Setengah jam telah berlalu, aku yang sedari tadi menanti akan kehadiran sang adik, dia tak kunjung datang menjemput. Tepat di hari Sabtu, Siti memang ada kelas di sekolahnya. Bahkan dia latihan drum band hingga sore hari. Karena sekolah sudah sangat sunyi, aku mencoba untuk membangkitkan badan seraya berjalan menuju pintu gerbang.
"Andy, kau mau ke mana?" tanya Tini.
"Aku mau pulanglah, masak iya tidur di sini," jawabku sembari mengomel.
"Hmmm ... aku kira mau nginap sama pak satpam," paparnya lagi meledek.
"Ogah!" Aku tetap berjalan dan melintasi beberapa siswa di parkiran motor.
Tatapan sejurus aku buang pada pusat tatapan, tidak ada sama sekali kehadiran sang adik di ambang gerbang berwarna biru. Aku pun sampai di sebuah portal yang bertuliskan nama sekolah, berjalan santai melintasi trotoar jalan aspal.
Tujuanku hanya ada satu, yaitu menunggu di halte, atau di sebuah konter ponsel milik Bang Taufik. Sembari memainkan ponsel, sebuah tapakan kecil terdengar merayap memasuki lubang telingaku. Karena merasa sangat penasaran, aku menoleh kanan dan kiri sekilas.
'Enggak ada siapa-siapa, lalu yang tadi lagi mengikuti siapa, ya?' tanyaku dalam hati.
Tidak berapa lama, akhirnya aku tiba di konter ponsel dengan cat berwarna serba merah. Lamat-lamat, aku pun mendudukan badan tepat berada di sebuah bangku terbuat dari semen dan batu bata. Sementara teman setia hanya ada ponsel, menatap layar dan berselancar di akun social media.
Rasa bosan menyergap, karena jemputan tidak kunjung datang sejak beberapa menit aku menunggu. Dari konter ponsel, banyak orang simpang siur mengisi pulsa, atau token listrik. Untuk teman bicara, sepertinya tidak ada karena siswa dan siswi telah menghambur pulang setengah jam yang lalu.
"Masih nunggu jemputan, Ndy?" tanya seseorang, dari nada suaranya sangat dewasa dan berasal dari belakang badanku.
Secara saksama, aku menoleh ke belakang badan. Ternyata benar, dia adalah Bang Taufik—pemilik konter yang saat ini aku singgahi. Dia menatap dengan netra tajam, senyum simpul juga diedarkan karena memang dia adalah laki-laki pemilik senyum manis.
"Eh, Bang Taufik. Iya, nih, Bang, aku lagi nunggu jemputan dari tadi." Selepas berkata, aku menatap arloji di tangan sebelah kiri.
"Mungkin ada urusan kali emak kamu, coba aja telepon," ujarnya.
"Yang jemput bukan emak, Bang, tetapi adik yang sekolah di seberang Simpang." Kedua netraku mendelik ke seberang.
"Oh, barangkali di ada tugas. Kenapa enggak coba naik mobil angkutan aja? Kan, cuma bayar dua ribu aja." Bang Taufik pun memberikan saran.
Sejenak aku berpikir dan membungkam, karena sedari dulu aku tidak bisa naik mobil angkutan. Muntah di dalam mobil, serta mual dan pusing. Hal demikikan akan terus-menerus terjadi beberapa hari ke depan.
Akibat takut mengambil risiko, aku hanya fokus dengan ponsel dan menanti telepon dari sang adik atau emak di rumah. Sementara menjelaskan tentang alasan itu ke Bang Taufik, takut dia malah meledek karena aku adalah anak cowok yang manja.
Laki-laki pemilik konter pun keluar dari dalam rumahnya, dia membawa sebotol minuman berwarna merah dan mendudukan badan di sampingku.
"Silakan minum dulu, mana tau kau haus." Dia menyodorkan minuman itu padaku.
"Eh, Bang. Aku malah merepotkan," jawabku sekenanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Ku
Teen FictionMenceritakan kehidupan seorang guru, terinspirasi dari kisah nyata penulis menjadi pendidik hingga menuai berbagai konflik dalam hidup.