Bab 48

152 1 0
                                    

Maya POV

Setelah berjalan sekian meter dari berbagai sudut bangunan sekolah, aku serong kanan untuk dapat menaiki tangga darurat bak sebuah mall yang ada di kota besar. Menapaki satu per satu, hingga tidak memedulikan semua yang tampak.

Mengenali seorang pria dari lantai dua membuat aku nyaman padanya, apalagi dia adalah anak baru yang asyik. Memiliki sahabat laki-laki lebih indah daripada berteman dengan seorang wanita. Entah kenapa, aku suka berteman pada laki.

Selain laki-laki dapat menjaga rahasia, mereka juga tak terlalu banyak cerita dalam berkata. Seorang wanita adalah boomerang dalam hidup, apa pun yang kita ucap dapat tersampaikan ke mana-mana.

Ya, begitulah wanita. Saking merasa takutnya dalam berteman dengan wanita, sampai sebagian orang mengatakan aku tomboy dan tak suka bersahabat dengan sesama jenisku.

Asal mereka tak mengatakan kalau aku tidak normal saja, semua masih aman. Namun, dikalau mereka mengatakan aku lesbi atau apa, maka aku tidak akan tinggal diam.

Setelah sampai di lantai tiga gedung sekolah, aku pun memasuki ruangan dan menghabiskan waktu istirahat di bawah. Para sahabat tertuju padaku dalam menatap, mereka seperti melihat artis yang datang dari kayangan.

Saking sibuknya untuk diri sendiri, aku pun tak peduli kalau hari ini adalah jadwal ujian yang paling mendebarkan. Tepat berada di bangku Andy, aku pun sedikit gemetar ketika melintasinya.

"Hai," kataku pada Tini Sulastri.

"Kau dari mana, May? Kok, kelihatannya sangat semringah gitu?" tanya Tini.

"Hmmm ... aku dari bawah, Tin, biasalah," jawabku.

"Oh, kirain dari mana. Soalnya ... ada yang bilang kalau kau lagi mesrah-mesrah sama anak baru di bawah!"

Deg!

'Mesrah-mesrah? Aku enggak mesrah, kenapa ada yang bilang seperti itu, ya?' tanyaku dalam hati.

"Eng-enggak, kok, aku di bawah tadi cuma cerita. Bukan mesrah-mesrah," jawabku sekenanya.

Tanpa ada balasan ucap, aku menoleh seorang lelaki yang sedari tadi tak peduli dengan diri ini. Andy menulis saja di dalam sebuah buku dan dia tak melihat ke arahku sama sekali.

'Anak ini dingin banget makin lama, kenapa dia seperti tak peduli gitu ya sama aku? Atau jangan-jangan ... dia melihat lagi kalau aku sedang ngobrol sama Tumpal?' tanyaku lagi dalam hati.

Karena sudah terlalu lama bergeming, akhirnya aku memutuskan untuk beringsut pergi. Melalui jalan setapak menuju lorong, tibalah aku di bangku paling belakang. Mita dan Yuni udah ada di sana. Mereka menolehku secara saksama.

"Weh, ini dia udah datang. May, kau enggak ikut acara kita. Minggu depan, selepas bagi raport akan ada jalan-jalan ke hutan. Nih, kami mau buat beberapa tenda, kita uji nyali di sana," kata Yuni.

"Hmmm ... emangnya siapa aja yang ikut?" tanyaku.

"Biasalah, hampir satu kelas. Tapi, ini kegiatan bukan dari sekolah, melainkan inisiatif kita-kita aja untuk mendaki. Ingat, enggak boleh bawa pasangan," papar Yuni menjelaskan.

"Hmmm ... kalau begitu, aku ikut tapi ... aku enggak tahu dibolehkan sama nenek atau enggak. Emangnya berapa malam kita menginap?" tanyaku.

"Sepertinya empat sampai lima hari gitu, tapi itu kalau kau mau. Karena kami sengaja ambil lokasi jauh agar tidak ada kendaraan yang melintas. Biar terasa banget travelingnya," imbuh Mita.

"Emangnya di daerah mana, sih, Mita?" Kali ini, aku bertanya bertubi-tubi.

"Yang pasti dekat dengan kampung aku, di sana kita naik mobil paman dan entar kalau mau pulang akan dijemput olehnya. Bagaimana?"

"Aku belum bisa pastikan, tapi aku yakin akan ikut kalian kok," jawabku menengahi.

Yuni dan Mita pun kembali menulis, mereka sepertinya tak main-main dalam hal ini. Aku sudah lama tidak pergi ke hutan, karena kesibukan di rumah membantu nenek dan kakek, sampai tak berteman sama sahabat.

Dalam hatiku berkata, kalau Andy bisa ikut dalam hal ini, aku akan merasa terjaga. Namun, sepertinya dia tidak ada tanggapan. Meskipun Ilham dan Tini telah membahas kepergian tersebut. Memang laki-laki yang punya hati dingin mampu menggetarkan sekujur badanku.

Entah kenapa, aku sangat suka pada Andy. Bukan dari sekadar wajahnya saja yang tampan, tetapi dia memesona dan punya senyum khas cowok masa kini. Pintar dalam belajar, tidak merokok, dan lembut kalau berkata.

Sejuta pujian sudah aku katakan, berjuta perjuangan sudah aku lakukan. Akan tetapi, dia belum juga respons sampai saat ini hingga membuat diri ini dekat padanya. Harapan di traveling kali ini, beberapa cowok akan ikut.

Permainan gitar yang dibawa oleh Andy sangat mampu membuat aku nyaman, karena dia selalu bisa menghibur siapa pun orang di dekatnya. Namun, belakangan hari ini, Andy seperti berubah total dan seperti tak peduli padaku.

"May, gimana perjuanganmu untuk mendapatkan yayang Andy?" tanya Yuni.

"Ya, begitulah, aku udah berusaha tapi sepertinya enggak ada respons," jawabku.

"Oh, kirain karena kau udah bisa move on dari dia. Gini, ya, May, cinta itu enggak harus memiliki. Kau sudah berlebihan dalam memaknai sebuah rasa," kata Yuni memaparkan.

"Enggak apa-apa, Yun, walaupun aku salah dalam memaknai cinta ... setidaknya aku tetap berjuang."

"Hmmm ... memang susah kalau menyadarkan orang, bahwa cokelat itu lebih manis dari tepung," pungkas Yuni.

"Karena tepung itu, kalau dibuat gorengan juga enak rasanya," jawabku lagi.

Akhirnya pembahasan kami pun berhenti. Setelah panjang kali lebar, sepertinya Yuni telah minta ampun untuk membujukku. Kami memilih diam di saat bu Guru datang dengan menenteng sebuah berkas.

Ujian mata pelajaran terakhir pun akhirnya telah dibagikan, aku mendapat satu lembar kertas jawaban dan satu kertas untuk soal. Secara saksama, kedua bola mata ini menatap soal-soal tersebut.

Melalui ilmu tebak angka, aku pun memakai kancing baju untuk menjawab semuanya. Entah kenapa, pelajaran kali ini membuat aku sangat pusing dan tak ada satu pun yang masuk dalam otak. Semua jawaban berdasarkan perasaan saja, bukan karena tahu.

"May, minta jawaban dari Andy sana," suruh Yuni.

"Ah, enak aja. Enggak mau, aku malu kalau minta jawaban dari dia," jawabku.

"Yah, percuma aja calon kamu itu pintar, kalau kau enggak berani minta jawaban," sergah Mita.

"Eh, Mita, aku belum ada apa-apa sama dia. Kenapa enggak kamu aja yang minta jawaban sama Andy. Kan, aku juga pernah suka sama dia."

"Hmmm ... mulai, May, aku enggak mau mengulang masa lalu. Kan, itu sebulan lalu, kau pun lucu. Ya, udahlah kita kerjain apa adanya aja," jawab Mita.

Akhirnya kami mengerjakan soal-soal berdasarkan perasaan saja. Entah bagaimana hasil akhirnya, itu tergantung nasib. Menjadi seseorang yang mengambil jurusan dengan kehendak hati, membuat kami tak berpikit panjang sebelumnya.

Sampai saat ini, walaupun sudah mau lulus sekolah, aku merasa telah salah dalam mengambil jurusan.

Bersambung ...

Diary KuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang