"Kalian lagi bahas apaan, sih, aku enggak mengerti dari tadi?" tanya Tini Sulastri sangat kepo.
"Kalau kau tahu pasti akan muntah, Tin," jawab Ilham.
"Sumpah, aku kepo banget sama pembahasan kalian. Apaan, sih, Risma." Tini pun menatap kedua netra Risma yang sedari tadi tertawa kekeh.
"Mereka lagi bahas punya mereka yang ada di celana, Tin. Bego banget, lemot. Ha-ha-ha ...," celetuk Risma sekenanya.
"Kurang ajar! Kalian, ya, jorok kali pembahasan kalian." Tini pun memyandarkan badannya di kursi belakang.
"Kan, aku udah bilang tadi kalau kau tahu pasti akan muntah, tetapi ngeyel banget jadi manusia." Ilham pun membuang cengir karena merasa sangat geli.
Sementara aku tidak memedulikan topik yang tadi sengaja kubuka, karena tugas di atas meja lebih penting dari sekadar membahas hal konyol seperti itu. Tidak berapa lama, bel pelajaran pun berakhir, sementara tugas belum juga selesai dan menumpuk lagi di atas meja.
"Yey ...!" teriak para siswa dan siswi sangat senang.
"Baik anak-anak, besok akan kita lanjutkan pelajaran tadi. Tetapi ingat, jangan ada yang tidak selesai." Pak Miswan pun bergegas meninggalkan ruang kelas.
"Baik, Pak ...," jawab kami serempak.
Satu persatu para siswa menghambur keluar, seketika ruangan pun kembali sunyi seperti kuburan. Tanpa satu suara terdengar, dan sang sahabat juga sepertinya telah pergi ke kantin lebih dulu.
Aku merasa takut bila ada di dalam ruang kelas sendirian, bukan karena hantu atau setan. Akan tetapi takut jika ada barang yang hilang, otomatis akan aku yang menjadi sasaran. Bersama langkah gontai, kedua kaki ini membawa badan untuk duduk di teras kelas.
Bekal di tangan kanan, dan susu di tangan kiri. Aku mendudukan badan seraya memakan roti buatan emak, serta meneguk susu putih yang sudah tidak hangat lagi. Tidak berapa lama, siswi tanpa mengenakan jilbab pun datang dari kelas akuntansi satu.
Perempuan beragama non-muslim yang ketika pagi tadi telah berselisih denganku di anak tangga lantai dua. Dia mendudukan badan tepat di samping kananku, menatap sejurus dan membuang senyum semringah. Namun, dia hanya sekadar memerhatikan saja, tidak lantas berucap.
"Eh, kamu," ucapku mengawali pembicaraan.
"Iya, aku boleh duduk di sini, kan?" tanyanya.
Aku pun mengangguk dua kali. "Boleh, silakan saja."
"Oh, ya, nama kamu siapa?" Siswi itu menyodorkan tangan kanannya.
Seketika aku menoleh ke arah wajahnya, lalu kubuang menuju tangan kanannya. "Namaku Andy, panggil aja itu."
"Oh, nama aku Wandira. Panggil saja Dira, terserah kamu saja." Selepas berkata, siswi itu memutar tatapan dengan menatap pohon pinang yang bergoyang terkena angin.
Karena roti di dalam rantang masih ada beberapa potong, aku mencoba menawarkan pada siswi cantik itu. Dengan sangat lembut, serta menggunakan tangan kanan, aku menyodorkannya.
"Kau mau kue?" tanyaku basa-basi.
"Hmmm ... apakah boleh?" Siswi itu menatap isi rantangku.
Tanpa menjawab, aku mengangguk dan mempersilakannya untuk mengambil. Kemudian dia mengambil kue dadar berwarna hijau, lalu memakannya dengan sangat lambat.
"Apakah kau yang membuat kue ini?" tanyanya, lalu dia menoleh ke arahku sekilas.
"Iya, aku yang membuat kue itu bersama si emak. Bagaimana rasanya, enak?" kataku membuang pertanyaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Ku
Teen FictionMenceritakan kehidupan seorang guru, terinspirasi dari kisah nyata penulis menjadi pendidik hingga menuai berbagai konflik dalam hidup.