Bab 37

92 1 0
                                    

Malam telah tiba, aku yang sejak tadi bimbang hendak melangkah, kemudian hati nurani kembali terbuka. Di sisi lain, teringat akan sahabat yang sangat baik mengundang. Namun, di sisi lain, aku tak ingin memerlihatkan wajah di hadapan sang sahabat bernama—Maya.

Bukan merasa paling tampan, atau paling keren. Akan tetapi, ini lebih kepada perasaan yang tak dapay diubah lagi. Seraya menyisir rambut, sebuah telepon pun datang dari Ilham—sahabatku.

Orang yang lumayan tampan, tak kalah denganku. Dia ingin pergi bersama-sama untuk pergi ke acara ulang tahun malam ini. Tepat di malam Minggu, ketika waktu bersejarah tiba bersama pasangan. Ya, itu hanya untuk mereka yang membawa pacar.

Sebagai seorang laki-laki yang tak mau ribet akan dunia percintaan, aku memilih sendiri saja. Ke mana pun pergi tak ada yang melarang, serta beban semakin ringan untuk fokus belajar di sekolah.

Berulang kali aku mematikan ponsel, akan tetapi Ilham tetap saja mengganggu dengan menelepon bolak-balik. Sebuah sentuhan lembut mendarat di pundakku, lalu posisi wajah ini memutar 180 derajat ke belakang.

"Eh, Emak, aku kira siapa," ucapku sekenanya.

"Udah ganteng aja anak emak. Emangnya, mau pergi ke mana magrib-magrib begini?" tanya si emak sangat penasaran.

"I-ini, Mak, aku mau ulang tahun ke rumah sahabat. Boleh, kan, malam ini pergi?" Kali ini, aku yang membuang pertanyaan.

Lawan bicara pun mengangguk, lalu dia mengedarkan senyum kecil. "Yang penting, pulangnya jangan malam-malam. Kan, tahu sendiri kalau Bapak melihat anaknya enggak pulang, pasti ngamuk."

"Iya, Mak ... aku akan mengingat semua nasihat. Oh, ya, kalau misalnya ada yang tanya Andy di mana, bilang udah pergi, Mak!" seruku.

"Iya sayang, kamu buruan pergi. Entar kemalaman di jalan, enggak fokus bawa motor. Oh, ya, satu lagi. Jangan ngebut-ngebut," sambung si emak.

"Iya, Mak. Kalau gitu, Andy pamit dulu. Assalammualaikum ...," sapaku seraya mencium punggung tangan si emak.

"Wa'alaikumsallam ...," responsnya.

Setibanya di ambang pintu, aku membawa motor untuk ke luar ditemani si emak. Tepat berada di halaman depan, ternyata Ilham sudah datang bersama motornya.

"Eh, kau udah sampai?" tanyaku spontan.

"Udahlah, kau aja yang sombong. Gak mau angkat teleponku," omelnya ngegas.

"Iya-iya ... gitu aja ngambek. Oh, ya, bersih banget ini motor?" tanyaku lagi.

"Hmmm ... kan, sebelum pergi udah aku cuci di door smeer. Kirain kamu enggak bawak motor, ternyata bawa."

"Oh, kota boncengan maksudnya?" tanyaku lagi, kedua alis ini mengernyit bersamaan.

"Kalau menurut aku gitu aja, sayang bensinmu, mending sama aku aja," kata Ilham lagi.

'Benar juga kata Ilham, aku ikut aja sama dia. Nanti, kalau ngantuk bisa numpang pundaknya,' batinku bersenandika.

"Hey! Bengong aja! Yuk, kita berangkat!" pekik Ilham ngegas.

Dengan meninggalkan motor di samping rumah, aku pun menaiki motor sahabat. Ternyata lelaki berbadan tinggi itu tengah pakai jaket hitam, aku tidak suka berpenampilan demikian.

Saking merasa malunya di bonceng, di sepanjang jalan aku mengulum senyum sambil menatap ponsel.

"Andy," ucap Ilham sedikit mendayu.

"Hmmm ...," gumamku.

"Kau idah punya cewek?" tanyanya.

Sekilas, aku menatap leher lawan bicara, kemudian menjawab, "belum, emangnya kenapa?"

Diary KuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang