"Hallo ... Guys ... serius banget, lagi bahas apa hari ini?" Tini Sulastri pun datang menghampiri.
Karena penyusup telah datang tanpa diundang, kami membungkam dan tidak melanjutkan perbincangan. Memang Tini adalah siswi yang sangat hamble dan tidak kepo, akan tetapi kami sudah berjanji dari awal kalau pembahasan sangat privasi khusus untuk kami bertiga saja.
"Kok, kalian mendadak bungkam ketika aku datang? Kenapa?" tanya Tini bertubi-tubi.
"Kami lagi bahas hantu yang ada di sekolah, Tin," sambarku sekenanya.
"Ah, masak, sih, di sekolah kita ada hantu?" kata Tini sangat penasaran.
Kemudian, wanita bermata bulat itu menoleh ke belakang badan. Tepat di tepian trotoar, Risma dan Rahma pun datang tanpa diundang. Hari ini sangat kebetulan, atau sekadar memang mereka mengekor dari belakang.
"Tini ... Andy ... Maya ...!" teriak Risma sembari mengambil cermin dari kantong bajunya.
"Datang lagi nenek sihir, pasti bakal jobu percakapan kita." Dari samping kanan, Maya berujar.
Risma dan Rahma pun datang seraya mendudukan badan di samping kami, seketika dia memainkan ponselnya dan menatap sangat serius. Kemudian Tini menoleh ke samping sang sahabat, lalu dia merebut ponsel tersebut.
"Risma, kau tahu enggak apa yang mereka bahas tadi?" kata Tini meyakinkan Risma.
Risma pun meletakan ponsel itu di atas meja, dia menatap serius menuju kami yang membentuk formasi lingkaran. "Emang ada apa, Tin? Tentang cowok ganteng?"
Menggunakan tangan kanan, Tini memukul kening sang sahabat yang sempat membuat overload dalam membahas laki-laki.
"Bukan itu yang kami bahas, tetapi mereka bilang di sekolah ada hantu. Aku enggak yakin, tetapi mereka sangat serius," ujar Tini meyakinkan.
"Kalau itu aku udah tahu lama, Tin. Biar tau aja kau, ya, sebulan lalu pun aku melihat hal aneh di kamar mandi," celetuk Risma.
"Nah, aku juga bertemu di kamar mandi. Kayak ada bayangan hitam gitukan, Ris?" tanyaku menyambar pembahasan.
Dengan jemari sebelah kanan, Risma menunjukku. "Benar, kau tidak salah Andy. Kalau aku waktu itu sama Rahma, tetapi dia enggak melihat. Mungkin hanya aku yang bisa menerawang."
"Eh, Risma, yang kau lihat itu bayangan kucing. Mana ada hantu muncul siang bolong," omel Rahma di bangkunya.
"Kepala kau itu bayangan kucing. Wey, dia ini memang penakut. Kalau memang bayangan kucing kenapa enggak kau datangi waktu itu!?" seru Risma lagi.
"A-aku bukan enggak berani—" Rahma pun menggantung ucapannya.
"Enggak berani tetapi takut, sama aja keles," sambar Tini sekenanya.
Kami pun tertawa terkekeh-kekeh mendengar ucapan Tini. Siswi bermata bulat itu memang penuh humor, akan tetapi belakangan hari dia sangat susah untuk dijumpai, sudah seperti direktur perusahaan yang selalu hilang timbul ketika berada di sekolah.
"Kalian sudah pesan jus, Guys?" tanya Risma.
"Sudah, kau bandar hari ini, Ris." Aku mencetuskan apa yang sepintas terpikir.
"Tenang aja kalian, pasti akan aku bayarin. Anak orang kaya ...," jawab Risma sangat pongah.
Kami pun menelan ludah seraya bertukar tatap. Siswi berwajah glowing itu memang sedikit sombong kalau berbicara, akan tetapi itu menurut orang yang tidak mengenalinya. Kalau bagi kami, dia adalah anak baik hati dan suka membayarkan makanan sang sahabat.
Apalagi sifat jahil dan ramahnya, dia sangat terkenal seantero SMK. Solidaritas persahabatan kami terjalin sangat erat, hingga tidak ada jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Semua sama saja bagi kami, karena sekolah adalah tempat menimbah ilmu, bukan untuk pamer kekayaan.
Seketika pesanan jus datang, kami meneguk dengan perlahan dan menyisahkan bagian yang ada di dalam cangkir plastik. Karena pembahasan kali ini sudah tidak ada, kami pun memainkan ponsel sembari menatap layar akun social media masing-masing.
"Ris, malam ini kau ke mana?" tanya Tini.
"Aku kayanya ada acara, tetapi enggak jelas manusia-manusia di grup BBM-ku."
"Kau enggak jalan sama jantanmu? Lagian ... malam Kamis adalah waktu yang sangat romantis untuk memadu kasih, apalagi buat dedek bayi," ujar Tini sekenanya.
"Ha-ha-ha ... mulutmu rusak banget," celetuk Risma.
Kami kembali terkekeh-kekeh mendengar ucapan natural dari Tini Sulastri. Yang tadinya Maya sedang bersedih, kemudian menekan perut karena sangat lucu semenjak kehadiran sang sahabat. Aku pun hampir meneteskan air mata, tawa mewarnai percakapan kali ini.
"Kalian tahu enggak, kalau mau buat bayi jangan di pasir-pasir." Rahma pun angkat bicara.
"Lah, kenapa emangnya di pasir-pasir? Jantan kau enggak ada modal bayar hotel?" tanya Tini, lalu wanita bermata bulat itu menaikkan pundak.
"Kalau di pasir-pasir akan sakit. Ha-ha-ha ...." Rahma terkekeh sendiri, akan tetapi kami tidak meresponsnya.
Pembahasan yang dibawa oleh Rahma sangat garing, dia ingin melawak tetapi sangat jauh topiknya. Dalam hati kami pun berkata, kalau Rahma sudah pernah merasakan buat bayi di atas pasir, karena dia sangat paham rasanya bagaimana.
"Kau sudah pernah buat dedek bayi di atas pasir, Mah?" tanya Tini penasaran.
"Eng-enggak. Aku belum pernah," jawab Rahma terbata-bata.
"Kalau belum pernah, kenapa kau tahu rasanya seperti apa. Benar enggak, Guys?" tanya Risma menyambar.
"Aku cuma bercanda aja kali, lagian jantan aku gak mungkinlah melakukan itu."
"Halah ... ngeles aja kau ini, awas aja kalau satu bulan lagi kau mengandung." Risma pun kembali terkekeh.
"Mengandung apa, Ris?" tanyaku menyambar.
"Mengandung bayi prematur," lanjut Risma.
Kami pun kembali tertawa sangat keras. Air mata keluar dari kedua netra kami. Sungguh pembahasan kali ini tidak mencerminkan anak sekolah, akan tetapi kalau sudah bertemu dengan Risma dan Tini, topik pembahasan adalah seperti itu.
Seketika Rahma mati kutu, dia hanya membungkam dan tidak mau bersuara. Sementara kami masih terkekeh tanpa henti. Dari tepian koridor, seorang siswa datang dengan memarkirkan motornya.
Dari simbol di dada dan lengannya, dia adalah siswa lain dari sekolah sebelah. Karena wajahnya sangat tampan, Risma pun mendadak bungkam seraya mengambil cermin di dalam kantong bajunya.
"Ada jantan, Guys. Sepertinya dari sekolah sebelah," kata Risma.
"Iya, ganteng banget," sambar Tini sekenanya.
"Ganjen banget jadi orang," sambung Maya dari samping.
Seketika siswa itu melepas masker yang dia pakai, karena kami sedari tadi menatap ke arahnya, siswa itu seperti tengah memahami gelagat kami. Kemudian dia menoleh dan memperlihatkan wajahnya sangat penuh.
Kami pun mendapati hal tidak lazim, siswa itu tersenyum lebar seraya memperlihatkan giginya yang telah tidak ada di bagian atas. Kemudian kami salah fokus dan saling tatap. Karena takut untuk tertawa, aku dan Tini pun menekan perut dan ingin berteriak menggunakan toa.
Risma yang kala itu menatap pun memutar badan, dia membuang pandangan perlahan seraya membentuk formasi bodyguard.
"Ini cowok kenapa giginya habis, ya?" tanya Risma.
"Kemungkinan dia kena penyakit, makanya giginya hilang." Rahma kembali bersuara.
"Kalau mendengar ucapan Rahma, aku mendadak pusing. Enggak ngerti sama sekali," cetus Risma.
"Ya, udah, kita pulang aja kalau gitu. Ngapain di sini lama-lama," ajak Tini.
"Tunggu sebentar lagi, karena Nazmitha mau datang." Risma menahan kami untuk pulang, padahal sudah hampir satu jam mendudukan badan di warung jus.
Risma pun kembali mengambil ponselnya, dia seperti tengah menatap akun social media dengan tertawa kekeh tanpa henti. Siswi bermata biru dengan tambahan kontak lens itu selalu membuka jilbab ketika pulang sekolah. Dia merasa paling cantik di antara siswi lainnya seantero kota Kisaran.
Bersambung ...

KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Ku
Novela JuvenilMenceritakan kehidupan seorang guru, terinspirasi dari kisah nyata penulis menjadi pendidik hingga menuai berbagai konflik dalam hidup.