Bab 31

92 3 0
                                    

Maya POV

Seperti biasanya ketika pulang sekolah, aku pun langsung membantu kakek dan nenek untuk berberes rumah. Namun, kali ini tidak aku lihat wajah sang ibu. Wanita yang telah pergi beberapa tahun tanpa kabar, lantas datang lagi ingin membawaku pergi.

Akan tetapi, aku tidak pernah melarang dia untuk menikah lagi. Namun, aku hanya berpikir betapa teganya seorang ibu yang meninggalkan aku di usia satu tahun bersama kakek. Kepergian dia dari rumah ini selalu aku nantikan, agar tak ada pemaksaan untuk pergi ke pulau Bangka.

Sampai saat ini, aku tak tahu siapa ayah kandungku. Padahal, nenek sering bercerita perihal siapa yang menjadi kepala keluarga di saat aku lahir di dunia. Entah apa masalahnya, sampai mereka berpisah sampai saat ini.

Andy—lelaki yang selama ini aku suka, telah menolak perasaan. Walau pun, sebenarnya aku malu berterus terang padanya. Kalau dipendam, lama-kelamaan akan berubah menjadi mati rasa.

Pil pahit akhirnya aku telan. Mencintai sahabat sendiri, yanh aku tahu siapa mantannya di sekolah. Setiap hari, mereka tak pernah bertegur sapa. Bahkan saling menolah pun tidak. Andy bilang, kalau dia tak suka lagi pada Kiki—mantannya.

Akan tetapi, aku bisa menebak kalau dia masih cinta. Setiap kali Kiki pingsan di dalam barisan, Andy selalu sigap menggendongnya ke depan gudang. Lelaki misterius yang kalau lagi sendiri sampai lupa segalanya.

Terkadang aku berpikir sendirian. Di zaman sekarang, masih ada laki-laki yang gemar membaca dan menulis. Bahkan aku, mengerjakan tugas sekolah saja meski harus melihat jawaban dia.

Ya, sang mafia kunci jawaban itu adalah tempat para siswi meletakkan perasaan yang lain. Termasuk aku. Konyol, akan tetapi nyata. Beberapa tahun berteman dengannya, perasaan itu tumbuh dan membesar.

Setelah bergeming di samping steling kaca, aku pun mengambil beberapa sisir pisang dan memotongnya. Nenek dan kakek simpang siur, untuk menggoreng. Jualan kami lumayan banyak, karena kemarin sampai habis tak ada sisa.

"May, kamu kenapa diam aja dari tadi? Seperti orang lagi putus cinta," tanya wanita berambut putih itu, dia adalah nenekku.

"Enggak, Nek. Maya lagi mikir aja, kenapa berani banget nyatain perasaan sama cowok," celetukku keceplosan.

Kemudian, aku menutup mulut menggunakan kedua tangan. Terlihat dati ekor netra, kalau nenek tengah tersenyum kecil.

"Tuh, udah mulai kamu sekarang. Emangnya, siapa, sih, yang kau suka?" tanyanya sangat kepo.

"Ah, Nenek mau tahu aja. Bukan siapa-siapa, kok," titahku terbata-bata.

"Hmmm ... nenek, sih, udah punya pilihan untuk kamu. Tapi, kamu harus mau sama dia. Kalau lain laki-laki, enggak setuju."

"Nek, ini bukan zaman Siti Nurbaya. Jangan menjodoh-jodohkan, deh," omelku ngegas. "Emangnya ... siapa, sih, laki-laki yang Nenek maksud?"

"Orang itu, yang sering kamu ajak ke rumah."

"Andy!" pekikku terkejut, kedua bola mata ini terbelalak menatak senyum manis sang nenek yang suka mencagil.

Tanpa menjawab, Nenek pun kembali mengedarkan senyum. Lalu, dia menggoreng bakwan. Napasku menjadi sangat ngos-ngosan, gemetar, dan darah tinggi semakin naik.

'Nek, bukan cuma Nenek aja yang suka sama anak itu. Aku juga, Nek. Wajahnya tampan, hidungnya mancung, pintar lagi. Haduh ... idaman banget pokoknya,' celetukku dalam hati.

'Kalau dia mau sama aku, pasti kami akan jadi keluarga yang bahagia,' tambahku.

"Udah, jangan senyum-senyum sendiri. Tuh, pisangnya enggak selesai. Nenek mau goreng ini," omel si nenek.

"Ih, Nenek enggak bisa melihat orang lagi senang aja," jawabku sedikit marah.

Dengan memotong pisang, pikiran ini pun bercampur aduk menjadi satu. Niat hatiku, akan membuatkan gorengan yang paling enak rasa cinta untuk lelaki di sekolah bernama—Andy.

Siswa pindahan itu mampu mencabik-cabik lumat hati dan perasaan ini. Meskipun perasaan ini tak wajar, aku tidak peduli sebelum dia diambil orang. Tak berapa lama, orang-orang yang membeli gorengan pun datang menghampiri.

Pasalnya, pengunjung mampu membabat kandas gorengan yang kami buat sore ini. Ketika menjelang malam, aku pun hanya mampu terdiam di dalam kamar. 

Sembari membuka laptop, aku berniat ingin mengerjakan neraca lajur sebagai tugas tambahan. Namun, pelajaran ini aku tak mengerti. Biasanya, tugas-tugas seperti ini aku dapatkan jawabannya dari Andy.

Kalau pun tidak dari laki-laki itu, jawaban juga datang dari Ayunda—wanita pintar di dalam kelas. Tapi aku yakin, kalau Andy tidak akan bisa menandingin Ayunda untuk menjadi rangking 1.

Pasalnya, Ayunda sudah 2 kali juara umum sebelum Andy hadir. Namun, di sini lain, Andy mengerti Bahasa Inggris dan main komputer. Olahraga yang dia pahami juga banyak, menjadi cowok juara 1 dapam olimpiade tingkat SMK tahun ini.

Sejak saat itu, aku pun percaya kalau dia pantas untuk menjadi imamku. Sembari memainkan laptop, aku hanya fokus termenung dan lupa mengunci pintu. Tiba-tiba, seseorang pun datang menghampiri.

"Kakak ...," ucap sang adik, namanya Tia.

"Eh, kamu. Mau ngapain masuk kamar aku?" tanyaku lenuh selidik.

"Kakak, aku mau tidur di sini boleh?" Kali ini, dia yang bertanya.

"Ah, enggak. Entar kamu ngompol lagi, bau kamar aku jadinya."

"Yah, pelit banget. Lagi lihat apa, sih?" Tanpa menunggu lama, sang adik pun melompat dan naik di kasur. Lalu, dia melihat foto Andy yang terpajang di wallpaper laptop.

"Eh, ini Bang Andy. Kok, Kakak jadiin wallpaper? Cie ... kalian pacaran, ya?" tanyanya sangat kepo.

"Enak aja, Andy mana tipe aku. Dia anaknya culun, cuma belajar aja taunya."

"Tapi Bang Andy pintar, Kak. Kemarin aja, tugas Tia dapat nilai 100. Yang ngajarin Bang Andy," pujinya.

"Tia ... makan malam dulu ...!" teriak seseorang dari luar kamar.

"Tuh, kamu dipanggil kakek. Sana ke luar dan makan," kataku menyuruh.

"Hmmm ... kenapa, sih, selalu saja tiba-tiba manggil," omel sang adik.

Setelah dia ke luar dari dalam kamar, barulah aku mengunci pintu dan mendudukkan badan di atas dipan lagi. Kalau dipandang-pandang, lelaki yang selama ini aku idamkan memang tampan.

'Andy ... kalau kamu mau sama aku, pasti kita akan bersama dan tidak ada yang memisahkan. Oke, besok aku akan buatin kamu gorengan enak, biar kamu luluh.'

Sembari mengelus fotonya di layar laptop, aku pun tersenyum sendiri hingga lupa kalau malam ini banyak tugas. Kedua bola mata tertutup rapat, aku tak tahan menahan kantuk yang luar biasa.

"Udahlah, besok aja lihat Ayunda jawabannya. Kan, dia cepat datang."

Selepas berkata sendiri, aku pun menutup laptop dan tertidur. Dalam mimpi selalu aku bayangkan. Bayangan yang hitam mendekat, berubah menjadi pangeran bermahkota merah.

Aku mendekat, melihat dari jarak yang sangat rapat. Menggunakan tangan kanan, aku menyentuh pipi lawan bicara.

"Hai, kamu siapa?" tanyaku.

"Tebak, aku ini siapa?" Kali ini, dia malah balik tanya.

"Hmmm ... sepertinya, aku kenal. Embusan napasmu, aroma tubuhmu. Kau adalah ...."

"Ya, aku adalah orang yang selalu ada dalam hidupmu. Sekarang ... dan, selamanya. Maya, kamu lagi apa sekarang?"

Bersambung ...

Diary KuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang