Bab 10

315 7 0
                                    

Karena kami telah menunggu terlalu lama, dan Nazmitha juga tidak hadir. Kami pun akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing. Dengan mengendarai motor, aku dan sang adik bergegas menuju parkiran. Kemudian Risma membayar jus tersebut sembari berjalan menemui kami.

"Guys, sampai bertemu besok di sekolah," ucap Risma.

"Okay, kalian hati-hati di jalan," sambar Tini sekenanya.

Bersama dengan candaan yang masih terngiang diingatan, kami pun memutar motor seraya menuju jalan lintas. Barisan kami juga seperti seorang bodyguard, sangat rapi serta berjejer memenuhi tepian trotoar. Setelah mobil tidak ada yang melintas, kami bersiap-siap untuk tancap dan melintasi jalan raya.

Sang adik sedari tadi hanya membungkam, dia seperti sedang sakit gigi dan memerhatikan tingkah kami saja. Siti adalah siswi yang berasal dari luar sekolah kami, akan tetapi sahabat-sahabatku sangat suka berteman dengannya. Memiliki adik yang sangat memahami keadaan ketika diajak berkumpul, membuat aku senang.

Entah kenapa sedari tadi aku masih memikirkan Maya—sahabatku. Seketika aku merasa tidak enak dan hanya ada namanya di dalam ingatan. Wanita yang sekarang hidup tanpa kedua orangtua itu selalu sedih, entah kenapa dia bisa seperti itu.

Yang kutahu ketika duduk di bangku SMP adalah, Maya sangat terkenal dengan sifatnya yang begitu ceria. Belakangan hari ini seakan membuat diriku sangat prihatin dan kasihan. Selang beberapa menit bersenandika dalam hati, kami berdua sampai di depan rumah.

Kemudian sang adik pun bergegas masuk melalui jalan setapak, aku mengikut dari belakang badannya. Tepat di ambang pintu, kami berdua berdiri seraya menatap menuju ruang tamu, telah ada tikar warna-warni di sana.

"Assalammualaikum ...," sapa kami serempak.

"Wa'alaikumsallam ...," respons orang-orang yang ada di dalam dapur.

"Mak, kenapa rumah ramai sekali? Ada acara apa, ya?" tanyaku penasaran.

"Ah, enggak ada, Emak lagi ada arisan untuk nanti sore. Kalian kenapa lama sekali pulangnya, tidak seperti biasa." Selepas berkata, si emak pun lanjut menggoreng bakwan.

"Kami tadi habis nongkrong, Mak, biasalah minum jus sama teman-teman." Siti pun melintas setelah ganti baju.

"Ya, sudah, kalian makan siang dan tidur," suruh emak.

Mendengar ucapan itu, kami berdua mengambil makan siang seraya mendudukan badan di atas kursi. Karena kedua tangan telah memegang makan siang dan air mineral, langkah selanjutnya adalah menuju ke depan rumah dan mendudukan badan di bawah pohon mangga.

"Dek, nanti malam temani aku ke Simpang, yuk." Sembari makan nasi, aku berucap pada sang adik.

"Mau ngapain Abang ke Simpang?" tanyanya.

"Aku mau cari tugas di warnet, karena laptop aku sedikit lemot kalau dibuat internet," jawabku memberikan penjelasan.

"Kalau kau berani pamit pada emak dan ayah, oke aja." Siti pun membungkam sembari menatap nasinya saja.

Tanpa menjawab, aku pun berpikir untuk meminta izin pada sang ayah. Kami bukanlah anak yang bebas ketika ingin mencari tugas sekolah keluar rumah malam-malam. Walaupun itu adalah—sekadar mencari tugas dan sudah tuntutan anak sekolah. Ayah tidak mudah mengambil keputusan, karena dia takut kalau anak-anaknya pergi entah ke mana.

Karena orang-orang yang berhadir untuk acara arisan telah banyak di dalam rumah, aku memainkan ponsel sembari menatap mantap sebuah ponsel di tangan kanan. Secara saksama, netra hanya terpaku dengan aplikasi BBM. Di era yang serba BBM, membuat kami sangat nyaman menatap ponsel.

Selain BBM, kami juga mulai bermain akun social media bernama—FB. Sebuah aplikasi berwarna biru, dengan logo inisial F di depannya. Namun, selama aku memakai ponsel pintar, sangat gemar membuat status karena terdapat lisensi di bawahnya.

Tetapi tidak dengan sang adik, dia adalah wanita yang tidak suka main ponsel dan BBM. Sejak lama, Siti menggunakan ponsel yang hanya bisa digunakan untuk menelepon dan mengirim pesan singkat. Sehingga pengetahuannya dengan dunia internet tertinggal jauh.

Tepat arloji menunjukkan pukul 16.00 WIB. Orang yang tengah menghadiri acara arisan pun pulang ke rumah masing-masing, sehingga membuat keadaan di dalam runag tamu seperti kapal pecah. Karena si emak tengah sibuk, aku pun mengikutinya untuk membereskan rumah.

Sementara si emak mengumpulkan gelas dan piring kotor, aku mengangkatnya menuju kamar mandi. Kemudian Siti menyapu dan membersihkan tikar warna-warni. Beginilah rutinitas kami setiap hari, hampir tidak ada kata untuk bermain di luar rumah bersama anak-anak remaja seusia kami.

Menjelang sore, sang ayah pulang dari tempat kerja dan memasuki rumah. Sementara kami telah ada di dalam dapur untuk membantu si emak masak sayur bening. Ayah pun membuka topinya kemudian mendudukan badan di sampingku.

"Assalammualaikum ...," sapa ayah.

"Wa'alaikumsallam ... udah pulang, Yah?" tanyaku.

"Sudah, Le, kamu lagi ngapain di dapur?" tanya laki-laki berparas sedikit senja itu, tampak dari kulit wajahnya sangat hitam karena terbakar sinar matahari.

"Aku lagi bantu Emak merajang sayuran. Oh, ya, Ayah mau kopi hangat enggak?" tanyaku seraya menawarkan.

"Hmmm ... mau, kalau kamu yang buatin."

"Lah, kenapa gitu, Yah?" tanyaku penasaran.

"Kalau Siti yang buat, kopi itu rasanya asin seperti air laut." Setelah berucap, sang pemilik nama hadir dari belakang.

Akibat tidak bisa membedakan mana garam dan gula, Siti selalu mendapat ledekan dari sang ayah.

"Terus ... ceritain aja aku, biar keselek makan di ruang tamu," omel sang adik yang datang mengambil minum.

"Eh, anak gadis ayah udah datang. Kalian sudah mandi belum?" tanya ayah mengalihkan topik pembicaraan.

"Belumlah, Yah ... kan, kami lagi bantuin emak masak di sini." Selepas berkata, aku menyodorkan kopi hangat pada sang ayah.

Kami pun berkumpul empat orang di dalam dapur, seraya menanti si emak sedang menyayur dengan menggunakan kol dan wortel. Sebagai seorang anak, aku memiliki kewajiban untuk membuatkan minuman pada ayah. Meskipun itu adalah kegiatan perempuan, aku selalu melakukan setiap harinya.

Karena kami tengah asyik berkumpul, si emak mengambil kue basah yang dia buat tadi ketika acara arisan. Kemudian si emak meletakan kue tersebut di samping kami.

"Silakan dimakan dulu kuenya," ucap si emak.

"Wah ... enak sekali makanan hari ini," sambar ayah sekenanya.

"Iya, kue sisa arisan Emak tadi, Yah," jawabku.

"Oh, berarti ada yang lagi pegang uang banyak, nih." Bersama cengir, sang ayah meledek di posisinya.

Walaupun terkadang sangat keras kepala, ayah memiliki sifat jahil pada anak-anaknya, serta pada sang istri. Lelaki berusia lima puluh tahun itu, sangat suka meminum kopi ditambah dengan kue basah. Sejak dulu, ayah berpenampilan sangat sederhana dan tidak mau memerlihatkan pada orang kalau dia adalah laki-laki tampan.

Karena kami telah mengenalnya sejak lahir di dunia, laki-laki paling tampan adalah ayah dan tidak tergantikan. Karena suasana sore telah tiba, arloji pun menujukan pukul 18.00 WIB. Kami bergegas memasuki kamar mandi dan membersihkan badan. Secara bergantian, kami mengantre sudah seperti ingin pergi ke toilet umum.

Sementara di urutan terakhir, si ayah hanya menatap kami yang mondar-mandir lebih dulu. Walaupun badan ayah telah bau keringat dan bercampur dengan tanah, dia tetap mendahulukan anak-anaknya.

Kebiasaan ayah adalah—bercerita dengan si emak dengan sangat serius, entah apa yang mereka bahas. Padahal kalau sudah satu lokasi, mereka sering adu jotos dan berdiam beberapa hari. Perbuatan mereka memang membuat kami geli dan selalu menahan tawa.

Bersambung ...

Diary KuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang