Bab 35

91 1 0
                                    

Pelajaran yang dinantikan pun akhirnya datang juga. Kali ini yang datang bukan guru pelajaran Matematika, akan tetapi sang wali kelas memasuki ruangan dan menenteng kertas berwarna kuning.

"Baik anak-anak ... ambil buku catatan, karena hari Senin kita ujian, maka kalian catat semua jadwal ini segera," ucap Bu Dewi.

"Alamak, baru juga dua bulan aku pindah sekolah, sekarang harus ujian pula. Bagaimana ini, ya," jawabku sendiri di atas bangku.

"Udah, tenang aja. Aku yakin, kok, kalau kau bisa menjawab semua soal. Kan, kau pintar," puji Nazmitha.

"Sok tahu kamu, Naz. Banyak banget tahu pelajaran yang belum aku pahami," imbuhku.

"Hmmm ... yakin aja pasti bisa," tambahnya.

Sembari mencatat, aku pun berpikir panjang kali lebar tentang beberapa faktor dalam hidup ini. Bersahabat menjadi cinta, bersahabat menjadi musuh, mendapat sahabat baru.

Sambil mengembuskan napas panjang, aku pun akhirnya mulai bisa menetralisir apa yang mengganjal dalam diriku. Namun, yang namanya manusia biasa, terkadang aku merasa lelah juga kalau berurusan dengan perasaan.

Ketika jadwal ujian telah dicatat, seseorang pun kembali hadir di samping kanan. Karena penasaran, aku menoleh orang itu dan mendongak sedikit ke atas.

'Maya, kenapa dia ada di sini?' tanyaku dalam hati.

"Mita, awas kamu, ada yang mau duduk di situ," sorak seorang siswa dari belakang.

Karena wali kelas sudah ke luar dari ruangan, kami pun bersama-sama duduk bersebelahan. Namun, kali ini tanpa ucapan sama sekali. Membungkam bagai kuburan, dan aku tak mampu menoleh kanan serta kiri.

"Andy," panggil sang sahabat bernama—Maya.

"Hmmm ...," gumamku.

"Nanti kau pulang sama siapa? Aku ingin ke rumahmu," ajaknya.

"Nanti aku dijemput adikku, tetapi gak tahu juga. Kemungkinan, mulai hari ini emak yang jemput," jelasku.

"Kalailu pulang sama aku aja, mau atau enggak?" tawarnya lagi seraya mengajak.

"Lihat nanti aja, May. Takutnya, kalau emak sudah menunggu, akan kecewa kalau kita pulang sama," jawabku sekenaya.

"Oh ... oke. Aku, sih, ngarepnya semoga kau tidak dijemput."

Mendengar ucapan itu, kutoleh lawan bicara. Kedua alis ini mengernyit, karena doanya yang tidak baik terhadapku.

"Jadi, kau senang kalau aku menunggu sampai sore?" tanyaku, lalu kubuang pandangan menuju depan.

"Bu-bukan, maksud aku, kalau kau tidak dijemput, aku bisa pulang bareng samamu."

"Oh, kirain kau sejahat itu," sambungku.

Guru mata pelajaran Matematika tak kunjunh datang, membuat aku sangat rindu materi yang dia bawakan. Di tengah situasi yang sangat sulit dikatakan, aku memakasa diri untuk nyaman dan tenang.

Maya yang tadinya sudah mendapat pujian perihal gorengan, sekarang punya nyali lagi untuk duduk di samping. Padahal, kalau menurut ucapan sahabat, dia sudah sempat patah hati padaku.

Sungguh Maya adalah perempuan berhati baja, tidak kenal lelah dalam mengejar cintanya. Namun, rasa dalam hati ini tak mungkin berubah. Yang namanya sahabat, sampai kapan pun akan tetap jadi sahabat.

"Andy, nanti malam, kan, malam Minggu—"

"Lantas, kalau malam Minggu kenapa?" tanyaku.

"Kau lupa, kalau kita akan ulang tahun di rumah Risma?" Maya malah balik nanya.

Diary KuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang