Selepas makan malam, aku termenung di depan rumah bersama dengan gitar kesayangan. Seperti biasanya, karena sudah tidak ada tugas sekolah, aku dapat bermain dan bernyanyi dengan pikiran yang telah melayang entah ke mana.
Perasaan dilema menjadi satu dengan sebuah kenyataan pahit perihal cinta. Memang hati ini telah berjanji untuk tidak akan mengenal apa itu cinta lagi. Namun, rasanya naif jika manusia normal tidak memiliki perasaan pada pasangannya. Beribu cara untuk membunuh, akan tetapi rasa yang dulu ada masih menghantui.
Apalagi di sekolah sekarang sudah ada mantan pertama ketika SMP, dia sesekali melintasi kelasku dan menatap diri ini yang tengah duduk bersama siswi lain di teras. Entah dia salah alamat, atau sekadar memantau hanya dialah yang paham akan hal itu. Rasanya otakku tidak bisa menafsirkan semuanya terlalu jauh.
Dengan memetik senar gitar, aku pun beruara dengan perlahan dan penuh penghatan.
Malam ini ku—sendiri
Tak ada yang menemani
Seperti malam, malam
Yang sudah, sudahHati ini selalu sepi
Tak ada yang menghiasi
Seperti cinta ini
Yang selalu pupusTuhan, kirimkanlah aku
Kekasih yang baik hati
Yang mencintai aku
Apa adanyaMawar ini semakin layu
Tak ada yang memiliki
Seperti aku ini
Semakin pupusTuhan, kirimkanlah aku
Kekasih yang baik hati
Yang mencintai aku
Apa adanyaTuhan, kirimkanlah aku
Kekasih yang baik hati
Yang mencintai aku
Apa adanyaTuhan, kirimkanlah aku
Kekasih yang baik hati
Yang mencintai aku
Apa adanyaTuhan, kirimkanlah aku
Kekasih yang baik hati
Yang mencintai aku
Apa adanyaSelepas bernyanyi, aku pun membungkam sesaat. Meresapi bait demi bait lagu dan kedua netra berkaca-kaca dengan sendirinya. Di rumah aku adalah termasuk anak yang tertutup, menyembunyikan semua masalah perihal apa pun termasuk soal hati. Namun, malam ini rasanya ingin memanggil ribuan bidadari untuk menemani.
Aku adalah laki-laki tegar, tetapi tampak dari depan saja. Sejujurnya aku adalah manusia lemah dibagian hati. Tepat malam yang sangat kelabu, bintang-bintang bertabur indah bersama bulan sabit seakan tersenyum manja padaku.
Hewan-hewan kecil berbicara perihal kegalauan ini, meraka menggosip di balik daun, bahkan ada yang sengaja berkumpul dan membuka forum tepat di sebuah rerumputan. Karena merasa dipecundangi oleh waktu, aku berdiam diri seraya memetik lagi senar gitar sangat lambat seperti alunan akustik.
Sebuah bayangan hitam pun seperti melintas, dari belakang dan hendak menghampiri. Namun, aku merasa saat ini hanya sendirian, tidak ada siapa pun yang menemani. Karena bayangan itu tak kunjung pergi, batin berkata kalau ada orang di belakang badanku.
Secara saksama, aku memutar kepala dan menatap sejurus ke ambang pintu ruang tamu. Ternyata dugaan awal benar, kalau di sana sudah ada Teddy yang memantau. Dia pun membuang cengir dan berjalan ke samping, sepertinya ingin bergabung.
Karena sejak pagi tadi aku sudah kasar padanya, kubiarkan dia bersamaku menikmati malam yang kelabu ini.
"Apakah aku boleh duduk di sini?" tanyanya.
Seketika aku mengangguk dua kali. "Silakan saja, asal jangan bawel dan banyak tanya."
Bersama senyum simpul, Teddy pun mendudukan badan. Aku seketika menggeser posisi agar dia tidak terlalu menjorok ke tepian tempat duduk. Kemudian kami menatap bintang yang hanya sedikit, kurang lebih sepuluh.
Keindahan alam itu tampak malu-malu dan menyembunyikan senyum selepas hujan, yang harusnya datang pelangi malah tertutup awan hitam.
"Suaramu bagus sekali tadi, aku suka." Tanpa menoleh, Teddy pun menatap langit hitam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Ku
Teen FictionMenceritakan kehidupan seorang guru, terinspirasi dari kisah nyata penulis menjadi pendidik hingga menuai berbagai konflik dalam hidup.