Setibanya di rumah, aku bergegas masuk dan ingin mengganti baju. Namun, tepat berada di ambang pintu, kedua netra ini terbelalak ketika mendapati hal yang tidak biasa. Sebuah motor baru telah hadir di sana, berwarna merah dan sangat cantik. Motor metik itu keluaran baru, mereknya juga sangat terkenal di era saat ini.
Secara saksama, aku berjalan dan menuju ruang tamu. Dengan menggunakan tangan kanan, aku menyentuh motor itu seraya celingukan. Bukan hanya diri ini yang sangat heran, Siti juga sangat terpesona dan dia mengitari beberapa kali motor tersebut.
"Dek, ini motor siapa, ya?" tanyaku penasaran.
"Aku enggak tahu ini punya siapa, karena berada di rumah kita otomatis milik kitalah." Selepas berujar, Siti menatapku dan kembali menuju kamar.
Kami sama-sama bergerak dan pergi meninggalkan motor itu, akan tetapi aku terpisah dengan sang adik karena dia masuk kamarnya. Kemudian aku berjalan menuju dapur, rutinitas ini selalu kulakukan sehabis pulang sekolah. Menjumpai sang ibu adalah hal sakral dan tidak dapat dipisahkan, sehingga membuat diri ini harus menjumpainya.
Tibalah aku di dalam dapur, akan tetapi sang ibu tak terlihat sama sekali.
"Mak ... di manakah berada?" tanyaku berkata sendirian.
Satu panggilan tidak ada sambutan, tidak biasanya emak seperti itu. Wanita yang selalu sigap ketika dipanggil menghilang tanpa jejak dari rumah, entah ke mana perginya si emak. Akibat rasa penasaran yang semakin membesar, aku memutuskan untuk mencari di dalam ruang tamu.
Tepat berada pada susunan sofa, si emak juga tidak kunjung terlihat. Aku mendudukan badan karena sangat kehabisan akal dalam mencari, kali ini kedua sayap pun merebah di atas sofa seraya memainkan ponsel. Suasana rumah sangat sunyi, membuat diri ingin menutup netra dan sangat mengantuk.
Dari halaman luar, terdengar sebuah motor berhenti dan terparkir di teras. Aku membangkitkan badan seraya menatap mantap ke pusat sana, batin pun berkata kalau si emak berada di luar. Dengan langkah laju, aku keluar dan menemui wanita yang sekarang tidak ada kabarnya.
Ternyata aku benar, kalau emak ada di luar bersama dengan seorang pria. Kemungkinan dia adalah saudara, akan tetapi aku tidak kenal dengannya. Keakraban mereka membuat diri sangat penasaran, seketika mereka melangkah dan masuk ke dalam rumah.
"Assalammualaikum ...," sapa emak sekenanya.
"Wa'alaikumsallam ...," jawabku.
"Eh, udah pulang anak emak. Sudah dari tadi, Le?" tanyanya penasaran.
"Belum, kok, Mak. Oh, ya, dia siapa?" Menggunakan tangan kanan, aku menunjuk orang tersebut.
"Ini adalah anak Bu Tin—adik emak kandung paling terakhir," jawab wanita paruh baya itu.
"Oh, jadi ini motor dia?" tanyaku lagi.
"Iya, itu motornya karena baru beli tadi."
Mereka pun masuk ke dalam rumah, sepanjang hidup di dunia ini aku tidak pernah melihat pria itu. Dari perawakannya, tampak sangat angkuh karena tidak mau berkenalan atau sekadar basa-basi. Yang membuat diri ini sangat penasaran, si emak tampak sangat senang dengan kehadirannya di rumah.
Aku pun memasuki kamar dan meletakan tas di atas meja, kemudian mengambil gitar dan memetiknya beberapa saat. Dari ambang pintu, sebuah tapakan kaki terdengar memasuki lubang telingaku. Secara saksama, aku menatap mantap orang tersebut dan netra kembali terbelalak.
Ternyata sepupu telah hadir di sana dengan tas ranselnya yang teramat penuh, lalu dia berjalan memasuki kamarku dan meletakan tas hitamnya itu. Tepat di samping kanan, sepupu pun tidak jemu dengan menoleh ke senar gitar yang kumainkan.
Tanpa memedulikan sepupu, aku bernyanyi dan bersenandung lagu-lagu nostalgia era 80-an. Seketika orang di samping seperti heran, dia pun tersenyum akan tetapi membungkam untuk mengeluarkan suaranya.
Melihat aksi tersebut, aku menoleh orang di samping. "Kau kenapa senyum-senyum sendiri?"
Selepas bertanya, aku kembali memetik senar gitar.
"Aku heran aja sama kamu, selain ganteng, kamu pintar main alat musik. Oh, ya, nama kamu Andy'kan?" tanyanya seraya menyodorkan tangan.
Aku pun meraih sodoran tangannya dan kami menjabat. "Iya, namaku Andy. Kau ngapain ada di kamar aku? Kan, di sebelah sana kamar masih ada satu, kosong lagi."
Selepas berkata, aku pun membuang tatapan sinis dan meletakan gitar itu. Kemudian badan ini bangkit dari atas dipan, seraya menuju ke meja belajar. Tatapan masih sama, sejurus pada secarik kertas dan beberapa tugas yang masih menumpuk. Orang di belakang mondar-mandir menatap gambar-gambar di dinding kamarku, telah ada band terkenal dan dia tahu siapa penyanyi itu.
"Kau sangat nge-fans sama Ariel Noah?" tanyanya.
Tanpa menoleh, aku pun mengangguk. "Iya, aku suka dengan band Noah. Kenapa?"
Selepas membuang pertanyaan, orang di belakang merebahkan badannya di atas kasur. "Aku suka di sini, karena sangat sejuk dan nyaman."
'Ini orang mau ngapain, sih, di kamarku enggak keluar-keluar. Aku risih banget kalau ada dia, hufft ....'
Selepas bersenandika, aku pun memutar badan seraya menatap mantap orang yang telah menutup netranya.
"Kau ngapain masih ada di kamarku?" tanyaku lagi.
"Apakah aku mengganggumu di sini?" tanyanya balik.
"Maaf, ya, aku mau belajar. Kau jangan bising kalau di sini," omelku sekenanya.
Lawan bicara mendadak bungkam dengan ucapanku barusan, lalu aku memutar badan seraya menatap tugas kembali. Dengan menarik napas berat, jari-jemari melanjutkan untuk menari di atas kertas berwarna putih. Coretan pena pun ikut ambil andil dalam menyelesaikan semua tugas sekolah.
Ketika mata pelajaran Matematika selesai, aku pun bergegas untuk keluar dan makan sore. Karena perut terasa sangat lapar, membuat diri ini untuk segera mengakhiri belajar.
Singkat cerita—sepupu yang tadinya ada di belakang telah menghilang, entah ke mana perginya dia dan membuat aku celingukan mencari. Perasaan bersalah seketika tumbuh, sehingga aku memutuskan untuk keluar dan menapak menuju dapur.
Setibanya di dalam dapur, si emak tengah menggoreng pisang ditemani dengan sepupu. Aku tidak memedulikan mereka sembari mengambil nasi dari dalam lemari.
"Le, kamu makan yang banyak," ucap emak seraya menatapku.
"Iya, Mak. Kalau Emak sendiri udah makan apa belum?" tanyaku.
"Udah, Le. Oh, ya, adikmu ke mana? Kok, enggak makan juga dia?" tanya emak bertubi-tubi.
"Siti lagi di dalam kamarnya, mungkin sedang tidur." Selepas berkata, aku beringsut pergi dan menapak menuju ruang tengah.
Sampailah aku di samping meja, memakan dengan menatap layar ponsel dan tidak mengetahui kalau orang di samping tengah hadir mendudukan badannya. Lalu aku berhenti mengunyah sesaat, netra ini menoleh menuju orang yang membawa gorengan pisang hangat.
Sepupu pun membuang cengir, tetapi kali ini tidak banyak pertanyaan seperti tadi. Karena sikap awalnya sudah membuat aku overload, sehingga diriku tidak terlalu menanggapinya di sana.
"Kau ngapain senyum-senyum sendirian?" tanyaku spontan.
"Eng-enggak, siapa juga yang senyum," jawabnya sembari membuang tatapan menuju samping.
'Kayanya anak ini ada gila-gilanya, dari tadi enggak begitu waras dalam berbicara. Hmmm ... lagian, kenapa, sih, emak membawa anak ini ke rumah. Kan, aku jadi malas keluar kamar.'
"Kau lagi mikirin apa? Pasti lagi ngomongin aku, kan, di dalam hati!?" ucapnya menebak isi hati ini, dia seperti paranormal saja.
"Kau anak dukun atau bagaimana, sih, sok tahu banget jadi orang!" pekikku membungkam ucapan sejenak.
Karena orang di hadapan tidak lagi berbicara, aku melanjutkan aksi dengan memakan nasi sangat kencang. Harapan sore ini adalah, secepatnya sepupu pergi dan pulang ke rumahnya.
Bersambung ...
![](https://img.wattpad.com/cover/311408664-288-k351483.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Ku
Teen FictionMenceritakan kehidupan seorang guru, terinspirasi dari kisah nyata penulis menjadi pendidik hingga menuai berbagai konflik dalam hidup.