Malam ini adalah bersama kesunyian di dalam kamar, bermain gitar dan menyanyikan lagu-lagu nostalgia merupakan hobi terbesar dalam hidupku. Ketika masih duduk di Sekolah Dasar, para guru sering bertanya perihal cita-cita. Karena aku tidak punya cita-cita, membuat seluruh sahabat tertawa kekeh.
Mereka sudah tahu apa itu cita-cita. Ada yang berminat menjadi PNS, Guru, Polisi dan TNI. Sementara aku selalu memberikan jawaban sangat simpel, yaitu ingin menjadi penyanyi dan pencipta lagu. Sepanjang hari jika tidak ada tugas di rumah, aku selalu bernyanyi dan menulis lirik lagu.
Menghafal adalah kegemaranku, bahkan para guru di SMK menjuluki dengan star dalam menghafal. Pelajaran apa saja aku bisa hafal, akan tetapi kadang lupa jika memang tidak aku ingat ketika belajar. Semenjak duduk di bangku SMK aku lebih banyak diam, menyendiri, dan mempelajari berbagai buku-buku seperti novel dan kumpulan cerpen.
Hingga saat ini, aku memiliki koleksi novel yang ditulis oleh Maria Cecilia. Panutan anak remaja untuk membaca kisah percintaan romantis, rumit, dan tidak masuk akal. Dari buku itu banyak pelajaran yang dapat aku petik, salah satunya adalah—bagaimana dalam memberikan kata-kata indah.
Akan tetapi sampai saat ini, aku belum pernah memberikan kata-kata indah untuk cewek. Karena memang aku tidak berani mengatakannya. Ketika duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, aku pernah ditembak cewek karena terlalu lama dalam memberikan keputusan. Namun, diri ini menganggapnya hanya sekadar basa-basi.
Percuma juga menjalani cinta di masa putih dan biru, karena pemikiran masih senang untuk gonta-ganti apabila melihat cewek cantik. Tetapi tidak denganku, dari dulu aku hanya punya satu cewek. Namanya Kiki Oktavia, walaupun sedikit tomboy, tetapi dia cantik juga.
Sempat aku tulis nama dia di bagian bawah seragam sekolahku, agar selalu ingat ketika melihat cewek lain. Saking sayangnya, sampai dia pergi dan pindah sekolah aku tetap menunggu. Perasaan cinta itu tumbuh ketika kami ikut kegiatan PMR, berseragam serba putih sudah seperti dokter rumah sakit.
Waktu itu kami berbaris rapi di bagian belakang sahabat, membentuk panjang dan seperti bodyguard. Lambat-lambat, ternyata organisasi tidak menyenangkan. Bukan karena gairah itu hilang dan ingin ikut volly, tetapi karena Kiki pindah sekolah.
Saking lamanya kami berpacaran, teman-teman sering memanggil aku dengan sebutan Kiki. Padahal aku berjenis kelamin laki-laki dan tidak pantas mendapat panggilan seperti itu. Sejak SMP, aku sering ikut lomba dance dan suka dengan BTS artis K-POP.
Namun, seiring berjalannya waktu, aku sangat gemar dengan lagu-lagu dari Barat. Tidak berapa lama bermain gitar, suara ketukan terdengar lagi dari luar kamar. Kali ini sedikit keras, dan bukanlah si emak.
"Masuk ...," teriakku.
Karena pintu tidak dikunci, membawa sepupu hadir lagi di sana. Aku menatap mantap ke arahnya, lalu berpaling dan fokus pada gitar. Laki-laki berparas tampan itu kembali mendudukan badan di lantai, beda lokasi dengan tadi. Tanpa jemu dia menatap senar yang bergerak ke sana dan ke mari, mengikuti cord dan kunci ketetapan pemilik lagu.
"Kau sangat pintar main gitar," ucap sepupu.
"Nama kau siapa, sih, bawel banget dari tadi!" pekikku ngegas.
"Namaku adalah Teddy Junio Fernando. Panggil aja Teddy, tetapi jangan Teddy Bear." Selepas berkata, dia membuang cengir.
"Ada tujuan apa kau ke rumahku? Kan, kata emak kalau rumahmu sangat besar dan mewah," pungkasku sekenanya.
Mendengar ucapan itu, lawan bicara membungkam dan membuang tatapan menuju meja belajarku. Lalu dia beringsut pergi seraya mendudukan badan di atas kursi. Menggunakan kedua tangan, Teddy mengambil novel karya Maria Cecilia.
"Kau senang membaca novel?" tanyanya lagi.
"Iya, aku sangat senang. Emang kenapa?"
"Sama kalau begitu, aku juga membaca novel karya Maria. Kamu sekarang kelas berapa?" tanyanya bertubi-tubi.
"Aku kelas satu SMK. Emang kenapa?"
"Enggak, aku ingin pindah sekolah dengamu. Namun, sepertinya orangtuaku enggak mendukung," jawabnya lagi.
Kemudian lawan bicara memutar badan, dia menadahkan tatapan dan membuka novel di atas meja. Tanpa memedulikan sama sekali, aku pun kembali menulis lirik lagu dan memetik senar gitar. Setelah beberapa menit membungkam, terdengar isak seperti tangisan seseorang.
Saking penasarannya, aku menatap kanan dan kiri serta atas dan bawah. Emak memang pernah menangis seperti itu, akan tetapi malam hari. Sementara saat ini masih magrib, sudah terdengar desas desus seperti ingin menyuarakan sebuah curhat pengaduhan.
Aku pun mencoba meletakan gitar di atas dipan seraya berjalan menuju meja belajar, lalu aku bergeming dan menatap mantap Teddy di sana. Menggunakan tangan kanan, kusentuh pundaknya perlahan.
"Ted, kau menangis?" tanyaku sekenanya.
Lawan bicara menyibak air matanya, lalu dia menatapku dengan sangat melas. "Aku enggak menangis, kok."
Karena mata si sepupu sudah memerah, aku pun menyentuh pundak lawan bicara dan menarik tangannya untuk memutar badan. Tepat di posisi samping badannya, aku menoleh seraya menelan ludah beberapa kali.
"Ted, apakah kau menangis?" tanyaku lagi.
"Aku enggak tahu dengan kehidupan ini selanjutnya."
Mendengar ucapan itu aku menggeser posisi menjadi lebih dekat, kedua alisku pun mengernyit bersamaan. Untuk sekadar bertanya apa masalahnya, mulut terasa sangat sulit dan membungkam saja.
"Kau baik-baik saja, Ted? Kalau ada masalah, kau bisa cerita sama aku," paparku menjelaskan.
"Sebenarnya aku enggak mau membagikan kisah hidup ini pada siapa pun, karena semua adalah AIB dikeluargaku."
Perasaan bersalah bercampur aduk dalam jiwaku, karena sejak kehadirannya di rumah sudah mendapatkan perlakukan yang tidak enak dariku. Karena azan salat magrib telah tiba, aku kembali menyentuh pundak sepupu sangat lembut.
"Ted, yuk, kita salat magrib dulu. Setelah itu makan malam," ajakku dengan nada suara mengayun.
Lawan bicara tidak menjawab, dia mengangguk dan berdiri di samping kiri. Kami pun bergegas menuju kamar mandi dan mengambil air wudu bergantian. Setibanya di ruang salat, aku menjadi imam di depan. Tiga rakaat adalah kewajiban umat muslim di waktu magrib. Si sepupu pun mengikuti hingga selesai.
Sehabis salat, kami bersalaman dan berdoa. Selang beberapa menit, aku membangkitkan badan seraya menyentuh pundak sepupu sangat lembut.
"Ted, yuk, kita makan malam," ajakku.
"Ya, kau duluan saja, aku akan menyusul." Setelah menjawab, Teddy melipat sajadah dan memasuki kamarnya.
Lalu aku bergegas menuju meja makan, ayah dan emak telah menunggu di sana seraya memakan nasi lebih dulu. Tibanya aku membuat sang ayah celingukan, dia pun menoleh sesaat.
"Ke mana Teddy, Le?" tanyanya.
"Dia tadi permisi ke kamar, katanya mau mengambil sesuatu."
Ayah dan emak pun terlihat saling tukar tatap, mereka kembali makan dan menunggu sepupu datang. Berjarak beberapa menit setelahnya, Teddy datang dan mendudukan badan di sampingku. Sekilas laki-laki berusia sama dengan aku itu menoleh, sebelum akhirnya mengambil piring.
"Kalau makan yang banyak, Le, anggap aja rumah sendiri," ucap ayahku mempersilakan.
"Iya, Wak, aku akan makan banyak." Selepas menjawab, Teddy memakan nasi dan sayur saja, dia tidak mengambil ikan sungai di atas piring.
"Itu ada ikan, kenapa enggak kau ambil?" tanyaku.
"Aku enggak makan ikan sungai, Bang. Karena tidak suka," jawabnya.
Tepat di kursi, aku menatap Siti yang sedang meneguk air putih.
"Sama saja kau dengan Siti, kalau ada ikan sungai bukan dimakan malah dimusuhi. Bagaimana bisa pintar kalau tidak makan ikan, enggak bergizi."
"Sudahlah ... Le, mereka memang tidak suka. Kalau dipaksa bisa muntah," sambar si emak sekenanya.
Bersambung ...

KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Ku
Ficção AdolescenteMenceritakan kehidupan seorang guru, terinspirasi dari kisah nyata penulis menjadi pendidik hingga menuai berbagai konflik dalam hidup.