"Ki, aku mau masuk kelas lagi. Bentar lagi pulang, maaf." Setelah melepas pelukan itu, aku pun pergi meninggalkan sang mantan di depan toilet.
Pikiran menjadi tak karuan karena masa lalu. Awalnya biasa saja, karena tujuanku pindah ke sekolah ini bukan karena ingin mendekatinya lagi. Namun, karena di sekolah lama, tidak ada kenyamanan.
Kehadiranku yang baru saja dua bulan di sini, telah disambut baik warga sekolah. Termasuk guru, dan siswa. Bahkan, para guru sudah menjadikan aku salah satu kandidat untuk olimpiade debat bahasa Inggris tahun ini.
Entah menilai dari dasar apa, karena yang aku tahu, pengetahuan tentang bahasa Inggris tak sebagua orang-orang lain. Melalui koridor sekolah lantai tiga, aku berjalan kencang dan memasuki ruang kelas.
Di papan tulis sudah ada tugas, aku tertinggal beberapa materi di sana. Ternyata, serumit itu cinta. Awalnya biasa saja, lama-kelamaan akan membuat jiwa ini terasa terbelenggu. Seketika aku mendudukkan badan di atas bangku, Maya—sahabatku telah pergi.
Wanita yang sekarang menyukai, di balik kedekatan aku pada sang mantan akhirnya berbuntut panjang. Sejak saat ini, aku tak bisa menerimanya dengan banyak alasan. Namun, kalau dia tetap memaksa, kemungkinan aku akan meminta pindah ruang kelas saja.
Belum lama mendudukkan badan, bel pulang pun berbunyi. Seluruh warga kelas menghambur ke luar. Malam nanti, ada sebuah perta ulang tahun sahabat. Namun, rasanya aku tak mau pergi.
Di sisi lain, Risma adalah orang yang paling ramah di sekolah. Bahkan ketika kami berselisih di jalanan, dia selalu berteriak dan memanggil. Peralatan sekolah telah aku masukkan ke dalam tas, tiada satu pun yang tersisa.
Dengan meletakkan tas di pundak, aku pun mencoba ke luar dari dalam kelas yang sudah sunyi seperti kuburan. Beberapa langkah berjalan, sesuatu benda seperti terjatuh dari suatu tempat.
Brug!
"Suara apa itu?" tanyaku berkata sendiri, lalu aku memutar badan 180 derajat.
Ternyata, sebuah buku diary yang tadinya ada di dalam laci meja. Dengan cepat, aku mengambil diary itu dan memasukkannya ke dalam tas.
Sembari berjalan laju, kedua kaki ini melanglah menuju lantai satu. Hampir tujuh ratus siswa tengah memadati lokasi jalan utama, membuat aku harus sabar berdesakan pada siswi dan siswa yang ukuran badannya lebih besar.
Di samping kanan ada Ilham—sahabatku satu kelas. Sang ketua itu menoleh, lalu dia berkata, "kau mau pulang, Andy?"
Mendengar pertanyaan itu, aku mengangguk. "Iya, aku mau pulang."
"Entar malam, aku enggak ada teman untuk pergi ke pesta. Apakah kau mau ikut?" tanyanya lagi.
"Hmmm ... aku naik motor sendiri aja. Tapi, kalau kau mau pergi bareng, singgah di rumah," jawabku.
"Oke, kalau begitu. Entar malam, aku akan singgahi."
Ilham pun berlari kencang menuju motor metiknya berwarna ungu di parkiran. Tepat berada di belakang pundak, seseorang pun menyentuh.
Karena penasaran, kutoleh dia. "Eh, kau, Fin."
Lawan bicara mengernyit, lalu dia menjawab, "sendirian aja, nih?"
"Iya, aku nunggu jemputan si emak. Kau lagi ngapain ngikuti aku aja?" Kali ini, aku yang bertanya balik.
"Aku mau pulang di kos, tapi ada yang mau aku tanya samamu," katanya, lalu kami mendudukkan badan di depan konter penjualan pulsa.
Setelah kami duduk, Arifin tak kunjung berkata. Lelaki setengah dewa itu membuat aku hilang gairah duduk, karena dia menatap anak-anak cowok seperti memandang rendang yang sangat lezat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Ku
Teen FictionMenceritakan kehidupan seorang guru, terinspirasi dari kisah nyata penulis menjadi pendidik hingga menuai berbagai konflik dalam hidup.