Bab 39

74 1 0
                                    

"Nih, aku kasih kamu kado paling spesial dari aku." Dengan merogoh kado di dalam kantong celana, aku pun menyodorkan dua bungkus makanan pada Risma.

Orang yang sedang berulang tahun menoleh ke arah benda di sampingnya, dia tercengang denganku dan seperti mengulum senyum.

"Cokelat?" tanyanya.

"Ya, aku tidak bisa memberikan apa pun. Filosofi dari cokelat itu, rasanya manis. Sedikit lengket, dan tidak ada bau yang menyengat. Seperti pertemanan kita, kalau bisa ... selalu manis saja sampai selamanya."

"Uch ... kau memang orang paling romantis yang pernah aku kenal. Bahkan cowokku aja, gak tahu maunya aku itu seperti apa. Andy ... ini adalah kado yang paling spesial dalam hidupku."

Sembari mengedarkan senyum, aku membangkitkan badan. Celana panjangku telah kotor, kami duduk di atas tanah tanpa alas. Sementara sahabat yang lainnya, masih sibuk memakan ayam panggang di depan api unggun.

Secara saksama, aku menatap arloji di tangan kanan. Tepat pukul 22.00 WIB, sudah saatnya aku pulang kr rumah. Sesuai janji, kalau aku tidak akan melewati jam 10.

Bersama dengan Ilham, kami pun berniat pulang bersama. Lelaki berbadan tegap dengan cita-cita menjadi tentara itu sudah bergeming menatap ponselnya. Lalu aku mendekat, berjarak sedikit rapat, dan kami saling tukar tatap.

Kemudian Ilham menaikkan kedua alisnya bersamaan, gaya cowok kece tahun 2012.

"Ham, kita pulang, yuk," ajakku.

"Oke, kita pulang. Oh, ya, aku pamitan dulu sama orangtua Risma," jata Ilham.

Kami pun bersama-sama memasuki rumah dan menjumpai orangtua sang sahabat. Ulang tahun malam ini sangat berkesan. Jujur, aku baru satu kali seumur hidup menghadiri acara begitu.

Selama ini, kalau mendapat undangan, biasanya aku hanya titip kado. Yang tidak lain adalah, memberikan buku seperti novel atau apa. Kecintaanku pada dunia literasi sudah ada dari SMP, karena aku sering ikut lomba baca puisi.

Dengan menaiki motor matik, kami pun pulang lebih dulu dengan kecepatan yang biasa. Ilham sesekali menolehku, entah apa maunya dia.

"Kau kenapa? Sakit?" tanyaku bertubi-tubi.

"Enggak. Aku enggak nyangka aja, kalau kau pintar main gitar. Di balik dari tubuhmu yang sangat lemah itu, gampang pingsan, ternyata kau bertalenta," pujinya sekadar basa-basi.

"Iya, karena ayahku suka main gitar. Jadi ... aku belajar sama dia. Kan, kalau setiap hari dilatih akan bisa," jawabku sekenanya.

"Aku aja, cowok yang sangat kekar begini gak bisa main gitar. Bisalah, kau ajari aku nanti," katanya.

"Belajar gitar itu ibarat kita menyalakan lilin," jelasku.

"Ma-makaudnya, menyalakan lilin? Mau jadi babi ngepet?" tanyanya serius.

Dengab mengulum senyum, aku memukul kepala sahabat. "Gila! Bukan begitu konsepnya."

"Lalu, bagaimana. Kan, tadi kau bilang. Menjaga lilin itu untuk pesugihan babi ngepet, lah."

"Maksud aku, kita menyalakan lilin di tengah badai angin. Otomatis, lilin itu akan padam. Nah, kota harus bisa menjaga lilin itu agar menyala terus, sampai badai redah," jelasku.

"Hmmm ... maksudnya, harus penuh kesabaran agar badan berlalu lebih dulu?"

"Yup! Benar, seratus untukmu!" sergahku.

"Ya, ampun ... bicara sama kau, aku mendadak pusing. Pakai konsfirasi, dan filosofi yang sukar untuk ditebak. Kalau menurut aku, nih, ya. Kelak, kau akan menjadi penulis terkenal."

"Kenapa begitu, Ham?" tanyaku penasaran.

"Karena, semua elemen dalam dirimu itu udah menyatu. Berpenampilan seperti orang cupu, padahal pintar. Pura-pura miskin, padahal orang yang ada. Serta ... kau juga pintar dalam segala hal."

"Lebay, udahlah jangan bahas masa depan. Aku yakin, kamu lebih dulu jadi orang sukses dariku!"

Kami pun membungkam karena melintasi jalan yang berbelok, gang untuk masuk ke dalam desaku sudah terlihat. Beberapa menit lagi, aku pun tiba di depan rumah.

Ilham belok kanan, dia pun turun dari motornya. Posisi bergeming sahabat membuat aku salah fokus, karena dia selalu saja menyentuh celananya.

"Kau kenapa?" tanyaku.

"Gak ada, dingin banget. Sampai naik punyaku," celetuk sahabat.

"Njir ... kau, ya, buat aku mau muntah." Tanpa peduli ucapan lawan bicara, aku berlari masuk ke dalam rumah. Setibanya di samping jendela, tatapan kembali aku buang menuju luar.

'Itu bocah kenapa enggak pulang juga, sih, mau ngapain coba masih di halaman rumahku!' pekikku dalam hati.

Karena merasa sangat terganggu, aku pun kembali membuka pintu rumah. Tatapan aku buang sejurus menuju Ilham di sana.

"Woi ... kau ngapain masih di situ. Mau aku bakar kau!" sorakku berteriak.

"Eh, iya, sorry. Aku pulang dulu, ya," katanya, lalu Ilham menarik gas motornya sangat laju.

'Itu anak, homo atau gimana, sih? Dari tadi yang dibahas kenapa burung terus. Kan, aku jadi mau muntah,' omelku dalam hati.

Tak berapa lama bergeming di depan rumah, aku pun mengambil gitar di dalam kamar. Dekat dengan pintu depan. Lalu, aku memetik senarnya dan bernyanyi lagi malam ini. Dalam keheningan malam, semoga lantunan tersebut menjadi bait doa dalam sejarah.

Aku adalah seorang remaja biasa, yang selalu mengandalkan alam untuk konsfirasi bercerita. Terkadang, himpitan dari hujan di tepi dedaunan, mampu membawa aku terjatuh dan bangkit lagi.

Sejak asmara mulai menyapa, rasanya aku tak tega melihat siapa pun terluka. Baik sahabat menjadi cinta, serta sang pemilik rasa berhasil terpisah. Indah dalam genggaman, akan tetapi pahit yang terasa membara.

Perasaan ini bagai sebuah nyanyian kalbu, pujangga asmara kembali membuka lembaran baru. Tepat bersama dengan lagu, syair dan irama. Menggetarkan alam yang sempat merasa sedih menatap wajahku.

Dari ambang pintu, sang ibu pun datang. Kehadirannya mampu membuat aku terdiam sejenak. Lalu, aku menggeser posisi duduk, agar dia bisa berada di samping kanan.

"Sudah malam, kau tidak tidur?" tanya si emak.

"Mak, kenapa cinta itu rumit sekali, ya?" Kali ini, aku yang bertanya.

"Karena ... kau terlalu dalam menyilaminya. Coba dengan gaya biasa saja, pasti tak akan sedalam itu," jawab si emak.

"Apakah benar, aku terlalu dalam menyilami perasaan itu. Tetapi, aku sudah mencoba bisa saja agar tidak terlalu jatuh."

"Terkadang, kau menganggapnya biasa saja. Tetapi tidak pada wanita. Makhluk lemah yang memiliki perasaan sangat luas, apa yang dilihat dapat dirasakan. Mengertinlah, bahwa dua insan itu memang harus saling memberi rasa."

Sejenak aku terdiam, sulit bagiku untuk menjawab. Apalagi, kalau sudah tentang cinta. Sangat dalam, dan tidak ada satu pun mengerti perasaan ini. Dalam hati sudah percaya perlakukan kita benar, sesuai jalur yang ada.

Namun, kenyataan berkata lain. Di saat semua baik-baik saja, justru sebaliknya. Tepat bersama semburat bulan purnama, kupandangi dengan sepenuh hati, sampai tak ada lagi sisa rasa untuk dibagi.

"Sudah malam. Yuk, tidur. Besok pagi, temani emak belanja di pasar," ajak si emak.

Aku pun mengangguk, lalu menjawab, "baik, Mak, aku juga sudah lelah banget hari ini."

Bersambung ...

Diary KuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang