Bel untuk masuk kelas telah berbunyi, menandakan jam istirahat telah berakhir dan kami menghambur masuk untuk mengikuti pelajaran terakhir. Sepanjang belajar di sekolah, kami hanya dibalut tawa karena memang mengundang tawa.
Pelajaran selanjutnya adalah belajar komputer di bawah, bersama seorang guru wanita tegas di sekolah. Dengannya, kami tidak berani bermain-main bahkan memkik di atas bangku. Memang didikan guru tersebut demikian, tidak membiarkan satu orang pun bersuara jika tidak diperlukan.
Kami bersama-sama memasuki ruangannya yang sangat bersih, wangi dan sejuk. Air condetioner (AC) tergantung di dinding tepat di antara komputer-komputer tersebut, sehingga debu membandel tidak ada sama sekali dan membuat kami harus nyaman berada di dalam sana.
Satu persatu siswa dan siswi memasuki ruangan, mengucap salam dan mencium punggung tangan bu guru, tujuannya adalah—agar ilmu yang dia sampaikan masuk ke dalam kepala kami, atau bahkan menyangkut sedikit saja.
"Selamat siang, Bu ...," ucapku sekenanya.
"Siang, Andy. Kamu duduk dekat saya, pakai laptop milikmu sendiri." Selepas berkata, bu guru mempersilakan kami yang membawa laptop dari rumah.
"Iya, Bu," ucapku, kemudian kami berlima berjajar rapi di bawah AC yang lumayan dingin.
Bu guru membuka laptop miliknya di depan, dia berbicara dan membahas menggunakan bahasa Inggris, bahkan dengan bahasa Indonesia. Proyektor pun memantulkan cahaya dan memperlihatkan apa saja komponen dari materi pembahasan, karena hari ini adalah perihal pengetahuan microssof word.
Karena pelajaran tersebut sudah sempat aku ketahui ketika duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, sehingga membuat aku merasa sangat tidak canggung untuk melanjutkan. Kami pun menatap apa yang dijelaskan dengan sedikit catatan di dalam buku.
Ketika belajar bersama bu guru, kami tidak banyak mencatat, karena sistem yang dia ajarkan adalah mengingat. Sama halnya dengan dunia percintaan, tidak usah mencatat kesalahan, tetapi mengingat apa yang pernah dia lakukan baik untuk kita.
Apabila sudah bubar, maka siap-siap membuka catatan yang pernah ada tetapi segera dilupakan. Sepertinya penulis novel ini sangat bucin dan suka merayu, sehingga siapa pun yang membaca akan tersenyum sendiri karena membayangkan betapa tampannya penulis novel tersebut.
Aku tak henti-hentinya mengikuti pergerakan cahaya laser yang ditunjuk oleh bu guru, bergerak ke sana dan ke mari mengikuti arah yang sesuai dan menuju akhir dibagian paling bawah.
"Karena penjelasan sudah berakhir, apakah ada yang ingin bertanya?" Bu guru pun memutar badannya seraya menatap satu persatu siswa di dalam ruang laboratorium komputer.
Akan tetapi, sepertinya kami sangat paham dengan apa yang dia jelaskan, sehingga pertanyaan tidak ada dan kami hanya terdiam seribu bahasa.
"Bagus, kalau kalian telah paham. Coba buka komputer masing-masing dan kerjakan halaman lima belas, di sana ada beberapa soal dengan waktu setengah jam."
Mendengar ucapan itu, aku pun bergegas untuk mengerjakan soal-soal. Kali ini aku belajar sendiri, karena yang memiliki laptop pribadi akan di tempat dudukkan sendiri dan tak bergabung dengan yang lainnya.
Satu persatu soal telah terjawab, membuat aku sangat lega untuk mengumpul lebih awal. Di atas bangku, bu guru menanti siapa yang akan datang menemuinya lebih awal. Karena merasa telah selesai, aku bergerak dan menujunya di meja.
"Bu, ini jawaban saya sudah selesai," kataku seraya meletakan buku tulis di meja bu guru.
"Cepat sekali kau mengerjakan, saya akan periksa dan kamu boleh duduk dulu," jawabnya seraya menatap buku milikku.
Tepat di bangku awal, aku memerhatikan dan sesekali membuang tatapan karena gemetar. Takut ada kesalahan dalam menuliskan jawaban yang hanya beberapa menit pengerjaan saja. Namun, bu guru tidak mengembalikan buku tersebut malah menyusun di samping nakasnya.
Bersama tapakan kencang, bu guru menemuiku seraya bergeming di samping. "Andy."
"Iya, Bu," jawabku spontan.
"Kau siswa pindahan, kan?" tanyanya.
"Iya, Bu, saya pindahan dari SMK yang ada di Kisaran."
"Ini jawaban kamu, saya kembalikan. Kamu berhasil menjawab dengan nilai seratus, saya salut dengan kamu. Untuk minggu depan, posisi dudukmu tidak di sini lagi."
"Lantas, kalau tidak di sini?" tanyaku penasaran.
"Kamu duduk di depan bersama saya, tetapi kamu tidak sendirian. Satu siswi perempuan juga akan menemanimu juga, sebagai perwakilan dari kelas ini." Selepas berkata, bu guru beringsut pergi dan kembali ke mejanya.
Akan tetapi, aku masih bingung dengan kandidat siswi perempuan dari kelasku yang akan bersama-sama menjadi perwakilan untuk pelajaran komputer. Secara saksama, Maya di posisi samping menyiku lenganku.
"Andy, kau makan apa, sih, sampai semua guru suka banget belajar denganmu?" tanyanya.
Seketika aku mengangkat pundak ke udara. "Aku makan nasi, sama kayak kalian. Masa iya aku makan batu, ada-ada aja."
"Yey! Ditanya serius malah jawabnya begitu," omel Maya sembari membuang tatapan menuju laptopnya.
Sementara di belakang badan, para sahabat baru saja mengumpulkan tugas tersebut dan menyusun di meja bu guru. Bel kembali berbunyi setelahnya dan membuat pelajaran harus berakhir saat ini. Karena waktu telah habis, kami bergegas untuk menyimpan latop serta buku-buku ke dalam tas.
Barisan masih sangat rapi, tidak ada satu siswa pun yang beranjak dari kursi. Setelah berdoa, kami pun dipersilakan untuk keluar dan berjalan sesuai urusan tempat duduknya. Sangat teratur dan tidak main tabrak, karena di dalam ruang laboratorium banyak benda-benda elektronik yang berbahaya jika kena injak.
Kami pun mencium punggung tangan bu guru seraya keluar melalui pintu depan. Akses satu-satunya menuju keluar dan kembali menghirup udara panas.
"Wah, udara di luar panas sekali. Hanya di dalam sana yang membuat keringat aku seperti tengah ngekos," celetuk Nazmitha.
"Halah ... banyak kali bongak kau, Naz. Bilang aja kalau kau memang ingin keluar dan enggak betah belajar di dalam, yakan?" sambar Risma sekenanya.
"Betul itu," sambung Rahma.
"Kau lagi Rahma, ngapain ikut-ikutan!" pekik Nazmitha membentak.
Melihat perseteruan itu, aku dan Tini terkekeh-kekeh dan kami berhenti di depan ruang kepala sekolah. Kemudian, kami mendudukan badan berjajar menatap beberapa siswa yang simpang siur.
Ketika jam pulang telah tiba, sekolah sudah seperti berada di tengah provinsi ibu negara, karena sangat ramai dan macet panjang. Sepanjang jalan kenangan bersama mantan. Namun, kami tidak ingin melintas saat itu juga, akibat volume yang teramatat banyak, kami mendudukan badan di atas kursi besi berwarna hitam.
Sementara di tangan kanan, ponsel pintar telah menemani dan menunggu beberapa menit hingga semua sudah sunyi. Hampir setelah jam berlalu, barulah sekolah sangat sunyi dan hanya pejalan kaki yang melintas.
"Andy, kau masih betah di sini?" tanya Maya dari depan.
"Eh, May, kau buru-buru sekali mau pulang?" tanyaku penasaran.
"Iya, soalnya ada hal penting di rumah. Kalau begitu, aku pamit duluan, ya ... sampai bertemu besok." Selepas berkata, Maya menarik gas motornya sangat laju.
Nazmitha dan Tini menatap ke arahku secara tiba-tiba, mereka membulatkan mata girang seperti ingin mengintrogasi perihal sikap sang sahabat belakangan hari ini. Karena merasa aneh, aku pun menoleh kanan dan kiri.
"Kalian kenapa menatap aku seperti itu?" tanyaku.
"Kau pasti tahu kenapa Maya bersikap aneh, karena kau adalah teman curhat dia. Ceritakan sama kami, dia kenapa?" tanya Nazmitha, sikapnya sudah seperti detektif sebuah film action di bioskop.
Karena aku sudah berjanji untuk bungkam, mulut pun terasa berdosa jika harus membuka AIB sahabat sendiri. Namun, kalau tidak dikatakan, bagaimana bisa mendapat solusi dari perkara itu.
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Ku
Teen FictionMenceritakan kehidupan seorang guru, terinspirasi dari kisah nyata penulis menjadi pendidik hingga menuai berbagai konflik dalam hidup.