Setelah bel pulang berbunyi, aku bergegas memasukkan segala peralatan belajar ke dalam tas. Kali ini, seluruh siswa dan siswi telah menghambur ke luar ruangan. Karena tinggal beberapa siswa dan siswi di sini, aku pun bergegas lebih cepat dan ingin meninggalkan ruangan.
Tepat di ujung tenpat duduk, Andy dan Ilham masih bergegas juga. Kedua laki-laki yang menjadi incaran cewek-cewek di sekolah ini. Mereka adalah tempat di mana mata wanita terpusat kalau sedang melintas. Selain tampan, keduanya sangat terkenal dengan sikap lembutnya.
Tanpa basa-basi, aku pun berlari dan melintasi keduanya di posisi saling berbincang. Dalam posisi bergeming, aku menoleh.
"Hai, kalian enggak pulang?" tanyaku dengan nada suara sangat netral.
"Eh, ada cewek. Eng-enggak, nih, May, kami masih ngobrol dulu di sini," jawab Ilham. "Oh, ya, kalau kau mau gabung, silakan duduk."
"Hey, kenapa kau malah nawarin. Kan, kita mau bahas tentang—" Terdengar samar, kalau Andy tak terima jika aku bergabung pada mereka.
Karena kehadiran diri ini tak mendapat restu, aku mencoba untuk pergi saja dari hadapan mereka semua. Namun, tepat dua langkah menuju depan, Tini malah menarik lenganku.
"May, kau mau ke mana?" tanyanya.
"Aku mau pulang, Tin," jawabku sekenanya.
"Buru-buru banget kamu. Udah, deh, kita bincang-bincang dulu di sini. Sekalian, mau ada yang aku tanya sama kamu."
Karena Tini sudah mengajak, aku pun duduk di sampingnya dengan mengambil bangku kosong. Kami berempat telah berada dalam satu ruang lingkup pembicaraan. Secara saksama, aku memerhatikan mereka bertiga satu persatu.
Wajah-wajah yang dulu pernah baik padaku sebelum akhirnya berubah semenjak aku menyatakan cinta pada Andy. Sejak saat itu, dia berubah 100% seperti tak mau kenal lagi. Padahal, selama ini aku sudaj mencoba menahan semua perasaan itu dalam-dalam.
Akhirnya, karena tak sanggup untuk memendam lagi, terucap juga kalau aku suka padanya. Kendatipun itu salah, setidaknya aku sudah beranu jujur pada perasaan ini.
"May, katanya kalian mau ngadakan acara kemah di tengah hutan? Kenapa enggak ngajak-ngajak?" tanya Tini Sulastri.
"Ak-aku ... aku enggak tahu soal itu, Tin. Kan, aku cuma diajak sama Yuni dan Mita. Sepertinya akan di adakan selepas bagi raport," jawabku sekenanya.
"Aku boleh ikut, May? Mana tahu, Ilham dan Andy juga bisa ikut. Kan, mereka bisa main gitar, pasti tambah seru seperti hari ulang tahun Risma," ujar Tini.
"Kalau aku, sih, mau-mau aja. Entar aku bicarain lagi sama Yuni dan Mita. Oh, ya, kamu mau ikut rmangnya, Ndy?" Kali ini, aku yang bertanya.
"Aku ikut aja, May, kalau ada sahabat yang baik ini, aku tak akan menolak ke mana pun," jawab Andy.
Perasaanku berubah menjadi senang. Pasalnya, laki-laki yang sempat membuat diri ini sangat penasaran dan mendiamkan aku, sekarang sudah mau berkata-kata. Wajah semringah terpahat hari ini, lalu aku menoleh kotak yang terbuat dari plastik di samping Andy.
Kotak itu berisikan gorengan yang aku berikan tadi, ternyata telah habis tanpa sisa. Perasaanku bertambah kali lipat senangnya, karena mampu membuat mereka suka akan buatanku itu.
"Andy, katanya saudara kamu lagi kecelakaan, ya, di Sipaku?" tanyaku memotong pembicaraan mereka.
"Apa! Kecelakaan, apakah itu benar, Ndy?" tanya Tini terkejut.
Sebelum menjawab, aku hanya mengangguk saja. "Iya, ponakan aku lagi kecelakaan. Kau tahu dari mana, May?"
"Aku dengar dari tetangga, katanya dia melihat kejadian. Oh, ya, sekarang di mana keponakan kamu di rawat?" tanyaku lagi.
"Di Medan, May. Sekalian, aku mau minta doa kalian agar dia baik-baik aja dan bisa sehat lagi. Jujur aja, sejak kejadian itu aku merasa sangat sedih banget."
Ilham pun mengelus pundak sahabatnya perlahan. "Sabar ... kami pasti akan mendoakan yang terbaik untuk ponakan kamu. Okelah, sekarang kita pulang aja, yuk, udah sore dan sepertinya mau turun hujan."
"Hmmm ... kau benar, Ham. Mana besok ujian terakhir lagi, aku gak sabar mau menerima raport," sambar Tini sekenanya.
Kami pun bersama-sama meninggalkan ruang kelas dan berjalan berempat menuruni anak tangga lantai dua. Di tengah perjalanan, Tumpal—lelaki dari sekolah menenagah atas menghampiri kami dan dia bergeming di hadapan Maya.
"Hai, apakah aku boleh gabung?" tanyanya.
Tanpa menjawab, aku menoleh ke samping kanan. Andy, Ilham, dan Tini berjalan meninggalkan. Mereka tidak mau ikut campur dalam pertemuan ini. Karena aku sudah berjanji akan menemui Tumpal saat pulang sekolah, kami pun mendudukkan badan di depan teras.
"May, kau enggak pulang bareng yang lain?" tanyanya padaku.
"Ah, eng-enggak, Pal. Aku udah janji sama kamu untuk menemuimu," jawabku sekenanya.
"Kalau kau mau pulang bareng mereka, silakan aja. Aku gak mau maksa kamu, May," kata Tumpal.
"Kalau begitu, aku pulang duluan, Pal. Sampai bertemu besok," jawabku.
Seraya berlari meninggalkan cowok itu, aku pun hendak mengejak ketiga orang yang tadinya berjalan bersamaku. Namun, setibanya diri ini di parkiran, mereka telah pulang bersama-sama menaiki motor.
Dengan sangat laju, aku sampai tak mampu mengejar mereka. Tiba-tiba, dari samping kanan seseorang melirik tajam. Aku pun memutar wajah, menatap siapa gerangan yang memandang dari kejauhan itu.
"Eh, Cong, kenapa kau masih di sini?" tanyaku pada Arifin.
"Enak aja cang-cong, cang-cong. Aku enggak bencong tau, tapi—"
"He-he-he maaf, aku cuma bercanda." Setelah berkata, aku pun duduk di sampingnya.
"Kau ngapain termenung di situ? Pasti mau mengejar si Andy sama Ilham, kan?" tebaknya.
"Hmmm ... kau kenapa bisa tahu? Anak dukun, ya?" tanyaku bertubi-tubi.
"Aku bisa tahu, karena matamu tidak bisa berbohong. May, aku kenapa bisa cinta mati sama Andy, sih. Kan, dia itu udah menyakiti hatimu setiap hari?"
"Bagaimana, ya, Fin, aku enggak tahu kenapa, kalau melihat dia berada nyaman aja. Tapi, dia enggak peka dan selalu saja menghindar."
"May, dia bukan menghindar, tapi dia sering melihat kamu berduaan sama Tumpal. Aku rasa, dia cemburu gitu kalau kau dekat dengan laki-laki lain."
'Apakah yang dibilang Arifin itu benar? Kalau memang benar, kenapa Andy tak pernah ngomong langsung sama aku kalau cemburu. Kan, mulai saat ini, aku bisa jaga jarak sama siapa pun.'
Selepas bersenandika dalam hati, aku menarik napas panjang. Untuk menafsirkan cinta dan perasaan tak terbalas, rasanya sangat mengundang air mata. Namun, sampai saat ini aku tak menyerah, karena bukan Maya kalau akhirnya kalah begitu saja.
"Fin, kau mau ikut enggak acara kemah nanti?" tanyaku.
"Kemah di mana, May?" tanyanya balik.
"Kami mau adain di hutan, si Andy dan Ilham pun ikut."
"Maulah, May, kalau orang itu berdua ikut. Aku bisa dekat-dekat sama mereka kalau begitu," jawab Arifin semringah.
Bersambung ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Ku
Novela JuvenilMenceritakan kehidupan seorang guru, terinspirasi dari kisah nyata penulis menjadi pendidik hingga menuai berbagai konflik dalam hidup.