Semua siswa dan siswi di dalam kelas sudah mendapatkan pasangan untuk saling merias wajah. Namun, aku hanya menunggu satu model lagi yang masih dijemput dari luar.
Entah apa yang sedang direncanakan oleh Bu Ros, dalam hatiku merasa tidak enak sejak dia melangkahkan kakinya untuk ke luar. Sembari menyibak rasa suudzon, aku pun membolak-balikkan sebuah bedan tabur dan beberapa perlengkapan lainnya.
Sebagai seorang lelaki yang sangat tulen, aku tak tahu apa-apa saja nama dari bedak itu. Jangankan anak laki-laki, siswi wanita pun ada yang tak tahu jika yang ditanya adalah Maya.
Ya, siswi tomboy itu seperti tak pernah menyentuh bedak. Bahkan wajahnya pun selalu biasa saja dan natural. Kalau boleh jujur, aku sangat suka wanita yang begitu. Tidak menor, bukan berarti tak cantik.
Prinsip laki-laki berbeda-beda. Aku hanya mengikuti saran dari hati saja. Akan tetapi nyatanya, di kelas kami sangat banyak siswi yang menggunakan bedak sangat full tanpa ada permukaan wajah yang bersisa.
Tak berapa lama, sebuah sentuhan lembut pun mendarat sempurna di pundakku. Ruang kelas yang tadinya sangat ricuh, berubah menjadi sangat damai dan senyap.
"Andy," panggil seseorang, dari nada suaranya seperti Bu Ros.
Aku menoleh, menatap secara saksama perempuan berjilbab itu. Tebakan awal benar, kalau Bu Ros datang tidak sendirian, dia membawa seorang siswa dari kelas sebelah.
Namanya Arifin, lelaki setengah dewa yang tadi pagi mengajak aku berkenalan. Entah apa maunya Bu Ros, dia membawa siawa itu di hadapanku.
"Fin, kamu duduk di depan Andy. Kalian sekarang adalah satu tim untuk saling merias," celetuk Bu Ros.
"Alamak! Bu, enggak salah ini. Kok, Arifin yang jadi satu tim denganku!" protesku dengan nada suara ngegas.
"Andy, kalian itu sangat cocok. Ibu enggak mendapatkan wanita yang sesuai sama model kamu. Jadi, Arifin adalah orang yang tepat," sergah Bu Ros menengahi.
Seluruh teman-teman di dalam kelas menahan tawa. Mereka seperti mengulum senyum dan ingin meluapkan semuanya. Namun, hanya aku yang merasa overload bisa berhadapan dengan Arifin—lelaki setangah dewa produk tanah air.
"Baik anak-anak, sekarang kalian mulai berias. Ibu hitung dari sekarang. Dalam waktu 30 menit, semua harus sudah bagus!" seru Bu Ros.
Aku yang hanya bisa bergeming, kemudian menatap lawan bicara di hadapan. Namun, lelaki setengah dewa itu malah mengambil sebuah bedak sangat aneh dari dalam kotak.
"Hey, kau mau apa!" pekiku ngegas.
"Udah, kau diam aja di situ. Intinya, aku yang dandani kamu sampai ganteng," jawabnya.
"Ach, enggak. Mana ada sejarahnya laki-laki pakai bedak malah ganteng. Aku enggak mau, nanti dikira ngondek sama teman-teman."
"Kalau kau enggak mau, aku akan bilang sama Bu Ros. Gampang, kan?" Kali ini, Arifin pun mengancam.
"Oke-oke! Tapi awas, kalau aku kelihatan cantik, enggak selamat kau pulang nanti," ancamku balik.
"Emangnya, aku mau kamu apakan?" tanyanya.
"Aku telanjangi kau!" omelku sembari mendelikkan mata.
Sambil menahan tawa, cowok setengah dewa itu malah membuang cengir. Dia pun melentikkan jemarinya dan memegang spons sangat lembut. Tingkah Ari sudah sama dengan wanita. Bahkan, dia lebih lebut dalam menaburkan bedak.
Karena tak pernah memakai bedak, aku pun memejamkan mata. Takutnya, kalau bedak itu masuk ke dalam mata dan perih rasanya. Beberapa alat make-up pun telah dipakai oleh Ari. Mulai yang bentuknya seperti pensil, bahkan ada yang ditempelkan di mata.
"Ini yang kau tempelkan di mata apa namanya, Ri?" tanyaku penuh selidik.
"Itu namanya soflens. Untuk memperindah bola mata," jawabnya sangat kemayu.
"Tapi peruh banget mata aku. Kalau nanti dia enggak bisa diambil bagaimana?" tanyaku lagi.
"Udah ... kau tenang aja. Nanti aku yang bantu ambilkan," jawabnya lagi.
Beberapa menit setelah itu, Arifin mengambil sisir dan mengoleskan minyak rambut yang sangat wangi. Ya, kalau gaya seperti itu aku suka. Karena model rambutku memang seperti duri landak, menjulang ke atas.
Parfume yang tersedia pun disemprotkan, tepat di leher dan baju seragamku. Dengan meletakkan sebuah benda kental di pinggir tangan, Ari mengoleskannya di lenganku.
"Kok, kamu menuangkannya di pinggir telapak tangan, kalau nanti terjatuh bagaimana?" tanyaku penasaran.
"Andy, kalau mau pakai lotion, jangan disemprotkan di tengah telapak tangan. Harus di pinggir sini," jelasnya.
"Kenapa begitu? Kan, sama-sama mau dioleskan," sergahku.
Lawan bicara pun menarik napas panjang, lalu dia menjawab, "biar vitamin di dalam lotion enggak hilang."
Selepas berkata, sebuah teriakan terdengar dari depan kelas. "Oke, waktu sudah habis. Sekarang, silakan maju untuk model yang telah dirias."
Dengan sangat canggung, aku pun menatap cermin kecil berbentuk lingkaran di tangan Arifin. Sekilas, kalau aku terlihat tampan. Namun, tidak tahu bagaimana penilaian dari Bu Ros tentang ini.
Maya, aku, Nazmitha, Vera, Kiki, Ilham, Rudi, dan Jhon maju ke depan kelas. Kami menatap Bu Ros yang sedari tadi terkekeh-kekeh melihat penampilan kami.
Batinku mulai takut, karena sudah dirias oleh Ari tadi.
"Oke, ibu akan menilai kalian semua," katanya. "Untuk Maya, mendapat nilai 50. Untuk kamh Nazmitha, dapat 65 dari ibu. Oke, next, Vera dan Kiki dapat 70 dari ibu."
Tak berapa lama, Bu Ros pun mendekati kami. Model cowok yang dirias oleh sebagain besar wanita. Hanya aku saja yang dirias oleh lelaki jadi-jadian seperti Ari.
"Untuk Ilham, kamu tampan juga. Dapat nilai 78. Rudi dan Jhon, kalian juga lumayan, dapat nilai 80. Dan yang terakhir, Andy ... uch, kamu comel sangat. Dapat nilai 95 dari ibu,"
"Hore ... Arifin dan Andy memang serasi. Kalian pantas mendapatkan itu semua," sorak seluruh sahabat di dalam kelas.
Karena sangat malu, aku hanya diam seraya menatap sekilas ke wajah Ari. Lelaki tulang lunak itu seperti hendak menangis, entah apa yang dia lakukan sekarang. Tak berapa lama, bel istirahat pun berbunyi.
Kring ... kring ...!
"Oke, kalian boleh istirahat sekarang," ucap Bu Ros.
Aku pun berlari menuju ambang teras, diikuti sahabat-sahabat lainnya. Karena malu, aku langsung menuju kamar mandi dan mencuci wajah ini. Dari cermin berbentuk lingkaran di dinding, bedak pun sudah tak menempel lagi di kulit wajah.
Lamat-lamat, aku mendudukkan badan di depan teras ruang kelas. Sembari membaca buku, dan aku tak begitu peduli pada siapa pun yang simpang siur di hadapanku.
Tak berapa lama, kursi yang terbuat dari besi pun bergoyang. Pasalnya, seperti ada seseorang yang hadir saat ini. Kemudian, aku menoleh ke samping kanan.
"Eh, elu, Fin. Aku kira siapa," kataku.
"Andy, kau marah dengan aku?" tanyanya.
"Perihal?" Kali ini, aku yang bertanya singkat.
"Ya ... perihal tadi, ketika aku rias wajah kamu. Kan, satu kelas pada tertawa semua," pungkasnya.
"Biasa saja, kok. Enggak usah dibahas lagi, udah berlalu juga." Tanpa menoleh lawan bicara, aku tetap fokus menatap buku di telapak tangan.
Bersambung ...

KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Ku
Teen FictionMenceritakan kehidupan seorang guru, terinspirasi dari kisah nyata penulis menjadi pendidik hingga menuai berbagai konflik dalam hidup.