Bab 34

68 1 0
                                    

Belum lama lama bu guru memasuki ruang kelas, bel pun berbunyi.

"Hore ... yey! Yey! Yey!" sorak seluruh siswa dan siswi, akan tetapi tidak dengan aku.

Semua manusia di dalam kelas pada ke luar dari ambang pintu. Sementara aku, masih bergeming di atas bangku dengan mengambil sebuah buku diary yang tiba-tiba ada di dalam laci. Kemudian, aku mengambil novel sebagai bahan baca.

Setiap hari, aku selalu membaca novel dan buku pelajaran lainnya. Bagiku, tidak ada yang lebih penting selalin membaca. Untuk kegiatan lain seputar jam istirahat, biasanya hanya membuka ponsel dan membalas sedikit chat melalui aplikasi BBM.

Namun, belakangan hari ini aku lebih suka menyendiri. Sembari membangkitkan badan, aku pun berjalan menuju ke luar dan duduk di depan teras ruang BK. Ruangan itu sangat sunyi, dapat membuat aku fokus dalam mendalami bacaan.

Semenjak masuk di sekolah baru ini, aku tak memakai kacamata lagi. Karena, sedikit malu jika dilihat orang. Sembari membaca, sebuah telapak kaki pun terdengar memasuki telinga ini. Getaran itu menggema, membawa hentakan melalui kursi yang terbuat dari besi.

Sentuhan lembut mendarat di pundakku. Secara spontan, aku menoleh.

"Hai," kata seseorang, yang tidak lain adalah Arifin.

Tanpa menoleh, aku pun menjawab, "hai," kataku.

"Boleh gabung di sini?" tanyanya.

"Boleh, silakan aja," cetusku singkat.

Sekadar memastikan orang di samping, dari ekor netra melirik sedikit wajah lelaki setengah dewa itu. Ternyata benar, kalau dia adalah Arifin.

"Sendirian aja. Emangnya ... dalam hidupmu membaca itu utama, ya? Sampai enggak mau bergaul sama sahabat." Tiba-tiba, Ari pun nyolot.

Mendengar ucapan itu, aku menggeleng. "Gak juga, Fin."

"Lantas? Kan, katanya kau adalah siswa pintar di sekolah. Apakah itu belum cukup untukmu?" tanyanya lagi.

"Yang namanya orang pintar, udah enggak perlu sekolah, Fin. Kita sekolah, karena merasa sangat bodoh," sambarku.

"Aku aja, ya, sekolah ini bukan untuk pintar."

"Lalu, kenapa kau sekolah? Buang waktu. Capek, mending ambil paket C aja, langsung dapat ijazah," jelasku memberikan pandangan.

"Bukan begitu konsep sekolah, Ndy. Ternyata, kau pintar hanya dalam urusan pelajaran. Tapi, ada sisi lain yang kau tidak sama sekali mengerti. Nol, besar."

Sekilas, aku menoleh lawan bicara. Kemudian, kedua bola mata ini tertuju pada sebuah gorengan di tangan lelaki setengah dewa itu.

"Ini apa, Fin?" tanyaku penuh selidik.

"Gorengan, apakah kau mau?" Lawan bicara menyodorkan gorengan itu padaku.

"Eng-enggak, ah," tolakku perlahan.

"Kenapa? Kau takut kalau gorengan ini ada racunnya," imbuh Arifin, dia pun memakan gorengan itu. "Kalau gorengan ini ada racunnya, aku akan mati lebih dulu."

Untuk segera menghargai orang di samping, aku pun mengambil goreng pisang yang sangat besar itu. Lalu, kami memakannya. Tak disangka, kalau gorengan itu sangat enak dan renyah.

Baru pertama kali aku memakan gorengan seenak ini. Entah dari mana Ari membelinya, ketagihan dengan kerenyahan tepungnya.

"Kau membeli ini di mana, Fin?" tanyaku.

Lawan bicara pun menaikkan kedua pundaknya. "Aku enggak beli, ini gratis."

"Lah, ma-maksudmu? Di mana ada bagi-bagi gorengan?" tanyaku bertubi-tubi.

"Kau tahu enggak, kalau gorengan ini punya Maya. Tadi, aku melihat dia membawanya untuk naik ke lantai dua. Eh, tiba-tiba dia menjatuhkan gorengan. Sepertinya Maya mau memberikan gorengan ini untukmu. Karena dia melihat kau lagi berdua sama mantanmu, mungkin dia gak mau ganggu."

"Lalu, Maya kenapa sikapnya aneh, berarti—"

Arifin mengangguk, lalu dia menyambung, "iya, sepertinya dia cemburu samamu. Dari pandangan matanya, seperti ada perasaan lain gitu. Apakah kau enggak bisa merasa?"

"Fin, aku udah anggap dia sahabat, enggak lebih. Perasaan itu tak bisa dipaksakan, semua murni dari hati. Apakah aku tergolong orang yang jahat, setelah menolak perasaan sahabat sendiri?" tanyaku.

"Gak tahu, rumit. Tapi, yang aku lihat dari mata Maya tadi, sepertinya dia merasa sangat sedih gitu."

Dengan menarik napas panjang, aku pun mengembuskannya dari mulut. Ternyata, orang yang kami bahas pun datang. Kali ini, dia duduk sangat jauh. Sekitar tiga meter, tepat di depan kelas.

Sekilas, Maya menoleh. Namun, dia kembali bercanda pada Mita dan Tini. Pagi ini, aku tak mau menambah emosinya. Sehingga, menjauh adalah hal yang terbaik.

Belum lama berpikir keras, ternyata Kiki—mantan pacarku datang. Tepat di hadapan, dia menatap mantap ke arahku.

"Andy, katanya mau ke perpus. Yuk, aku temeni," ajak Kiki.

"Ki, si Andy lagi gak mood ke perpus. Biarkan dia sama aku di sini, soalnya lagi ada masalah," sambar Arifin.

"Oh, begitu. Kalau kau tidak bisa, aku akan pergi sendiri," ucap Kiki, dia pun pergi begitu saja.

Setelah Kiki pergi, aku pun menarik napas dan kembali membaca buku. Arifin pun pergi begitu saja, entah ke mana anak itu akan melangkah. Ternyata, dia menemui Maya dan bercanda bersama.

Kring ... kring ...

Bel istirahat pun berbunyi, kami menghambur untuk kembali masuk ke dalam kelas. Tepat berada di samping kiri, gorengan yang masih banyak telah ditinggal oleh Arifin.

Karena masih banyak sama sekali, aku membawanya untuk masuk ke dalam kelas. Bukan karena perasaan Maya, tetapi lebih kepada menghargai makanan.

Dengan sangat lanju, aku memasuki kelas dan menatap dari ambang pintu. Maya, Tini, dan Mita sudah duduk di posisi belakang. Lalu, aku berjalan menemui.

Tepat berada di posisi ketiganya, aku pun mengangkat sekantong plastik gorengan itu.

"May, terima kasih gorengannya. Aku suka, rasanya manis," ucapku spontan.

Lawan bicara terdiam, lalu dia mendonggakkan wajah. "I-iya, sama-sama."

Sembari mengedarkan senyum simpul, aku pun memutar badan 180 derajat dan kembali menuju mejaku paling depan. Gorengan tadi sengaja aku simpan di laci, agar tak terlihat guru pelajaran selanjutnya.

Tatapan ini aku putas menuju belakang, terlihat Maya sedikit semringah siang ini. Lalu, dari samping kiri, Mita datang lagi dan mendudukkan badan.

"Cie ... cie ... ada yang lagi jatuh cinta, nih," ucap Mita.

"Jatuh cinta apaan. Aku cuma menghargai aja," jawabku sekenanya.

Lalu, aku mengambil buku di dalam tas.

"Andy, si Maya itu cinta banget sama kamu. Emangnya, perasaanmu gak ada sedikit pun untuk dia?" tanya Mita.

"Gak ada, Mit. Aku, menganggap kalau dia hanya sahabat. Dan itu, lebih dari segalanya," jawabku.

"Hmmm ... okelah, namanya laki-laki, bebas aja kalau mau menentukan perasaan," jawab Mita pelan. "Oh, ya, aku lihat jawaban kamulah untuk tugas Akuntansi. Males banget aku ngerjain."

"Nah, lihat aja semua, biar kau senang." Dengan girangnya, Mita pun mengambil jawabanku dan menulisnya.

"Gimana perempuan enggak klepek-klepek coba, cowok kayak lu itu limited edition. Selain pintar, rajin lagi. Gak pelit, intinya idaman banget," puji Mita seraya menulis.

'Hmmm ... dasar penjilat,' omelku dalam hati.

Bersambung ...

Diary KuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang