Di sepanjang perjalanan menuju rumah, aku dan sang adik tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Suasana sunyi beserta udara dingin menyergap badan, merayap dan memasuki lubang pori-pori kami. Sementara sang adik telah menginjak gas motor lumayan laju, karena kami akan melintasi jalan berkebun sawit di samping SMA negeri satu.
Sembari celingukan tenpa henti, aku pun menatap pohon mangga dan jambu air yang telah bergoyang terkena angin malam. Namun, menurut mitos orang-orang di kampung, kalau pohon itu berhantu. Akan tetapi aku tidak takut, kemungkinan kalau disuruh berjalan sendirian dari sana aku akan takut.
Tetapi aku kuat iman, mana ada hantu yang akan mendekat. Apalagi kalau hanya sekadar pocong dan kuntilanak, mereka keluar di saat tengah malam. Mungkin aku akan uji nyali dulu beberapa malam, agar para hantu kenal dan tidak muncul lagi di hadapanku.
Suara ngaungan anjing pun terdengar, memecah keheningan malam. Tibalah kami di sekolah menengah pertama, terletak di sudut desa dan ada pohon asam Jawa berukuran sangat besar menjulang. Pohon itu pun sangat berhantu, orang-orang pernah menjumpai sesosok mengerikan di sana tengah melambai.
Akan tetapi aku tidak takut, jika ada yang memaksa untuk tidur sendirian dari malam hari, mungkin aku akan takut. Di rumah pasti sudah ada ayah yang menunggu, mereka sangat takut kalau anaknya pulang larut malam. Ya, seperti biasa, ayah selalu membawa batang sapu di ambang pintu.
Paling kalau tidak batang sapu, dia menyediakan ikat pinggang milikku ketika duduk di bangku sekolah dasar. Ayah tidak pernah pakai ikat pinggang, karena tidak tahu cara pasangnya. Dengan menaiki motor kesayangan emak, kami pun melintasi jalan pedesaan akan tetapi sudah aspal semua.
Tibalah kami berdua di depan halaman rumah. Namun, pintu telah tertutup rapat dengan lampu telah padam di teras. Karena sangat takut untuk masuk, kami celingukan tanpa henti sepanjang jalan menuju jendela kamar.
Aku dan Siti ingin memastikan kalau ayah dan emak telah tidur, sehingga mereka tak mendengar ketika kami membuka pintu kamar. Dengan langkah laju, kami pun sampai di samping kamar milik ayah. Menggunakan kursi plastik yang telah rusak, aku menaikinya dan memantau dari jendela.
Suara di runangan tidak terdengar sama sekali, membuat kami bebas untuk masuk ke dalam rumah. Ayah adalah laki-laki yang kalau bicara suka membuat kesal, akan tetapi kami sayang padanya. Karena dia adalah laki-laki paling tampan di dunia ini.
"Bang, bagimana keadaan di dalam sana?" tanya Siti penasaran.
Aku menganggukkan kepala dua kali. "Aman, kita bisa masuk sekarang juga."
"Ah, yang benar kau! Nanti kalau ayah bangun lagi bagaimana?" tanya Siti lagi.
"Sudahlah, paling kita kena ceramah seperti khotbah salat jumat." Selepas berkata, aku menapak dan memasuki teras lebih dulu.
Dari belakang badan, sang adik menuntun motor dengan tapakan sangat gontai. Kemudian aku membuka pintu perlahan, seraya memantau dan celingukan. Ternyata ruang tamu telah gelap, listrik sengaja dimatikan agar tidak ada hewan laron yang berterbangan.
Kemudian kutoleh menuju belakang badan, tepat di mana sang adik sedang menyaksikan aku berjalan. "Oke, yuk, masuk."
Menggunakan tangan kanan, aku melambai sudah sama dengan adegan film eksen di film bioskop. Kami pun memasuki rumah bersama-sama, lalu aku menutup pintu dan menguncinya sangat rapat.
"Aman ... pasti ayah sudah tidur," ujar Siti sekenanya.
"Iya, aku pikir juga seperti itu," jawabku seraya mengelus dada.
Tepat di atas lantai keramik, kami pun bergegas memasuki ruang tengah dan ingin menuju kamar mandi untuk membasuh kaki. Setibanya di ambang pintu, suara seperti televisi masih menyala.
"Dari mana saja kalian, kenapa baru pulang sekarang?" tanya sang ayah sekenanya.
Melihat laki-laki bersarung di depan televisi, kami pun membuang cengir seraya menatap takut. "Eh, Ayah. Kenapa belum tidur, Yah? Udah malam sekali."
Aku basa-basi dan mengalihkan topik pembicaraan, kemudian sang ayah mematikan televisi seraya menatap kami sangat tajam.
"Kalian telah telat beberapa menit, apakah kalian tahu sekarang jam berapa." Ayah pun menunjuk ke dinding, di sana sudah ada jam yang menunjukan waktu.
"Kami hanya telat sepuluh menit saja, Yah ...," rengekku melas.
Tiba-tiba, sang ibu muncul dari dalam kamar. Wanita berbandana merah itu pun mendekat ke tubuh kami yang telah gemetar sangat hebat. Saking takutnya, aku dan Siti hanya menahan pipis seraya membungkam.
"Kalian ngapain masih di sini, Nak?" tanya emak.
"Kami telat sepuluh menit pulang dari Simpang, tetapi kami ngerjain tugas. Ini dia," jelasku, kemudian aku menyodorkan tugas itu pada emak.
"Sudahlah, kalian cepat cuci kaki dan bergegas tidur. Besok kalian harus bangun pagi dan sekolah," sambar emak.
"Benar, Mak?" tanyaku memastikan.
Tanpa menjawab, si emak pun mengangguk dua kali. Kemudian kami berdua berjalan menuju kamar mandi dan membasuh kedua kaki. Secara bergantian, aku pun menatap sang adik di samping kanan. Anak terakhir dari pasangan suami istri ayah dan emak adalah orang paling takut jika kena marah sang ayah.
Apalagi ketika dia duduk di bangku sekolah dasar, sering kena pukul senter besi oleh ayah ketika tidak bisa mengerjakan soal Matematika. Akan tetapi tidak dengan aku, selalu mendapat pujian karena sangat pintar perihal belajar.
Sejak dari situ aku tidak pernah membiarkan sang adik untuk belajar bersama ayah. Terkadang aku selalu menjadi mafia kunci jawaban untuknya, dan adik dengan mudah menyalin tugas-tugas dari buku catatanku saja.
"Bang," panggil sang adik singkat.
"Iya, Dek. Kenapa?" tanyaku.
"Kenapa, ya, Ayah kalau ngomong sama kita selalu nyolot. Apakah karena kita bukan anak kandungnya?" Siti bertanya hal yang belum pernah kudengar sebelumnya.
Karana pertanyaan itu, aku menelan ludah seraya menatapnya mantap. Bersama balasan kedua netra yang hampir berkaca-kaca, Siti pun membungkam dan menaikkan netranya.
"Dek, dia adalah ayah kita. Apa pun yang dia katakan, itu hanya membuat hidup ini lebih baik ke depannya," jelasku memberikan nasihat.
"Tapi, Bang, sikap ayah sudah keterlaluan. Aku rasanya sangat bosan tinggal di rumah," papar sang adik lagi.
Karena merasa sangat kasihan, aku memeluk sang adik yang tak pernah sakit hati seperti itu. Entah angin apa yang membuatnya menjadi sangat peminim, karena sejak lahir dia telah bersikap sangat tomboi dalam bersikap.
"Sudah, sekarang kita masuk kamar dan tidur. Nanti ayah tambah marah lagi," ajakku sembari meninggalkan kamar mandi.
Sang adik mengikuti dari belakang badan, dia pun tak henti-hentinya menghapus air mata yang keluar sejurus membasahi pipi. Tibalah kami di ruang tengah, ayah telah pergi bersama emak dan masuk ke dalam kamar.
Sementara aku bergeming di kamar ruang tamu, seraya menatap Siti tengah berjalan sangat gontai menuju kamar tidurnya. Secara saksama, aku pun memerhatikan tingkah sang adik malam ini, dia sangat sedih dengan sikap ayah yang memang membuat kami merasa terkekang.
'Dek, kamu yang sabar. Jelek dan baik ucapan orangtua, mereka tetap surga kita. Kamu sekolah berbasis agama, pasti tahu akan hal itu. Maafkan ayah kita, karena dialah yang membiayai kita sekolah selama ini.'
Selepas bersenandika, aku menatap langit-langit kamar seraya merenung tanpa henti. Sementara lampu belajar masih terang dan belum sempat aku matikan. Kehidupan kami seakan tidak ada yang istimewa, karena selalu mendapat sebuah perlakuan tidak enak dalam tutur sapa sang ayah.
Hanya Allah saja yang kelak akan menyadarkan ayah, dengan cara tepat dan tidak melalui mulut kami anak-anaknya.
Bersambung ...

KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Ku
Fiksi RemajaMenceritakan kehidupan seorang guru, terinspirasi dari kisah nyata penulis menjadi pendidik hingga menuai berbagai konflik dalam hidup.