Malam telah tiba, senja sudah berhasil memboyong galapnya malam dan suasana temaram pun menghias di seluruh alam semesta. Hewan-hewan malam datang dan terbang ke sana ke mari mencari makanan. Selepas salat isya, aku mencoba untuk menemui sang ayah di ruang tamu.
Lelaki yang selalu merokok seraya menggambar seketsa di secarik kertas itu tampak sangat fokus dan tidak bisa diganggu. Namun, untuk pergi ke sebuah tempat rasanya tidak enak jika hanya berpamitan pada emak. Dengan langkah lumayan laju, aku pun menemui lelaki bersarung tersebut.
Setibanya di samping sang ayah, aku mendudukan badan seraya menatapnya secara saksama. Kehadiran diri ini pun seolah dia tidak tahu, padahal bayangan lewat lampu di atas kepala sepertinya sudah membuat gelap suasana sekilas.
Sementara Siti telah siap siaga menunggu di atas motor, hanya tinggal menerima keputusan dari sang ayah barulah kami pergi dengan cepat.
"Ayah ...," panggilku dangan nada suara mengayun.
"Hmmm ...." Tanpa menoleh, sang ayah hanya menggumam di posisinya.
"Yah, boleh permisi keluar? Sebentar ... aja," rengekku sembari memelas.
"Mau ke mana malam-malam begini, Le?" tanyanya penasaran, sekilas dia menoleh, lalu kembali menatap bukunya di atas meja.
"Aku mau cari tugas di warnet, Yah. Karena laptopnya habis paket, jadi lemot." Setelah berujar, sang ayah hanya terdiam tanpa memedulikan ucapanku.
Keputusan tidak didapat, membuat aku hanya berdiam diri dan bergeming seraya menanti ucapan dari sang ayah. Hampir sepuluh menit menunggu, lalu ayah menoleh ke arahku sangat heran.
"Loh, katanya mau pergi. Kenapa masih ada di sini?" tanya ayah sembari ngegas.
"Tapi belum dapat keputusan, aku enggak pergilah." Sembari menjawab, kubuang tatapan menuju langit-langit ruang tamu.
"Kalau pulang jangan malam-malam, jam sepuluh harus sudah sampai rumah. Dengar itu!" seru ayah menjelaskan.
"Baik, Yah. Kalau begitu, aku permisi pergi. Assalammualaikum ...," ucapku seraya menciun punggung tangan ayah.
"Wa'alaikumsallam ...," jawabnya singkat.
Karena telah mendapatkan izin dari sang ayah, aku bergegas dan berlari menemui sang adik di atas motor. Dengan langkah laju, aku pun bergeming di samping kiri seraya menenteng buku pelajaran dan pulpen bertinta hitam.
"Bagaimana? Dikasih ayah pergi atau tidak?" tanya Siti bertubi-tubi.
"Dikasih, dong. Kan, aku anak kesayangan." Bersama senyum semringah, aku menatap sang adik yang mendadak membungkam.
"Giliran kau saja yang pamit selalu dikasi, coba saja aku. Pasti terompet sangkakala berbunyi seperti mau kiamat." Bersama omelan, adik paling terakhirku pun menaiki motor dan dia yang menyupir.
"Sudah ... jangan marah lagi. Ayah begitu karena kau adalah anak cewek, dia takut kalau anak perempuannya dibawa laki-laki tidak bertanggung jawab." Tepat di belakang badan, aku menasihati.
Sementara sang adik tidak menjawab sama sekali, dia hanya fokus menatap jalanan dan menyupir di tengah kegelapan malam. Bersama motor berwarna hitam, kami menuju warung internet di Jalan Simpang. Tempat yang banyak dikunjungi para pelajar untuk mencari tugas-tugas sekolah, bahkan tugas kuliah.
Setibanya di lokasi, tempat telah penuh dan membuat aku bingung untuk mencari di mana posisi tepat. Karena hanya ada sisa di dalam rumah, aku pun bergerak menuju ke lokasi yang telah ada anak-anak kecil bermain game.
"Bang, aku di sini?" tanyaku pada penjaga, namanya Dani.
"Iya, cuma itu yang tersisa komputernya. Kalau di luar, harus menunggu lama." Setelah berkata, dia mulai menyalakan paket berjalan di com paling belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Ku
Teen FictionMenceritakan kehidupan seorang guru, terinspirasi dari kisah nyata penulis menjadi pendidik hingga menuai berbagai konflik dalam hidup.