Terus, gimana kita bisa masuk? Masak iya, masuk dari dapur. Hmmm ... entar di teriakin maling lagi," celetukku sekenanya.
Belum lama bergeming, kami berdua pun meneguk air mineral sisa tadi di sekolah. Agar tidak terlalu tegang, aku pun mengambil cokelat yang masih ada separuh dari dua hari lalu. Seketika aku memberikannya pada sang adik sedikit, sekitar dua potong.
"Kau mau cokelat?" tanyaku.
"Ih, ini cokelat tahun kapan? Kan, udah lama banget di tasmu," tebaknya.
"Enak aja tahun kapan, ini cokelat dua hari lalu. Kalau enggak mau, ya, gak masalah. Aku gak maksa," kataku seraya mengunyah cokelat batang itu.
Dari pingir jalan, Yuli dan Nita—tetanggaku berlari sangat kencang. Pasalnya, mereka seperti tengah dikejar oleh hantu. Namun, sekarang masih siang dan tak mungkin kalau hantu datang siang-siang.
Keduanya tak mengenakan sendal, napas mereka sangat ngos-ngosam ditimpali dengan keringat yang membasahi badan. Tibalah mereka di hadapanku, lalu keduanya terdiam seribu bahasa.
"Gem, kau udah tahu berita hari ini belum?" tanya Nita, dia sangat menahan napas.
"Iya, Bang, kalian udah tahu apa belum?" tanya Yuli menyambar.
"Emang ada berita apa, sih? Kok, kelihatannya seperti penting banget gitu. Tarik napas dulu ... buang dari mulut." Mereka pun mengikuti apa yang aku katakan. "Ayo, sekarang mulai cerita lagi."
"Jadi begini, Bang. Kalau Nuri, keponakan Abang kecelakaan di Sipaku. Katanya ... kalau dia sudah meninggal dunia!" pungkas Yuni, ditimpali dengan Nita—kakaknya.
"Apa! Pasti kalian salah melihat. Enggak mungkin, kan, tadi pagi aku melihat dia lagi pergi sekolah selisihan. Emangnya kalian udah melihat wajah dia dari dekat?" tanyaku lagi.
"Iya, Bang, kami enggak mungkin salah. Itu adalah Nuri, boncengan sama anak Wak Senuk. Eh, tadi digendong sama Wak Cipto katanya mau ke klinik estomihi," papar Nita menjelaskan.
Belum lama berbincang, si emak pun tiba dengan membawa pulut hitam di samping motornya. Namun, wajah si emak tampak biasa saja seperti tak ada masalah sama sekali. Saking penasarannya, aku pun berlari diikuti dengan Siti di samping.
Tibalah aku di hadapan sang emak yang baru saja mematikan mesin motornya. "Mak," panggilku singkat.
"Iya, Le, ada apa?" tanya si emak.
"Mak, aku mau nanya. Tapi Emak jangan langsung terkejut, ya. Katanya ... Nuri kecelakaan, dan sudah meninggal di Simpang Sipaku!" seruku menjelaskan.
"Ah! Ada-ada aja, wong tadi pagi baru minta duit sama mamak, kok," jelas si emak dengan sangat yakin.
"Nek, dia kecelakaannya sekarang ... ini lagi dibawa ke estomohi!" jelas Yuli dan Nita.
"Tunggu-tunggu, itu bapaknya lewat biar aku datangi."
Si emak pun berlari laju menuju jalan aspal, aku dan yang lainnya mengikuti. Sementara di ujung pandangan, tampak orang-orang sedang berlari entah ke mana.
Melihat si emak tengah berdiri di tengah jalan, ayah dari keponakanku pun memberhentikan motornya. "Don, katanya anakmu kecelakaan. Apa benar?"
"Ah, sopo seng nomong, Mak? Enggak, kok!" sergah Doni.
"Lah, ini orang-orang pada bilang. Katanya di Simpang Sipaku," jelas si emak.
"Loh, tadi aku lewat sana, Mak. Memang ada yang kecelakaan, tapi aku enggak singgah dan pulang aja."
"Tuh, kan! Itu anakmu mungkin. Ayo, kita susul ke sana." Si emak pun membuang pulut hitamnya di jalan aspal, dia pergi bersama ayah dari keponakan.
Aku dan Siti mengikuti mereka dengan motor bebek yang badu saja kami parkirkan. Dengan sangat laju, kami pun berkendara menuju pusat pembicaraan. Di sepanjang jalan, orang-orang berlari menuju Simpang Sipaku.
Berjarak beberapa meter dati rumahku, ternyata benar kalau terjadi kecelakaan di sana. Jantungku bergetar hebat, ditimpali napas yang sangat ngos-ngosan. Namun, sang keponakan tidak ada lagi dan hanya sisa darah beserta daun keladi dan pisang.
"Katanya cucuku tabrakan di sini? Mana anaknya sekarang?" teriak si emak sambil menangis.
"Nek, cucunya dibawa ke klinik," jawab seseorang yang hadir di sana.
Kami pun kembali menginjak gas motor dan bergerak laju menuju klinik yang tak jauh dari lokasi saat ini. Setibanya di klinik itu, sudah ramai akan orang-orang. Kami pun masuk dengan menyibak yang berhadir, kemudian menuju ruangan tersebut.
Tepat di atas pembaringan, sang keponakan sudah diberikan infus dan oksigen di hidungnya. Meskipun kepalanya telah pecah dan darah terus ke luar, akan tetapi dia tetap bertahan.
"Haduh ... sakit, Mak ...," rengeknya.
Ruang klinik menjadi dramatis, aku pun tak mampu membendung sedih dan ikut hanyut dalam suasana. Belum lama bergeming, bapakku datang dan mereka membawa keponakan ke ambulan.
Menurut dari perbincangan dokter, pihak mereka tak sanggup dan harus merujuk korban menuju RS. Adam Malik, Medan. Tanpa dipedulikan, aku dan Siti pun bergeming bagai patung dalam posisi menatap sejurus ke ambang trotoar.
Seluruhnya pergi dari klinik dan tersisalah aku dan Siti. Akhirnya, kami kembali pulang dengan isak tangis yang masih menyertai. Tibalah kami di rumah, pintu kali ini sudah terbuka lebar dan membawa beberapa sahabat datang menghampiri.
Nita dan Yuli masih ada, mereka pun mendudukkan badan di teras depan rumah. Secara saksama, keduanya ikut dalam kesedihan.
"Kalian sabar, semua ini cobaan," kata Nita.
"Kalian tahu kenapa dia bisa kecelakaan?" tanyaku penasaran.
"Katanya, sih, karena dia cabut dari sekolah mau main internet. Tapi enggak tahu juga, sih, soalnya cerita itu simpang siur. Yang pasti, kalau menurut saksi begitu. Pas Nuri mau menyeberang ke aspal, ditabrak mobil gitu. Pas dia jatuh di tengah aspal, ditabrak lagi."
"Apakah separah itu, Yul? Kok, kau bisa tahu sedetail itu?" tanya Nita—kakaknya.
"Kan, aku tahu dari Wak Cipto, dia yang menggendong Nuri sampai klinik," jelas Yuli.
"Oh, biasa aja ... enggak usah ngegas juga!" pekik Nita.
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Ku
Novela JuvenilMenceritakan kehidupan seorang guru, terinspirasi dari kisah nyata penulis menjadi pendidik hingga menuai berbagai konflik dalam hidup.