Pagi telah tiba ...
Tepat di pagi hari, bersama semburat arunika menerpa bumi semesta. Indahnya suasana di garis lintasan khatulistiwa membawa cerita, menambah indahnya makna, dan seakan memanjakan netra untuk tidak beringsut dan pergi ke lain negeri.
Indahnya panorama bumi pertiwi memberikan kisah, menawarkan cita dan cinta. Pernah ada yang sempat membawa aku terbang ke angkasa, perihal cinta dan hanyalah dikemukakan oleh seseorang dambaan jiwa.
Karena suasana hati sedang sunyi, aku mencoba untuk membuang pikiran negatif dan ingin segera keluar dari kamar. Merenung saja seakan tiada guna, hanya menambah luka di dalam jiwa. Pagi indah, semangat juga harus sama dengan suasana di luar rumah.
Dengan menapak tidak begitu laju, aku pun mengambil handuk di dinding kamar, kemudian keluar dari ambang pintu dan bergerak sejurus pada ruang tengah. Sedari tadi aku tak melihat Siti—adikku, biasanya dia selalu menyalip diri ini dan ingin mandi lebih dulu.
Kepulangannya pun aku tidak tahu, karena sejak sore tiba kedua netra ini tidak bisa diajak untuk kompromi. Aku hanya menutup mata karena sangat mengantuk, berdebat panjang hingga membahas perihal hantu dan misteri. Sempat sepintas akan kematian Bu Mirna, akan tetapi saking ngantuknya hingga tidak teringat sama sekali.
Hujan di luar rumah sudah redah, sejak malam telah mengguyur seluruh desa dan membuat kami tidak mampu untuk bertahan lama dalam memerangi kantuk. Akan tetapi tidak dengan ayahku, dia adalah manusia yang sangat setia dengan siaran televisi.
Apalagi kalau bukan bola, kalau tidak ada siaran itu dia hanya menonton dangdut. Itu pun bisa sampai larut malam, lewat dari jam 24.00 WIB. Namun, jika bangun pagi ayah tidak kesiangan, selalu berada di dapur ketika kami bangun.
Bahkan ayah telah pergi entah ke mana jika hari libur, karena laki-laki sebagai tulang punggung keluarga di rumah ini tidak kenal dengan istilah kata malas. Sehingga dia memberikan nasihat dengan kami. Untuk mencari kemenangan ketika berdebat, sangat susah. Jangankan menang, mencari seri saja kami kewalahan.
Meskipun setiap perdebatan kami berjumlah tiga orang bersama emak, dan ayah sendirian. Pagi yang dingin, aku membasuh badan dengan air di dalam bak mandi. Terasa bagai masuk ke dalam kulkas dan sangat menusuk tulang serta sendi.
Akibat udara dingin dan air yang sangat dingin, aku selesai lebih cepat. Kemudian keluar dengan badan yang bergetar hebat, setibanya di luar rumah, aku menoleh ke kanan. Di sana telah ada Siti, membuka mulut beberapa kali seraya mengantre seperti menunggu nomor ketika hendak mengambil beras catu di kantor desa.
Karena orang tersebut tidak memedulikan aku, menggunakan tangan kanan kusentuh kepalanya perlahan. "Ti, bangun."
"Hmmm ... lama sekali kau mandi, Bang. Bosan aku menunggunya," jawab Siti sekenanya.
"Lama bagaimana? Kan, aku sudah sangat cepat mandi pagi ini." Selepas berkata, aku berjalan memasuki kamar.
Baju pun telah tersangkut di dinding kamar, kemudian aku menutup kamar dan memakai celana dalam. Dengan menatap ke arah Timur, aku juga memakai singlet putih sebelum memakai seragam sekolah. Namun, yang membuat diri ini merasa sangat heran adalah—suara berdesik orang seperti tengah hadir di belakang.
Kemudian aku pun memutar badan sebelum memakai celana sekolah. "Astaga! Ted, kau ngapai di dalam kamar aku!?"
Lawan bicara pun membuang cengir seraya menatap ke arahku saat ini. "Aku hanya numpang carger HP. Emang enggak boleh apa?"
"Bukan enggak boleh, tapi kau tahu aturan kalau masuk kamar orang. Aku lagi pakai celana dalam tau!" hardikku dan mengomel.
"Santai aja kali, lagian punya kita sama. Kan, enggak masalah kalau aku tahu bentuk punyamu seperti apa. Ternyata ... besaran punyamu daripada punyaku," jawab Teddy sekenanya.
Tidak habis pikir dengan ucapan yang membuat aku jijik itu, karena sudah terlanjur kelihatan dengan aku menggoyangkan si dede kecil dengan handuk. Nasi telah menjadi bubur, aurat yang selama ini aku tutup telah terlihat di netra Teddy—sepupuku.
Saking malunya, aku segera memakai seragam sekolah dan keluar dari dalam kamar. Sementara untuk merapikan rambut, aku memilih ruang tamu yang sudah ada cermin panjang.
Kemudian si emak pun datang membawa sarapan pagi, dia menatapku seraya berkata. "Le, kok, sisiran di luar. Biasanya kamu di kamar dengan rapi dan wangi, baru keluar."
"Payah di dalam kamar ada tukang ngintip, Mak. Enggak bisa pakai baju dengan tenang," jawabku, membuat si emak pun berdiam diri dan seperti berpikir.
"Maksud kamu siapa, Le?" tanyanya lagi, kali ini terdengar sangat penasaran.
"Tuh! Sepupu yang somplak, masak dia memerhatikan aku lagi pakai celana dalam. Syukur enggak terbang ketika dia bertawa." Aku pun membuang tatapan sinis, lalu kembali fokus.
"Ha-ha-ha ... kalian ada-ada aja. Lagian ... kalian sama-sama laki, enggak apa-apa juga kalau saling lihat." Si emak malah tertawa kekeh.
Karena sudah sangat lapar, aku berjalan menuju meja makan. Satu persatu penghuni rumah mendekat dan membentuk forum santapan pagi. Ayah datang dari kamarnya, Siti juga bergerak sejurus dengan ayah.
Lalu Teddy datang dari dalam kamar mandi seraya membuang cengir padaku. Entah apa maunya anak itu, setelah menatap mantap sebuah terong berbulu, dia tak henti-hentinya meringis di atas mejanya.
"Ted, kau kenapa seperti itu? Emang ada yang lucu?" tanya ayah sekenanya.
"Ah, eng-enggak, Wak. Aku cuma lagi teringat tadi," jawab Teddy.
Menggunakan tangan kanan, aku pun ingin memukul sepupu dari depan agar dia tidak cerita. Sementata kedua netra ini juga melotot dan sangat malu menatap orang-orang di meja makan.
"Emang apa yang membuat kau kekeh, Ted?" tanya ayah lagi.
"Tadi aku enggak sengaja numpang carger di kamar Andy, pas dia lagi pakai baju. Eh, enggak sengaja liat sesuatu yang begitu aneh. Ha-ha-ha ...."
"Ha-ha-ha ... kau ada-ada saja, Ted. Emang bentuknya bagaimana?" tambah si ayah.
"Waduh ... ngeri, Wak. Dua kali punya Teddy," sambungnya dengan wajah penuh kemenangan.
Sementara aku hanya menatap sinis bercampur malu ke piring berisikan nasi. Untuk menjawab, rasanya mulut ini sangat kaku dan tidak mau menambah perkataan apa pun. Ayah dan Teddy tertawa kekeh, si emak pun sama. Hanya saja dia tidak mau menampakan ekspresinya itu.
Pembahasan pagi ini membuat aku sangat bosan, seumur hidup aku selalu menjaga aurat itu. Apalagi kedua orangtua pun tidak tahu bentuknya, akan tetapi sepupu somplak telah melihat secara terang-terangan.
"Bang, kau hari ini pulang jam berapa?" tanya Siti.
"Seperti biasa, emang kenapa, Dek?" jawabku.
"Kalau aku lama pulang, kau telepon Teddy aja suruh jemput. Takutnya ... kelamaan seperti minggu kemarin," ujar Siti.
"Hmmm ... masak aku harus telepon Teddy. Ogah, ah," desahku menolak.
Seketika aku menatap sepupu di bangkunya, dia mengernyit dan masih tertawa kekeh. Untuk menerima usulan Siti rasanya sangat berat, sehingga aku hanya mampu mengembuskan napas berat berkali-kali.
Arloji di dinding menunjukan pukul 06.40 WIB. Kami pun bersiap-siap akan pergi ke sekolah dengan melintasi jalan besar. Padahal, minggu lalu kami sudah hampir kena tangkap polisi karena tidak mengenakan helem.
Pagi ini kami juga tidak mengenakan helem, karena sudah dipakai si abang yang pergi kuliah. Akan tetapi, Siti sepertinya tidak gentar walau hampir kena tangkap polisi, dia bersikap biasa saja dan sangat gantle dalam bersikap.
Bersambung ...

KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Ku
Dla nastolatkówMenceritakan kehidupan seorang guru, terinspirasi dari kisah nyata penulis menjadi pendidik hingga menuai berbagai konflik dalam hidup.