Tepat di samping ruang UKS, aku memberhentikan langkah karena mendapati hal aneh di dalam kamar mandi. Tidak biasanya, pintu ruangan yang telah lama tak terpakai itu terbuka setelah sekian windu merapat tanpa cahaya. Secara saksama, aku menoleh ke dalam sembari celingukan tanpa henti.
Tiba-tiba, suara percikan air keran pun terdengar merayap dan memasuki lubang pendengaran. Sementara di lantai tidak ada tanda apa-apa perihal jejak kaki manusia. Rasa penasaran semakin gelenyar dan membuat aku sangat ingin melangkah masuk. Bersama tapakan gontai, kedua netra ini hanya sejurus pada kamar mandi tak terpakai itu.
Tepat di ambang pintu yang menghubungkan antara toilet pria dan wanita, aku memberhentikan langkah. Namun, di sana tidak ada siapa pun. Menggunakan tangan kanan, kucoba untuk menyibak pintu kamar mandi tersebut. Terbukanya pintu itu tidak memerlihatkan apa pun, kemudian kedua kaki ini menuju toilet paling sudut dengan portal bertuliskan kamar mandi wanita.
Tibalah aku di pusat tatapan, kembali tangan kanan pun mencoba membuka pintu kamar mandi tersebut seraya membulatkan kedua netra. Belum pun pintu terbuka lebar, suara berdesik muncul dari sana.
'Apa aku kata, kalau di ruang kamar mandi ini sangat berhantu. Tetapi kenapa hantu di sekolah muncul siang hari, ya? Ah, enggak mungkin kalau makhluk gaib suka dengan terik matahari,' gumamku dalam hati.
Selepas bersenandika, aku menyibak pintu kamar mandi wanita secara spontan.
Gubrak!
"Hantu ... tolong, ada hantu!" Menggunakan kedua tangan, aku pun menutup netra karena tak ingin menatap ke depan sana.
Sebuah tapakan lembut mendarat di pundakku sebelah kanan, sedikit lembut dan terasa sangat basah. Karena sangat ketakutan, aku tak menghiraukan makhluk tersebut dan menyibaknya dengan menggoyang-goyangkan badan.
"Mbah ... jangan ganggu aku. Tolong jangan sakiti aku, tadi cuma kepo aja karena pintu kamar mandi terbuka." Tanpa menoleh, aku berucap sekenanya.
Akan tetapi suara itu menghilang dengan cepat, bersama telapak tangan juga telah beringsut pergi. Perlahan aku menetralisir rasa takut sembari membuka netra perlahan ke depan. Dalam samar, sebelum akhirnya suasana temaram itu berubah terang.
Seketika aku menatap sebuah talapak kaki di lantai kamar mandi, sebuah sepatu berwarna hitam dengan kaus kaki sedikit bermotif. Seketika aku menatap menuju langit-langit.
"Astaga! Kau ngapain di sini?!" pekikku dengan memukul sang sahabat telah berada di depan.
"Biasa aja kali nengoknya, jangan terlalu alay. Kau itu yang ngapain di sini, mana ngatain aku hantu lagi!" omel Rudi sekenanya.
"Tadi aku enggak sengaja lewat sini, karena pintu kamar mandi terbuka lebar, bukan salah aku kalau kepo dan ingin memastikan." Seketika aku pun menoleh ke ruangan yang tadinya sangat mengerikan.
"Hmmm ... ngapain, sih, kau ke sini. Buruan keluar, mengganggu orang saja," jawab Rudi sembari menyuruh aku keluar.
Mendengar ucapan itu aku memgernyit, seketika pikiran ini jorok dan sangat kepo untuk mengetahui apa yang dia lakukan. Bersama senyum geli, aku pun kembali menatap lawan bicara secara saksama.
"Apa kau nengok-nengok!" pekiknya.
"Aku tahu apa yang kau lakukan di sini, pasti lagi nganu ... iya, kan?" tanyaku sekenanya.
"Nganu apa?" Menggunakan tangan kanan, Rudi memperbaiki resleting celananya.
Tanpa menjawab lagi, aku pun mengernyitkan bibir mengarah ke celana remaja berbadan kekar itu. Karena perbuatan dia sangat tidak lazim, kemudian aku memutar badan karena sangat malu.
"Kalau memperbaiki resleting jangan ke arahku, enggak ada malunya jadi orang!" omelku sedikit ngegas.
"Ngapain harus malu. Lagian ... kau itu cowok, punya kita sama. Kalau mau lihat biar aku keluarkan sekarang," sambarnya lagi, lalu dia menyentuh pundakku perlahan.
"Gila kau, gini-gini aku masih normal lagi." Tanpa memperpanjang perdebatan, aku pun melangkah dan hendak keluar dari ruang toilet.
Sementara Rudi mengikuti dari belakang, dia pun bergerak bersamaku dan bergeming di ambang pintu. Tidak berapa lama, Nazmitha melintas seraya memakai earphone berwarna putih. Wanita kurus itu berhenti setelah tiga langkah menapak, lalu dia memundurkan badannya seraya menatapku.
"Kalian ngapain berduaan di dalam toilet?" tanyanya penuh selidik.
Menggunakan tangan kanan, Rudi menggaruk kepalanya tanpa henti. "Ka-kami, kami enggak ngapa-ngapain. Kepo sekali jadi orang."
"Sudahlah ... kalian berdua ngaku saja! Lagi ngapain di dalam sana? Pasti pada nganu berdua, kan?" Wanita kurus itu mulai mengedarkan tawa kecil dibarengi senyum jijik.
Karena memang tidak melakukan apa pun, aku hanya menarik napas berat seraya membuang tatapan menuju lantai dua.
"Andy, kau sudah diapain sama Rudi?" tanyanya lagi.
Menggunakan tangan kanan, aku memukul kening wanita kurus itu secara spontan. "Pikiranmu jorok, kau kira kami laki-laki homo apa!"
"Ha-ha-ha ... kan, lagi musim orang kayak gitu. Lagian aku curiga sama kalian, kemarin ketahuan lagi makan bareng di kantin. Sekarang malah ketahuan berduaan di ruangan tak terpakai," ujarnya.
Karena Maya telah datang dari koridor, aku pun keluar dari ambang pintu seraya mendekat ke tubuh wanita tomboy itu. Sedangkan Nazmitha masih mengintrogasi Rudi perihal apa yang dia lihat barusan, memang wanita kurus itu selalu kepo dengan apa yang terjadi di sekolah.
Maya dan aku melintasi beberapa siswa untuk menuju kantin sekolah, sembari menanti bel berbunyi, kami sama-sama mendudukan badan di kursi. Tepatnya di bawah pohon bunga tanjung. Terlihat sedari tadi kalau sang sahabat sedang menekan kepala beberapa kali, tanpa menoleh dia menjalankan aksinya itu.
"May, kau baik-baik saja?" tanyaku mengawali ucapan.
"Kepalaku pusing banget, pasti karena kena hujan semalam," jawabnya, kemudian dia mengambil tisu untuk menghapus air yang keluar dari hidungnya.
"Kau demam, May? Kenapa sekolah, lebih baik minum obat saja di rumah," ujarku memberikan nasihat.
Mendengar ucapan itu, wanita tomboy di samping menoleh. "Kalau aku di rumah bukan sembuh malah semakin sakit."
"Lah, kenapa bisa begitu?" tanyaku penuh selidik.
"Kau seperti tidak tahu nenekku saja di rumah, enggak bisa melihat cucunya diam dan istirahat."
Mendengar pengakuan itu, aku hanya mengangguk dan sangat mendukung. Karena neneknya sama dengan sifat ayah aku di rumah, selalu emosian dan hanya mampu membuat overload naik ketika siapa pun yang berbicara.
Meskipun begitu, aku tetap menyayangi ayah. Karena yang kutahu ketika belajar agama dengan Pak Bobi, kalau orangtua adalah surga buat anaknya. Seketika bel berbunyi sangat keras, menandakan jadwal untuk apel pagi dilaksanakan.
Seketika para siswa dan siswi menghambur dan berbaris rapi. Bahkan yang sedang makan di dalam warung juga beringsut pergi. Sementara guru olahraga dari gendung dua sudah turun membawa ikat pinggang. Lelaki bermata tajam itu sangat membuat takut, tetapi aku tidak sama sekali.
Karena di sekolah aku adalah siswa yang sangat rajin dan taat peraturan. Sehingga para guru tidak ada yang memberikan hukuman. Sejak semester satu, aku adalah siswa paling diprioritaskan, karena menjadi bibit unggul untuk olimpiade mewakili sekolah.
Padahal aku adalah siswa baru yang beberapa hari lalu bergabung di sekolah, para guru sudah percaya dan ingin membentuk karakter dalam diri ini sangat signifikan. Untuk urusan rangking, aku selalu memegang yang pertama ketika duduk di bangku SMP. Namun, tidak tahu dengan prestasi di SMA, apakah bertahan atau justru menurun.
Untuk meraih rangking kelas, aku tidak berharap banyak. Karena aku hanya menjalani dan menunggu keputusan, tetap lakukan yang terbaik saja untuk belajar. Dengan begitu para guru bisa memilih, siapa siswa berprestasi dan siapa yang hanya sekadar mengejar prestasi.
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Ku
Teen FictionMenceritakan kehidupan seorang guru, terinspirasi dari kisah nyata penulis menjadi pendidik hingga menuai berbagai konflik dalam hidup.