"Banyak banget chat hari ini dari grup. Hp aku rasanya panas banget, batrai cepat low," ucap Ilham.
"Yup! Benar banget itu, aku cuma enggak tahu mereka bahas apa. Yang pasti, katanya ada yang viral di BBM. Coba, Ham, kau lihat dulu grupnya," suruh Tini Sulastri.
"Bentar-bentar, aku mau cek dulu di grup ini biang keroknya."
Sembari mendengar ocehan sang sahabat, aku pun melipat kedua tangan dengan menatap sejurus ke papan tulis. Dari posisi samping kanan, Ilham memekik dan seperti tengah terkekeh.
Sekilas, dari ekor netra kalau gelagatnya membuat aku muak. Kemudian, aku menolehnya sesaat.
"Kau kenapa, Ham?" tanyaku, lalu pandangan ini kembali ke tatapan semula.
"Ternyata ini, toh yang lagi viral. Ulah kamu ini, Ndy," kata Ilham.
"Kok, aku? Emangnya mereka bahas apa!" pekikku seraya merampas ponsel sang sahabat.
Di sana terlihat sebuah cokelat pemberianku tadi malam untuk kado ulang tahun Risma. Pasalnya, kado yang memiliki harga 15 ribu itu menjadi trending dan sahabat mengatakan sangat romantis.
Lebay, alay, dan lain sebagainya.
"Nih, ponselmu, aku kira apaan yang viral," pekikku seraya menyodorkan ponsel.
"Punya sahabat yang unik kayak gini, memang bisa membuat orang lain terhibur. Di saat yang lain pada sibuk membawa kado mahal, dia malah ngasih cokelat." Tini pun terus-terusan memuji.
Dari ambang pintu, sekelompok orang memandati jalan setapak menuju ke luar. Ternyata, Mita dan Maya datang melintasi. Akan tetapi, Maya berhenti dan tidak ikut pada sahabatnya itu.
"Andy, aku bawakan kamu ini." Tiba-tiba, wanita itu memberikan sesuatu di dalam kotak yang terbuat dari kertas.
"Apa ini, May?" tanyaku penuh selidik.
"Buka aja, pasti kau suka!" serunya.
Lamat-lamat, aku membuka kotak itu dan mendapati penglihatan yang biasa. Ya, kue donat beraneka rasa telah berjajar rapi di sana. Bukan tidak suka makan donat, tapi aku sedang tak mau melakukan apa pun.
Sementara Maya, sudah pergi sebelum aku mengatakan terima kasih perihal apa yang dia berikan. Karena merasa tak nafsu, aku menutup kotak itu lagi.
"Cie ... yang dapat donat, kayaknya enak banget," ucap Ilham dan Tini.
"Kalian mau? Kalau kalian suka, silakan makan," jawabku sekenaya.
"Ah, enggak mau. Entar kau tak ikhlas," sambung Dedi.
"Udah, makan aja. Malu-malu enggak kenyang. Kebetulan, aku gak suka sama donat," tukasku.
"Alamak, rezeki nomplok. Yuk, kita gas ...." Para sahabat pun memakan donat itu hingga tandas. Lalu, aku menoleh ke belakang badan.
Pasalnya, Mita dan Maya mendelik melihat kuenya dimakan orang lain. Namun, keduanya terbungkam dan aku merasa biasa aja. Senyum sinis pun akhirnya aku edarkan, karena mereka sempat membuat aku kehilangan mood pagi ini.
Setelah kue itu habis, bel pun berbunyi. Masuklah pelajaran kedua, yaitu Akuntansi. Seluruh siswa mengambil kertas folio berukuran panjang, sembari mencatat nama dan mengerjakan soal itu.
Pengawas kali sangat santai, karena Pak Miswan adalah orang yang paling sabar ketika mengajar. Sembari mengerjakan, para sahabat pun tak henti-hentinya berjalan ke sana dan ke mari.
Ada yang meminjam tipe-x, ada juga yang melihat jawaban orang lain. Karena merasa sudah selesai, aku pun mengumpulkan jawaban ujian.
"Pak, ini jawaban saya," kataku.
"Oh, ydah selesai?" tanya Pak Miswan.
"Udah, Pak," jawabku.
"Kamu mau tunggu di dalam, atau di luar?"
"Saya di luar aja, Pak, karena mau ke perpus," jawabku.
Sembari memberikan izin, Pak Miswan tetap mengawas. Lalu aku menatap kedua sahabatku di bangku paling belakang. Sembari melambaikan tangan, aku berucap sampai jumpa dengan nada suara lembut.
Mereka pun mengembuskan napas panjang, seperti sedang galau berat dalam mengerjakan ujian. Walaupun terbilang masih baru, aku sudah bisa memahami jalur mengerjakan neraca. Sehingga, segala bentuk soal dapat dilalui dengan lumayan mudah.
Dengan berjalan lumayan laju, tibalah aku di lantai satu dan bertemu dengan juara-juara dari gedung sebelah. Ya, mereka berbaris rapi karena sudah selesai ujian lebih dulu.
"Sepertinya, kita kehadiran tamu dari gedung sebelah. Jadi ini, ya, yang akan membawa nama jurusan Akuntansi tahun sekarang?" tanya Melisa.
"Iya, kayaknya iya. Karena aku dapat bocoran, kalau dia pintar MM sama Bahasa Inggris," sergah Linar.
"Tapi aku enggak yakin. Gayanya saja, biasa. Tak terlihat pintar," sambar Melisa.
"Tauk, lihat aja nanti gimana hasilnya."
Ucapan-ucapan meremehkan terdengar jelas, karena aku melintas tepat di hadapan mereka. Sebagai laki-laki yang tak peduli akan ucapan tersebut, aku tetap masuk ke dalam perpus dan mendudukkan badan.
Buku yang pertama aku ambil adalah tentang teori sains, kimia, dan biologi. Di samping kanan, terdapat seorang lelaki dari gedung dua, dia orang satu kampungku. Namun, kami tak akrab dan tidak pernah bertutur sapa.
Ketika dia menoleh, aku pun menoleh. Lelaki berwajah datar itu mengedarkan senyum kecil. Tak berapa lama, datang lagi anak SMA yang muncul secara tiba-tiba dari koridor gelap.
"Aku pusing, Vin ... kenapa kita harus satu kelompok sama anak Akuntansi cobak. Kan, kita sejak dulu gak pernah damai sama mereka," omel perempuan berjilbab itu.
"Hey, di sini ada anak Akuntansi, jaga ucapan," kata Kevin.
"Tapi benar, kan, kalau kita gak pernah damai sama mereka. Eh, bisa geser tempat duduk," ucap siswi itu padaku.
Karena aku tak mau ribut, aku pun menggeser posisi duduk, agar mereka bisa berada di samping kanan.
"Oh, ya, Vin. Kau tahu tidak anak Akuntasi yang akan menjadi tim kita olimpiade debat Bahasa Inggris?" tanya siswi itu dengan lantang.
"Enggak, aku mana tahu," jawab Kevin—sahabatnya.
"Orang yang kalian cari ada di sini," sergah Nanda—anak SMA yang saat itu menjadi senior.
Siswi itu dan Kevin mengernyit, lalu mereka menoleh kakak kelasnya.
"Siapa, Bang? Kamu? Tapi, kan, kau olimpiade biologi?"
"Bukan aku, tapi orang di samping kalian itu kandidatnya," sergah Nanda sekenanya.
"Di-dia? Kok, ak-aku ... aku enggak tahu kalau dia tim kita?" tanya siswi itu. "Hey, apakah kau adalah kandidat untuk olimpiade tahun ini?" tanyanya padaku.
Sekilas aku menoleh, lalu menjawab, "I dont know, may be yes ... may be no!"
"Ih, ngeselin banget. Baru juga tahun ini jadi kandidat, udah ngomong pake Bahasa Inggris," omel siswi itu.
"Sabar ... tapi aku asing sama dia. Ya, kan, asing banget," sambung Kevin.
"Dia itu tetanggaku, dulu dia sekolah di SMK Negeri di Kisaran. Tapi, pindah ke sini. Baru dua bulan," sambar Nanda memperjelas.
"What! Ja-jadi, jadi dia ini anak SMK Negeri!" pekik mereka berdua.
Sembari membangkitkan badan, aku memeluk tiga buku dan pergi dari posisi dekat mereka.
"Norak banget jadi orang. Pasti nanti, di olimpiade jadi beban," pungkasku mencibir.
"Ih ... ini anak belagu banget. Belum apa-apa udah remeh," pekik siswi itu.
"Makanya, jadi orang itu santai aja. Orang pintar, sikapnya santai, bukan banyak omong!" Nanda membela.
Bersambung ...

KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Ku
TeenfikceMenceritakan kehidupan seorang guru, terinspirasi dari kisah nyata penulis menjadi pendidik hingga menuai berbagai konflik dalam hidup.