TRAGEDI MASA LALU 05.

104 16 2
                                    

🧚🧚🧚

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🧚🧚🧚

    Sementara nan jauh di kota Bekasi di rumah sakit swasta yang besar dan bagus, seorang wanita paruh baya berkerudung sedang duduk di sisi seorang pria yang terbaring sakit.

"Oh, Tuhan. Kapan selang oksigen ini lepas dari mulut dan hidungnya, belum lagi selang yang berada di saraf otak belakangan kepalanya. Berikan anakku kesembuhan, Tuhan." Dalam gumam do'anya.

"Nak, ini Ibu. Bagaimana kabar kamu? Hari ini Ibu masak ikan goreng gurame bumbu jahe kesukaanmu, Ibu ingin makan bersama kamu. Sudah delapan tahun kau terbaring koma akibat kecelakaan itu, sekarang jaman sudah berubah. Usaha pecel Ibu juga mengalami peningkatan. Tapi Ibu sedih untuk siapa semua ini nantinya? Ibu berharap kau cepat sembuh, hanya kaulah harapan Ibu satu-satunya Nak."

Tiba-tiba seorang Nenek masuk menggunakan kursi Roda.

"Rupanya kau sudah datang Sri? Sudah, jangan kau tangisi terus lebih baik kau mengaji demi kesembuhan Putramu."

"Entahlah Nek, jika aku mengingat masa lalu rasanya aku ingin membalas kan rasa sakit ini."

"Sri Sri! Beristigfarlah, tidak baik mendendam. Lihatlah kehidupan kamu sekarang! Menjadi seorang pengusaha kuliner yang handal dan itu berkat kuasa sang ilahi Robbi. Apakah kau ingin mereka murka dan mengambil segalanya dari kamu? Walaupun Biantoro putramu satu-satunya koma, kau masih beruntung dapat membiayainya. Lihatlah aku Sri! Aku sudah tak punya siapa-siapa lagi sekarang." Sambil tertunduk menahan air matanya yang hendak keluar.

"Oh, Nenek. jangan kau ucapkan itu! Berkat Nenek kita bisa ke kota ini, dan sudah berulang kali aku ucapkan aku adalah pengganti anakmu." Ibu Sri mendekat dan menemeluk dengan penuh kasih sayang.

Tanpa disadari mereka, Biantoro yang terbaring koma perlahan mulai menggerakkan jari tengahnya. Matanya masih terpejam, namun ingatan Bian menerawang jau... h teringat akan masa lalu.

"Kita telah berdosa Ratih."

"Biarlah, hanya cara ini agar orang tua kita merestui."

"Biar bagaimanapun kita salah, kita telah berdosa. Kita melakukan hal yang dilarang Tuhan."

"Aku tahu, Bian! Itu karena, aku sangat mencintaimu dan aku tak ingin kehilanganmu. Dari kecil aku sudah mengagumi kau pemuda yang Sholeh dan baik."

"Iya, tapi apa bedanya aku dan mereka sekarang."

"Apa kau menyesal?"

"Ratih, aku juga sangat mencintaimu. Aku juga tak ingin kehilanganmu. Kau adalah nafas dari setiap denyut nadiku. Aku akan mempertanggung jawabkan perbuatan ku pada orang tuamu."

"Aku sudah membicarakan perihal kamu ke orang tuaku, tapi Abah dan Appa mereka menentangnya. Itu karena kau orang miskin dan Ibumu selalu menentang apa yang jadi keputusan Kuwu Abahku di kampung ini."

Pupuh Cinta Untuk IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang