Bab 29

92 3 0
                                    

"Hai ... kalian lagi apa di sini? Pada diem-dieman." Tiba-tiba, Maya dan Mita datang dengan membawa bakso di dalam plastik.

Sekilas aku menolehnya, lalu kembali membaca buku. Tak berapa lama, datang lagi Rudi dari arah yang berlawanan. Manusia sangat kepo itu selalu saja hadir di sela-sela pembicaraan, entah tercipta dari apa anak itu.

Setiap dia datang, kami tak mampu menahan tawa. Pasalnya, semua tingkah yang dia lakukan mengundang komedi. Aku yang sudah tahu kalau dia di sebelah kiri, kemudian aku menggeser tempat duduk.

"Ngapain kalian di sini? Enggak ngajak-ngajak," celetuk Rudi tiba-tiba.

"Eh, kamu juga yang ngilang kayak hantu. Dari tadi kami udah nunggu di depan perpus, kau enggak datang," sambar Maya ngegas.

"Dasar anak gunduruwo," sambung Mita.

"Sorry-sorry, tadi aku bertemu cewek di bawah. Dari gaya-gayanya, sih, anak baru. Tapi enggak tahu juga, lah,"  jelas Rudi, dia pun menoleh wajah Arifin beberapa kali.

"Kau ngapain nengok ke sini?" tanya Ari spontan.

"Ih, GR banget kamu. Aku lagi melihat yang di samping itu," sergah Rudi, ucapannya tertuju padaku yang berada pada posisi tengah.

Sekilas kutoleh dia, lalu aku menjawab, "emangnya kenapa sama aku?"

"Enggak apa-apa. Oh, ya, kalian udah dapat undangan ulang tahun belum?" tanya Mita lagi.

"Dari siapa?" tanya Maya penasaran.

"Itu, dari nenek gayung. Di sebelah nenek rombeng." Kali ini, kedua bola mata Mita tertuju pada Rahma dan Risma.

"Oh, enggak penting juga. Lagian, pas aku ulang tahun dia cuma bawa kaus kaki anak bayi. Untuk apa coba, emang aku udah kawin. Kalau pun kawin, sama siapa? Pocong!" omel Maya bertubi-tubi.

"Hus! Jangan bahas pocong, aku kemarin masuk kamar mandi ada putih-putih gitu. Katanya, sih, sekolah kita ini pernah ada siswi gantung diri." Aku yang berkata, kermpat sahabat yang merasa takut.

Menurut yang aku dengar dari ucapan beberapa orang, lalau sekolah kami berhantu. Bukan karena hantu yang datang dari kuburan di samping kanan sekolah. Tetapi, hantu itu adalah siswi yang gantung diri karena putus dengan pacarnya.

Walau pun begitu, aku tidak takut. Kemungkinan, kalau aku disuruh tidur di dalam kamar mandi sendirian, baru takut. Ruangan di sekolah ini sangat terang, banyak lampu dan ada juga AC serta kipas.

Namun, yang namanya sekolah dekat dengan kuburan, akan terasa mistisnya juga. Bila malam tiba, sering benerapa satpam dijumpai kuntilanak. Namun, aku tidak takut dengan hantu itu.

Tepat di lantai dua, aku punya sahabat bernama—Siti. Anaknya manis, berambut panjang. Namun, dia sering kesurupan. Kalau sudah hantu masuk ke dalam badannya, dia selalu melotot dan minta siram.

Kalau menurutku, hantu yang masuk ke badan dia adalah orang yang jarang mandi ketika dulu. Tetapi tidak tahu juga, karena hantu di era teknologi ponsel BBM, selalu ada-ada saja bentuknya.

"Hai-hai ... aku datang ke sini mau bagi-bagi undangan ulang tahun," celetuk Risma.

"Halah ... basi banget, udah besar pakai acara ulang tahun segala," sambar Maya dengan nada suara pelan.

"Ini untuk Rudi, ini Andy, ini untuk Maya. Karena Mita udah dapat, kamu enggak dapat lagi," ucap Risma.

"Lah, yang lain pada dapat, kenapa aku enggak?" tanya Arifin.

"Yah ... undangannya udah habis. Gimana, dong?" tanya Ari melas.

"Kau bawak pulpen enggak?" tanyaku pada Arifin.

Lawan bicara mengangguk, lalu dia memberikan pulpen itu untukku. Melihat aksi yang aku lakukan, keenam sahabat tercengang.

"Nih, nama kamu dan nama aku ada di undangan. Berarti, kita satu undangan aja," kataku menjelaskan.

"Pintar! Memang kalau Andy selain rangking 1 dia juga pintar dalam menyatukan. Ha-ha-ha ... udah kayak iklan ikan terbang aja." Seluruh sahabat pun terkekeh.

Tak berapa lama, bel pun berbunyi. Menandakan, kalau waktu masuk telah tiba. Dengan mengakhiri percakapan, kami membangkitkan badan seraya masuk ke dalam kelas.

Di dalam ruangan, sudah banyak yang hadir. Siswa dan siswi di sekolahku mayoritas beragama non-muslim. Namun, kami tidak pernah saling menyingggung agama. Dapat dihitung jemarilah, yang siswa beragama islam.

Toleransi yang selalu diutamakan oleh pendidik di sekolah adalah tentang kebersamaan. Ya, apa pun agamanya tetap hamba Tuhan. Walau pun, kantin kami dibagi tiga bukan karena memisah antara agama. Hanya saja, mengantisipasi kalau rebutan makanan.

Mata pelajaran yang terakhir adalah Pak SBK. Ya, kami menyebutnya Pak SBK karena dia membawa pelajaran seni dan budaya. Belajar dengannya sangat membuat kami merasa senang, karena bisa bernyanyi dan bermain alat musik.

Contohnya biola, gitar, dan piano. Namun, aku hanya mampu main gitar saja. Tidak seperti yang lainnya, mereka bisa bermain piano karena sering latihan di gereja. Itu kata mereka, aku tidak pernah melihat ketika teman-teman main alat musik di rumah ibadahnya.

Dengan menuruni anak tangga, kami pun bergerak menuju aula khusus untuk belajar musik. Ruangan yang tersedia itu sangat luas, seperti tempat untuk dilaksanakannya salat Jumat.

Materi perihal bermain piano telah diberikan, satu minggu yang lalu. Namun, kami masih ingat.

"Baik anak-anak, kita akan mulai main piano," kata Pak SBK.

Beberapa teman yang tak tahu main alat musik memilih tempat duduk lain. Apalagi kalau bukan gibah, cerita cowok, dan selalu membahas pacar orang.

"Andy, pulang sekolah nanti kita bareng, ya," ajak Maya.

"Ah, enggak," jawabku dengan nada suara menyergah.

"Kenapa, Ndy?"

"May, kalau pulang sekolah sama kamu, jantung aku mau lepas. Ngeri banget kalau bawa motor," kataku menjelaskan.

"Ya, elah ... cemen banget. Cowok kenapa takut, sih," ujar Maya lagi.

"Aku mau pulang kalau kamu pelan-pelan. Kan, kita bisa santai. Kata mamakku, alon-alon asal klakon," paparku menjelaskan.

"Oke-oke, yang penting kita sama-sama. Sekalian ada yang mau aku bilang sama kamu."

"Mau bilang apa? Bikin penasaran aja," kataku.

"Hey, kalian jangan ngoceh. Lihat, noh, si Mita di suruh maju sama Pak SBK." Tiba-tiba, Tini pun berkata.

Tanpa mampu memperpanjang perdebatan, kami hanya fokus mengikuti apa yang menjadi pelajaran musik hari ini. Gesekan demi gesekan senar biola membuat aku sangat pusing. Pasalnya, baru satu kali menatik senar sudah putus.

Padahal, ketika Pak SBK memainkan biola, dia tak pernah memutuskan senar walau pun pergerakan sangat kencang. Teknik-teknik itu yang susah aku pelajari.

Beberapa bermain alat musik, bel pulang pun berbunyi.

Kring ... kring ....

"Yey ....!" sorak seluruh siswa dan siswi.

"Baik anak-anak, pelajaran kita lamjutkan minggu depan. Jangan lupa untuk mengerjakan tugas itu," kata Pak SBK sambil menunjuk papan tulis.

"Baik, Pak ...!" teriak kami serempak.

Bersambung ...

Diary KuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang