Saat ini, sebagai penghuni rumah hanya ada aku dan sang adik. Pasalnya, kedua orangtua dan beberapa tetangga juga pergi ke Medan untuk mengantar pengobatan. Sebagai anak yang sering ditinggal oleh orangtua, kami biasa saja.
Pekerjaan bapak dan emak selalu bepergian, terkadang tidak pulang dalam waktu satu hari, bahkan mereka menginap di rumah sanak saudaranya. Di rumah ini, sudah ada beberapa sayuran yang terletak di dekat kompor.
Maklum saja, kami tidak punya kulkas untuk menyimpan sayuran agar tetap sehat. Mulai malam ini dan beberapa hari seterusnya, kemungkinan kami akan tidur berdua dan memasak makanan berdua.
Meskipun aku satu rumah dengan sang adik perempuan, akan tetapi dia tidak tahu memasak. Yang dia tahu hanya sekadar merebus air. Namun, beberapa hari belakangan ini, dia sudah bisa membuat nasi goreng. Meskipun rasanya masin seperti air laut, tetapi ada kebanggaan untuknya, bukan untukku.
Menjelang sore hari, di kata lampu telah padam akibat badai hujan. Aku dan samg adik mendudukkan badan di atas sofa seraya mengunyah singkong goreng dan singkong rebus. Makanan ini adalah sisa dari tadi siang di kala emak merebus.
Dengan memandang ponsel, aku pun tak peduli akan sikap Siti di samping yang juga sibuk dengan ponsel dan beberapa buku pelajaran.
"Coy, aku penasaran dengan keadaan Nuri di Medan," ucapnya spontan, dia menolehku sekilas.
Aku pun membalas tatapannya, kemudian aku menjawab, "doakan aja yang terbaik, mungkin dia lagi di rawat di sana."
"Tapi aku enggak yakin kalau dia di rawat secepat itu. Kan, lukanya terlalu parah. Aku aja ... sampai enggak tega melihatnya di klinik," imbuh Siti.
"Kalau memang masih ada rezeki sembuh, apa pun ceritanya akan tetap sembuh. Maut itu ada di tangan Tuhan," jelasku.
"Hmmm ... aku selalu berdoa demikian. Tapi, BTW kenapa kita enggak dapat uang jajan untuk sekolah, ya?" tanyanya lagi.
"Kan, jualan si emak masih ada di warung. Besok pagi, sebelum pergi sekolah, kita ambil aja di warung. Lumayan, menunggu si bapak pulang kita masih bisa jajan."
"Benar juga kamu, Bang. Kira-kira, kalau malam hari di rumah kita, ada hantu enggak ya?"
Tanpa menjawab, aku menaikkan pundak secara bersamaan. Percakapan kami pun akhirnya berhenti. Pembahasan akhirnya kami sudahi, lalu kami sibuk dengan ponsel masing-masing. Tak berapa lama, pintu rumah seperti tengah diketuk seseorang.
Tok-tok-tok!
"Siapa ...!" teriak sang adik, lalu Siti menoleh. "Ayo, buka sana."
"Kau ajalah," jawabku.
"Ih, gitu aja pun takut!" omelnya mencibir, lalu aku mengikuti sang adik dari posisi belakang.
Setibanya kami di depan teras, ternyata Nita dan Yuli yang datang. Setelah melihat kedua sahabat itu sedang tertawa, barulah kami sedikit nyaman.
"Kalian berdua aja di rumah?" tanya Nita.
"Iya, nih, habisnya semua pada ke Medan," jawabku.
"Nih, aku ada makanan dari ayah untuk kalian. Dimakan, ya." Selepas berkata, Nita pun menyodorkan makanan itu.
Siti pun meraihnya, kami mengucapkan terima kasih dan kedua sahabat pergi dari lokasi bergeming. Kami memasuki ruangan tengah lagi, kemudian membuka mangkok berisikan bubur kacang hijau yang masih panas.
Dengan menggunakan piring, aku dan sang adik menyantapnya tanpa sisa. Ternyata, di tengah masalah yang telah melanda, masih ada orang berbaik hati memberikan makanan.
Malam ini kami telah kenyang, tak perlu lagi mengganjal perut dengan memasak makanan. Dalam situasi bergeming, kami merebahkan kedua sayap di atas sofa. Lampu yang padam sejak sore, tak kunjung menyala dan membuat kami malas bergerak.
Tak berapa lama, sebuah bunyi-bunyi aneh pun datang dari berbegai lokasi. Termasuk dari dalam kamar, dapur, ruang salat, bahkan dari kamar mandi. Namun, selama ini kami tak takut, kerena masih ada orangtua.
Lama-kelamaan, ternyata takut juga jika mereka tak ada. Seraya meninggalkan tempat semula, aku dan Siti menyalakan senter di ponsel seraya berjalan lumayan lambat.
Akibat telapak kaki yang mengendap-endap, kami pun tiba di ruang tengah rumah ini. Petir ikut menyambar bumi, seakan memberikan suara-suara aneh datang dari kamar mandi.
Duar!
"Astaga!" pekikku terkejut.
"Bang, kau di depan bawak jalan. Masak aku yang di depan," kata sang adik.
"Aduh ... kamu sajalah, kan, bentar lagi sampai," kataku menjawab.
"Ih, apaan coba. Masak, laki-laki takut hantu," omel sang adik.
"Ya, takutlah ... siapa coba yang berani. Hmmmm ...."
Kami pun melanjutkan berjalan setelah berdebat panjang. Setibanya di ambang pintu dapur, kami mengarahkan senter di depan. Ternyata tidak ada apa-apa. Setelah kami mendongak ke atap rumah, tiba-tiba.
"Tidak ...," teriakku dan Siti.
Kami berlari meninggalkan ambang pintu karena sedang ada kelelawar terbang. Namun, warnanya putih seperti kuntilanak. Dengan menutup wajah menggunakan selimut, aku pun memastikan senter ditimpali sang adik.
Dalam posisi bergeming, kami saling tukar tatap. Napas yang tadinya ngos-ngosan, berubah menjadi sangat gemetar hebat. Ternyata terjawab sudah, kalau orangtua taj ada di rumah, keadaan akan menjadi menyeramkan.
Padahal, kalau ada mereka rumah ini tidak berhantu sama sekali. Saking takutnya, ada cicak lewat di tembok pun kami tak mampu melihat. Beberapa menit setelahnya, suara pintu dapur pun terbuka dan tertutup.
Gubrak!
"Siti ... itu siapa yang main pintu?" tanyaku.
"Mana aku tahu, coba cek sana," suruh sang adik.
"Ah, aku enggak mau mati konyol kalau ditelan hantu gimana?"
"Mana ada hantu menelan manusia, kau ada-ada aja jadi orang," omel Siti.
"Ih, kalau kau berani, kenapa tidak coba melihat ke luar. Kan, kalau ada-apa, kau duluan yang kena."
"Oke, kita akan ke sana barengan. Tapi ingat, kau jangan meninggalkan aku lagi seperti tadi. Apa pun yang terjadi, kita harus santai dan jangan kabur. Gimana?"
"Hmmm ... baiklah, kalau itu maumu, aku akan ikuti dari belakang," jawabku.
Dengan memperkuat nyali, kami pun menyalakan lagi senter dan mencoba untuk berjalan bersama-sama menuju dapur. Semburat cahaya dari ponsel itu tampak biasa, akan tetapi mampu terang di tengah kegelapan.
Saking gemetarnya, kami pun mengendap-endap dan menuju pusat tatapan. Setibanya di pintu, ternyata tidak ada apa-apa dan hanya sebuah kaleng bekas sarden tengah menggelinding.
Menggunakan tangan kanan, kami pun mengelus dada seraya menelan ludah bersama-sama. "Alhamdulillah ... ternyata itu hanya kaleng aja."
Dari gaya-gayanya, lampu rumah pun seperti menyala. Ternyata, lampu rumah pun benar menyala hingga membuat terang seisi ruangan.
"Yey ... akhirnya hidup lampu, aku jadi enggak takut lagi," kataku bersorak.
"Hmmm ... tadi aja, pas mati lampu, kau seperti kebakaran jenggot. Sekarang, udah menyala lampu happy banget," omel sang adik.
"Ya, iyalah ... kalau begini, kan, kita bisa tidur nyenyak malam ini."
Bersambung ...

KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Ku
Teen FictionMenceritakan kehidupan seorang guru, terinspirasi dari kisah nyata penulis menjadi pendidik hingga menuai berbagai konflik dalam hidup.