Sehabis mandi dengan sangat bersih, aku memasuki kamar seraya mencari baju kemeja panjang dan celana ponggol. Pakaian pun telah menempel di badan, kemudian aku menatap cermin seraya memandang pantulan sosok diri, terlihat betapa diri ini sangat culun dan tidak memiliki aura sama sekali.
Ketika aku mencoba untuk membuka kacamata, tampilan pun berubah drastis dan sama dengan remaja pada umumnya. Karena sedari tadi aku asyik bercermin, ponsel di samping nakas pun bergetar tanpa ada tanda-tanda. Menggunakan tangan kanan, aku mengambil sisir seraya membereskan rambut.
Minyak rambut yang telah terpakai di rambut membuat penampilan ini sedikit rapi, kemudian aku menyemprotkan parfume hingga hampir membasahi baju. Aroma wangi pun memenuhi ruang kamar, ditimpali dengan senyum memesona aku melangkah keluar dan menatap dari ambang pintu.
Tepat di dalam dapur, si emak sedang ayik menggoreng sesuatu. Seketika aku penasaran dan ingin menuju ke pusat tatapan sejurus pada kompor gas dua tungku. Setibanya di lokasi, aku bergeming tanpa suara sembari mendekat sedikit demi sedikit.
"Mak, lagi ngapain di dapur?" tanyaku penuh selidik.
"Eh, udah ganteng anak emak. Ini, loh, lagi goreng pisang. Kamu suka enggak sama pisang tepung krispi?" Si emak malah balik nanya, dia menoleh ke arahku yang masih menatap minyak di wajan.
"Suka, Mak. Apa pun makanan yang Emak buat, aku suka banget." Sembari memuji, aku pun memutar badan seraya menuju ke rak piring.
Kemudian aku mengambil alat untuk merebus air untuk membuat kopi hangat. Karena si emak tampak sibuk, aku biasanya membantu untuk membuat minuman. Suasana menjelang magrib, ayahku tak kunjung pulang. Namun, kerena hujan masih deras, kemungkinan dia masih berteduh di luar.
"Kamu mau ngapai, Le?" tanya emak penasaran.
"Aku mau buat kopi hangat, Mak. Oh, ya, Emak mau juga?"
"Boleh, deh, tetapi jangan manis-manis." Selepas menjawab, wanita paruh baya itu kembali menjalankan aksinya.
Kami pun tampak seperti tengah gotong royong berdua. Beginilah kedekatan aku pada emak, sehingga ke mana pun kaki ini melangkah pasti ada dia yang selalu mendampingi. Kini usiaku telah menginjak lumayan remaja, akan tetapi tidak seperti remaja kebanyakan.
Sejauh ini emak melarang aku banyak hal, salah satunya adalah—tidak boleh pulang terlalu lama ketika ke rumah teman. Padahal aku hanya sekadar bertanya tugas di sekolah. Bahkan emak selalu menelepon aku jika berada di tempat yang belum pernah ditemui, entah itu lokasi wisata atau kolam renang.
Hampir setiap hari rutinitasku di rumah dilakukan bersama malaikat tak bersayap itu. Saat ini aku punya adik, sebagai anak terakhir dari keluarga kami. Kelahiran kami sama waktunya. Sehingga siapa pun yang melihat wajah kami, akan mengatakan persis dan mirip.
Karena kami adalah anak kembar, yang membedakan hanya jenis kelamin dan soal perasaan saja. Adikku bernama Siti, dia memiliki wajah cantik, sementara aku memiliki wajah tampan menurut badan pengawasan makanan dan obat-obatan.
Sedikit gila memang, karena kami sangat berbeda jauh dari segi sikap bagai langit dan bumi. Walaupun aku anak laki-laki, kegemaran sejak lahir adalah memasak. Akan tetapi, sang saudara kembar malah sebaliknya, dia sangat suka bermain futsal dan berbagai olahraga anak cowok lainnya.
Selain gemar membaca, aku terkenal sangat rajin menulis. Kegemaram itu pun membuat si emak sangat suka membelikan aku buku bacaan, hingga memenuhi lemari kamar. Sementara bermusik adalah kegemaranku juga, bernyayi hingga mengikuti berbagai ajang lomba di kampung.
Tiba-tiba, sebuah pintu ruang dapur terbuka. Karena kegiatan itu sering dilakukan oleh adik kembarku, sudah pasti ingin membuat kaget. Sejak duduk di bangku SMA, kami berpisah sekolah. Perbedaan pilihan membuat kami saling berjauhan dan mulai mencari jati diri masing-masing.
"Dor!" pekik saudara kembarku dari belakang.
Karena aksinya sudah dapat terbaca, aku pun diam saja seraya menoleh. "Kau kenapa setiap hari melakukan hal itu?"
"Kirain kalian kaget. Eh, malah melotot menatapku."
Menggunakan tangan kanan, aku melayangkan toyoran pada sang adik di keningnya. "Dasar! Dari mana saja kau, baru pulang jam segini?"
"Biasa, Bang, aku lagi main ke rumah Miswan dan Nita tadi," jawabnya.
"Tolong angkat goreng pisang itu ke rumah, Dek. Biar kita makan bareng sama ayah nanti," suruhku pada sang adik.
"Ayah belum pulang juga, Bang? Kok, lama sekali?" tanyanya sembari menoleh kanan dan kiri.
Mendengar ucapan itu aku mendelik. "Halah ... ada ayah di rumah pun membuat kalian enggak akur. Kalau sudah tak terlihat saling merindukan."
"Emang gak boleh. Kan, jelek-jelek begitu dia adalah ayah kita." Pembelaan pun terdengar hari ini.
Tidak bisa dipungkiri, kalau kehadiran sang ayah memang membuat kami sangat overload ketika berbicara. Lelaki paruh baya yang ketika berbicara selalu nyolot, keras kepala, dan tidak mau kalah. Jika beradu ucap pada ayah, sangat susah untuk menang.
Jangankan menang, mencari seri saja kami tidak bisa. Akan tetapi, di balik sifatnya yang keras, ayah selalu memikirkan masa depan anak-anaknya. Termasuk padaku, walaupun belum lulus SMA, dia sudah menawarkan untuk aku masuk kuliah di mana pun sesuka pilihan hati.
Karena tawaran itu, aku sangat giat belajar. Bahkan hari-hari selalu habis bersama dengan buku. Untuk urusan percintaan seperti anak ABG zaman sekarang, aku hampir lupa bagaimana tutorial menembak cewek seperti apa. Yang pasti, aku sudah memutuskan jomlo sejak berpisah dengan kekasih pertama di bangku Sekolah Menengah Pertama.
Cinta monyet itu masih membekas, bahkan untuk beralih hati rasanya sangat susah. Perpisahan di antara kami bukan karena ego, akan tetapi lebih kepada Allah SWT sangat sayang padanya hingga nyawa tersebut kembali pada Sang Maha Kuasa.
"Sudah selesai. Yuk, Le, kita ke rumah," ajak emak seraya mempersilakan.
"Oke, Mak, kopi pun sudah selesai."
Kami berjalan seiringan sembari mendudukan badan di meja makan. Tiba-tiba, dari ambang pintu ayah datang dengan keadaan yang basah kuyup, sama persis dengan aku ketika pulang sekolah.
"Assalammualaikum ...," sapa ayah sekenanya.
"Wa'alaikumsallam ...," jawab kami serempak.
Dari raut wajah lelaki pahlawan keluarga itu sangat menggigil, aku membangkitkan badan seraya menuju kamar tidur untuk mengambil handuk. Setibanya di ambang pintu, aku menyodorkan handuk berwarna hijau itu pada sang ayah.
"Ini handuknya, Yah," ucapku.
"Anak lanang ayah yang paling perhatian. Punya anak perempuan malah asyik makan aja dari tadi," sindir lelaki bertopi di ambang pintu.
"Yah, mandi dulu. Aku sudah buat kopi hangat, kita ngopi dulu sebentar sebelum makan." Selepas berkata, aku kembali berjalan menuju meja berbentuk lingkaran.
Sang ayah pun melintasi kami bertiga dengan langkah laju, dia pun menuju kamar mandi dan membersihkan badan dari terpaan air hujan, bau keringat, serta percikan lumpur dan lain sebaginya.
Ketika selesai mengenakan pakaian, ayah datang ke meja dengan mendudukan badan di sampingku. Menggunakan tangan kanan, dia mengelus rambut ini dengan sangat lembut.
"Loh, badan kamu kenapa panas, Ndy?" tanya ayah penasaran.
"Iya, Yah. Tadi kena hujan di luar," jawabku.
"Kok, bisa kena hujan? Emang enggak dijemput pulang sekolah?" tanyanya lagi.
Mendengar pertanyaan itu, aku menatap si emak yang sedikit takut. Kemudian aku menoleh ayahku lagi. "Aku tadi beli kopi ke warung, Yah, jadi kena hujan."
"Oh, kalau itu berarti kesalahan kamu. Ayah pikir enggak dijemput sama Emakmu," jawabnya sembari meneguk kopi hangat.
Bersambung ...

KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Ku
Fiksi RemajaMenceritakan kehidupan seorang guru, terinspirasi dari kisah nyata penulis menjadi pendidik hingga menuai berbagai konflik dalam hidup.