Belum lama mendudukan badan, terdengar suara motor yang sedang berhenti dari luar rumah. Aku pun bergegas setelah penantian panjang tak kunjung datang, mereka adalah si emak bersama sepupu yang pulang dari pasar pagi. Tidak biasanya, si emak pulang lama dan belum masak hingga sampai saat ini.
Bersama perut yang mulai keconcongan, aku mencoba untuk menemuinya di halaman rumah, lamat-lamat bertemu di sebuah teras samping. Karena merasa sangat takut, aku pun bergeming tanpa suara seraya menatap mantap orang di hadapan.
Tanpa sepatah kata pun, Teddy membuang cengir seperti tengah mengerti gelagat diri ini. Dari gerak-gerinya, dia sangat meledek dan ingin mengaduh sama si emak. Tepat di hadapan netra, kami sama-sama berbaris seperti formasi bodyguard.
"Le, kau kenapa masih di sini? Emak mau masuk," ucap si emak membuyarkan lamuman.
"Eh, i-iya, Mak." Dengan ucapan terbata-bata, aku menggeser posisi badan sehingga mereka masuk dari posisi pinggir kiri.
Keduanya menuju jalan setapak dan melenggang memasuki dapur, kemudian aku mengikuti dari belakang seraya celingukan sekilas menuju isi rumah. Entah kenapa, suasana yang tadinya sangat kacau ditimpali suara aneh mendadak hilang.
Karena kehabisan akal untuk menafsirkan isi kepala, aku pun mendudukan badan tepat di samping kanan emak, bersama kompor yang telah dia nyalakan. Teddy bergerak ke kamar mandi dan mencuci ikan, kemudian si emak menatap mantap ke arahku.
"Le, kamu kenapa dekat banget sama emak duduknya?" tanya wanita paruh baya itu, lalu dia menggoreng kentang.
"Enggak, Mak, lagi kedinginan aja di rumah," jawabku sekenya.
"Bohong, Wak, si Andy itu ketakukan karena tidak ada orang di rumah," sambar Teddy sekenanya, dia datang seraya membawa ikan yang telah bersih di dalam kating.
Bersama senyum simpul, si emak pun membuang cengir kepadaku, lalu dia membolak-balikkan kentang yang sudah berwarna cokelat dan matang.
"Apakah benar itu, Le? Biasanya kamu berani kalau di rumah sendirian? Kenapa hari ini takut?" tanya emak bertubi-tubi.
Karena bingung akan menjawab apa, aku membungkam seraya mendengarkan suara burung kedasik di luar rumah. Hewan yang terbang ketika waktu gelap itu mondar-mandir dan tidak mau beringsut sama sekali. Daripada hantu, memang suara hewan itu selalu membuat bulu kudukku meremang.
Tak henti-hentinya aku mendengarkan, sesekali berhenti, lalu berkicau lagi sudah seperti bunyi kuntilanak yang ada di film-film dan bioskop. Seketika aku sedikit merapat ke posisi kanan si emak, lalu Teddy pun mengikut.
Bersama tatapan tajam, si emak menoleh ke arah kamu yang mendadak aneh. "Kalian kenapa berdua?"
Teddy meletakan jemarinya di tengah mulut, lalu dia memberikan kode agar si emak tidak bersuara sama sekali.
"Mak, coba dengarkan itu," kata Teddy, kali ini suaranya terdengar lirih dan sangat menakutkan.
"Iya, emak dengar. Emang kenapa dengan suara itu? Kan, sudah biasa di belakang rumah ada burung kedasik sedang berbunyi," ujar si emak, dia seperti tidak merasakan aura lain di sekitar rumah.
"Mak, Teddy boleh bertanya?" tanya Teddy, bersama ekspresi aneh dan membuat aku memekik di samping.
"Kau mau tanya apa, Ted?" jawab emak, mereka pun saling tukat tatap.
Tepat di samping badan, Teddy menarik napas berat, lalu mengembuskannya dari mulut. Belum pun dia berkata aku sudah takut, apa jadinya jika ucapan mengerikan keluar dari mulut anak indigo itu.
"Mak, apakah kehadiran burung kedasik adalah pertanda kalau akan ada yang meninggal dunia?" tanyanya, tebakan awal telah terbaca, kalau Teddy akan bertanya perihal itu.
Sembari menarik napas, aku menelan ludah dan membuangnya tidak netral. Sembari menunggu emak berkata, netra sejurus pada ambang pintu yang telah terbuka lebar.
"Memang ada yang bilang seperti itu, Ted. Tetapi ... uwak masih belum yakin seratus persen. Berdasarkan apa yang kita lihat, dan kita dengar, memang bunyi burung itu pertanda kalau akan ada yang meninggal dunia," jawab emak panjang kali lebar.
Teddy pun mengangguk dua kali, dia mendengarkan secara saksama. Aku juga begitu, di samping hanya fokus pada pintu dan gorden yang telah bergoyang tanpa henti. Namun, jumlah kami di rumah sangat banyak, tidak mungkin setan akan datang untuk menghatui kami.
"Sudahlah, kalian jangan pikirkan akan hal itu. Karena dapat mengganggu mental dan susah untuk tidur," ujar si emak sekenanya.
Kami mengangguk mendengarkan ucapan itu, lalu menatap ikan di dalam wajan yang sudah berubah menjadi hitam. Aku menyentuh lengan emak sekenanya.
"Ada apa, Le? Kan, udah emak bilang jangan bahas itu lagi," kata si emak.
"Itu, Mak, lihat." Menggunakan tangan kanan, aku menunjuk wajan di hadapan.
"Astaga! Gosong ... ikannya malah gosong. Kalian kenapa enggak kasih tau emak kalau ikan sudah matang!" teriak emak.
"Yah, Emak udah aku senggol tapi tidak peka juga. Lihat, deh, barangkali masih ada yang bisa dimakan," kataku menjelaskan.
"Ini pasti gara-gara Andy, membahas hantu dan burung kedasik," sambar Teddy di samping kiri.
Aku pun menatap lawan bicara, kemudian kubuang tatapan menuju si emak lagi. "Enak aja kau ini, mana ada gara-gara aku. Kan, yang tadi ngajak ngomong Emak adalah kamu!"
Kami pun saling adu jotos, sementara si emak hanya membuang senyum kecil dan menggelengkan kepala. Setelah sekian purnama tidak saling kenal, kami baru saja bertemu di usia tujuh belas tahun. Selama ini kami tidak pernah bertemu, karena Teddy tinggal jauh di provinsi Jambi.
Tidak berapa lama, gerimis pun datang membasahi bumi semesta. Tidak ada hujan, tidak ada petir. Namun, Siti tak kunjung pulang dari rumah sahabatnya. Emak pun sudah selesai menyayur, kami bertemu di meja makan seraya saling menyantap menu spesial.
"Le, emak baru ingat. Adik kamu ke mana? Kok, enggak terlihat dari tadi?" tanya si emak penuh selidik, lalu dia menatap pintu kamarnya yang telah terbuka.
"Biasalah, Mak, dia lagi ke rumah Miswan. Katanya ada tugas, tapi aku yakin kalau mereka hanya menggosip," jawabku.
"Ha-ha-ha ... emang yang namanya Miswan cewek apa? Kok, suka gosip?" tanya Teddy.
"Miswan itu cowok, tapi setengah dewa." Setelah berkata, aku meneguk kopi hangat.
"Maksudnya setengah dewa bagaimana, ya?" tanya Teddy.
"Laki-laki bertulang lunak, paham!" pekikku.
Kami pun tertawa terkekeh-kekeh bertiga, sementara dari ambang pintu, si ayah telah pulang entah dari mana.
"Assalammualaikum ...," sapanya.
"Wa'alaikumssalam ...," jawab kami serempak.
"Eh, ada yang lagi makan. Kok, enggak ngajak-ngajak?" tanya ayah.
"Ayah yang baru datang, dari mana aja dari tadi enggak ada di rumah? Biasanya kalau libur selalu lihat televisi," jawabku.
"Biasalah, melihat bangunan yang ayah sedang dirikan. Lagi hujan, takut kalau roboh."
"Oh, kalau begitu makan dulu, Yah," kata si emak.
Kami pun bertambah satu anggota lagi di meja makan, menyantap menu sederhana jika ramai memang sangat enak. Beginilah rutinitas keluargaku, terkadang membuat kesal karena ayah berkata sangat kasar, ada kalanya dia baik dan lembut.
Akan tetapi, karena ayah adalah pahlawan dalam keluarga ini, aku menghormati segala apa yang dia katakan. Kopi hangat sebagai teman setia, mewarnai kisah aku dan ayah. Kegemaran kami sama, meneguk kopi tidak kenal hari.
Kesukaan di antara kami sama, apa pun makanannya, apa pun menunya. Kopi adalah pasangan tepat di kala pagi hingga malam. Meskipun banyak yang bilang kalau kopi mengandung kafein, tetapi tidak menghalangi kami untuk memfavoritkan minuman satu itu.
Yang membuat candu bukan sekadar kopi, tapi senyum kamu.
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Ku
Teen FictionMenceritakan kehidupan seorang guru, terinspirasi dari kisah nyata penulis menjadi pendidik hingga menuai berbagai konflik dalam hidup.