Andy POV
Hari yang sangat cerah. Semburat arunika datang menyapa. Panorama indah memberikan cerita, selepas embun pagi di pinggir dedaunan. Menetes, membasahi bumi semesta. Dengan membawa tas yang letak pundak, aku berjalan menaiki lanti tiga gedung sekolah.
Tanpa peduli pada situasi sekitar, aku adalah siswa yang dikenal tidak begitu ramah. Memiliki sifat arogan, serta tidak suka berteman. Namun, kalau ada orang yang mampu membuat nyaman, aku adalah manusia paling gila dalam bertingkah.
Di sekolah ini, kehadiranku baru terhitung beberapa bulan saja. Belum kenal seluruhnya pada guru-guru dari jurusan lain, dan jenjang sekolah lain. Sekolah ini, memiliki beberapa jenjang. Yaitu: SMK 1, SMK 2, SMA dan SMP.
Paket komplit untuk pendidikan yang tak mau mencari sekolah lain. Fasilitasnya juga mumpuni, semua dipelajari di sekolah tersebut. Mulai dari laboratorium IPA, bahasa, komputer, bahkan laboratorium untuk praktik akuntansi juga ada.
Setelah tiba di lantai tiga, aku berjalan memasuki ruangan. Entah kenapa, pagi ini terlihat sedikit damai. Tidak begitu riuh seperti biasanya. Seluruh siswa dan siswi tampak sedang menatap buku pelajaran masing-masing.
Di posisi bangku paling depan, aku mendudukkan badan sembari meletakkan tas di dalam lacu meja. Sekilas terlihat dari ekor netra, para sahabat menolehku sesaat. Namun, mereka berpaling lagi.
Sepertinya pagi ini mereka menyembunyikan sesuatu, akan tetapi aku tak tahu apa itu. Sembari membuka tas, aku pun menyenggol sebuah benda di dalam laci. Karena belum ada guru yang masuk, kemudian aku ambil benda itu.
Ternyata, sebuah buku diary berukuran kecil. Dengan warna merah muda, bersampul pita. Secara saksama, aku membolak-balikkan buku itu di pangkuan.
'Ini buku milik siapa, ya?' tanyaku dalam hati.
Karena nama sang pemilik tidak tersedia, aku pun meletakkan buku diary itu di atas meja. Belum lama mendudukkan badan, seorang wanita pun datang menghampiri.
Sentuhan lembut mendarat sempurna. Tepat berada di pundak belakang, itu adalah Mita. Siswi yang selalu kepo pada urusan orang lain, sekarang hadir dan mendudukkan badan.
"Eh, Nazmitha. Aku kira siapa," ucapku.
"Andy, ada yang mau aku tanya sama kamu. Tapi ... kamu harus jawab jujur, ya."
"Hmmm ... katakanlah, kau mau ngomong apa?" tanyaku.
"Aku tadi udah sempat dengar dari Maya, kalau kalian lagi ada masalah. Emangnya, kalian lagi kenapa?" Pertanyaan pun datang dari Mita, membuat alisku mengernyit bersamaan.
"Maya?" tanyaku singkat, lalu aku menoleh lawan bicara.
Tanpa menjawab sama sekali, Mita pun mengamgguk. Dari raut wajahnya, tampak sangat penasaran. Karena aku tak mau berterus terang, dengan lembut aku menggaruk kepala.
"Ah, cuma masalah sepele. Kau tidak perlu tahu, nanti juga tahu sendiri," jawabku sekenanya.
"Hmmm ... kalian pasti menyembunyikan sesuatu, kan, dariku?" tanyanya lagi.
Tiba-tiba, seorang guru pun datang dari ambang pintu. Membawa berkas berwarna kuning, dan dia adalah guru mata pelajaran Bahasa Indonesia.
"Selamat pagi anak-anak ...," sapanya.
"Selamat pagi, Bu ...," respons kami serempak.
Guru pelajaran Bahasa Indomesia terkenal dengan gaya mengajarnya yang sangat pandai. Dia bisa membuat satu ruang kelas merasa nyaman, serta tak ada pergerakan sama sekali.
Sambil menggigit ujung pulpen, aku menoleh Mita yang sedang sibuk menatap buku pelajaran.
'Pasti mereka udah tahu, kalau aku menolak Maya semalam. Pantes aja, satu kelas seperti aneh gitu melihat. Bahkan Mita, dia sampai rela sebangku karena pertanyaan perihal Maya.'
Napas yang tadinya sedikit tersengal, kemudian aku tarik lagi bersamaan. Beberapa menit bergeming, akhirnya sebuah materi pun telah ada di papan tulis. Dengan sangat cepat, aku mencatatnya.
"Kalian jangan ribut, ibu mau ke kantor sebentar," ucap Bu Guru.
Karena kami masih ada tugas, akhirnya ruangan tetap aman dan diam. Beberapa menit setelahnya, Mita pun menyiku kembali lenganku.
"Ndy," panggilnya.
"Hmmm ...," gumamku.
"Kau belum menjawab pertanyaan aku tadi. Kalian ada masalah apa emangnya?" tanya Mita penuh selidik.
"Mita ... berapa kali aku harus bilang, kami enggak ada masalah apa-apa. Jangan terlalu kepo, deh," omelku ngegas.
"Tapi aku enggak yakin kalau kalian baik-baik aja. Pasti ada alasan kenapa Maya sampai menangis masuk ke dalam kelas!"
Deg!
Mendengar pernyataan itu, aku menoleh ke belakang. Pasalnya, orang yang sedang kami gibah tengah menyibak air mata. Padahal, aku tak pernah menyakiti dia. Bahkan, kemarin juga kami berpisah di pinggir jalan dengan baik-baik.
Tak habis pikir dalam menafsirkan apa yang terjadi, membuat aku merasa semakin dilema berat. Saking bingungnya, aku pun membangkitkan badan dengan segera.
"Andy, kau mau ke mana?" tanya Mita, dia menahanku.
"Aku mau bertanya sama Maya, kenapa dia nangis."
"Udah ... nanti kita bicarakan baik-baik. Kamu duduk dulu, biar aku tahu apa pokok dari masalah ini," jelas Mita.
Entah hantu apa yang mampu membuat Mita semakin dewasa mendadak. Padahal, dia masih saja selalu kepo pada orang lain. Pagi ini, para sahabat lainnya seperti terikut dalam ucapan Maya yang aku tak tahu apa.
"Mit, jadi begini. Kan, kemarin aku sama Maya pulang bareng. Terus ... dia mau singgah ke rumah, okelah aku izinkan. Namun, ketika kami sampai di tengah jalan, dia malah mengatakan hal yang aneh banget di telingaku."
"Emangnya, dia ngomong apa sama kamu, Ndy?" tanya Mita.
"Hmmm ... dia ... dia ... dia mengatakan, kalau dia cinta sama aku."
"Apa!" pekik Mita berteriak.
Menggunakan kedua tangan, aku menutup mulut lawan bicara. Beberapa menit setelahnya, barulah aku membuka mulut lawan bicara.
"Suuttt ... jangan keras-keras," ucapku mengomel.
"Iya ... apakah yang kau bilang itu benar, Ndy? Perasaan, tadi dia gak ada bilang begitu," kata Mita lagi.
Sembari menaikkan pundak, aku pun berkata, "aku juga enggak percaya kalau dia mengatakan itu. Padahal, semua jawaban tersebut hanya untuk membuat hubungan persahabatan ini tidak hancur, itu aja."
"Hmmm ... aku paham sekarang. Pasti, selama ini dia menyimpan perasaan yang lain sama kamu. Hmmm ... semakin rumit, sahabat jadi cinta."
"Itu dia yang aku gak mau, Mit. Kan, selama ini kita itu sahabatan. Masak iya, aku pacaran sama orang yang udah aku anggap adik."
Mita pun mengelus pundakku perlahan. "Kau yang sabar ... ini adalah cobaan orang ganteng. Jangankan mantan, sahabat sendiri aja suka."
"Ya, tapi enggak gitu juga, Mit. Kan, aku jadi bingung mau berbuat apa," protesku.
"Udahlah, jalani aja seperti biasa. Kalau yang namanya gak cinta, mana mungkin dipaksakan," tambahnya.
Tak berapa lama, guru bahasa pun masuk lagi. Seketika ruang kelas berubah seperti kuburan. Tanpa ada suara, bahkan pulpen terjatuh pun sangat terdengar pasih.
"Baik anak-anak, kita lanjutkan pelajaran saat ini. Buka halaman dua puluh lima, di sana ada tugas. Coba kalian mengamati percakapan, dan membaca isi dari percakapan itu. Lalu, jawab soal yang ada di bawahnya."
"Baik, Bu ...," teriak kami serempak.
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Ku
Teen FictionMenceritakan kehidupan seorang guru, terinspirasi dari kisah nyata penulis menjadi pendidik hingga menuai berbagai konflik dalam hidup.