RATIH TERSADAR 14.

84 10 0
                                    

  

🧚‍♀️🧚‍♀️🧚‍♀️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🧚‍♀️🧚‍♀️🧚‍♀️

  Semuanya terdiam sejenak melihat kelakuan Ratih.

"Sudah Pupuh! Kau berangkat sekolah saja, biar Nenek yang membersihkan kepingan beling ini."

"Tapi Nek?"

"Sudah, biarkan! Nenek masih bisa membersihkannya."

Sedangkan Ratih kembali berbaring miring membelakangi mereka.

"Pupuh, salah ya Nek?" Lirihnya.

"Sudah Pupuh, berangkatlah! Biar Nenek yang mengurus Ibumu. Ingat perkataan Nenek kemarin."

Pupuh mencoba mengingat ucapan Nenek kemarin, bahwa ingatan ibunya belum sepenuhnya kembali.

"Baiklah Nek, Pupuh berangkat."

Disaat hendak pergi Pupuh malah berpaling kembali mendekati Nenek seraya berbisik," maafkan Pupuh, Pupuh sayang sama Nenek." Dan pergi berlalu.

Purwatih yang sedikitnya mendengarkan hal tersebut mendadak hatinya tersentuh.

'Segitu dekatkah ikatan batin mereka? Apa Ibu masih menyayangiku?' pikirnya melayang tak tentu arah.

Nenek terenyuh mendengarkan ucapan Pupuh tersenyum dan menangis batinnya.

                        ^_^^_^^_^

   Sementara itu Pupuh terus berjalan dengan mengayun kaki kirinya yang pincang menahan kesedihan yang teramat dalam. Sampai ia pada bebatuan di lerang bukit Salam. Bebatuan yang tertumpuk menjadi besar, karena ia selalu melemparkan kesedihan, kesakitan, beriringan dengan batu yang ia lempar menjadi gundukan Batu Kesedihan.

"Aku harus kuat, seperti yang di katakan Mamang aku adalah Pupuh Rinjani yang mengalun berdiri tegak di bumi. Nenek memberikan aku nama Pupuh yang artinya lagu, alunan, dan pengiring. Sedangkan Rinjani Nenek berikan agar aku kuat, tegar, dan berdiri kokoh seperti gunung Rinjani di Lombok. Entah apa maksud Nenek memberikan aku nama seperti itu? Dulu saat umurku delapan tahun, aku masih ingat! Nenek berharap agar aku selalu tegar dan memberikan alunan syair pupujian agar dapat menentramkan siapa saja yang mendengar. Aku sedih melihat ibu tak kunjung sembuh." Ucap Pupuh terus melempar, menumpuk Batu.

"Hai, disini rupanya kamu? Lagi ngapain?"

"Iman!" Pupuh terperanjat mendengar suara yang mengagetkannya dan  membuyarkan keresahan dirinya.

"Kalau mau curhat itu sama Tuhan bukan sama Batu."

"Berisik kamu Iman, mengagetkan orang saja. Lagi-lagi kamu, aku juga tahu kalau soal itu. Kamu sendiri ngapain ke sini?"

"Iya, maaf deh! Hei, mau ikut aku tidak? Aku mau mengambil pisang yang sudah masak di pinggir hutan ini. Ayo...! takut keburu di ambil babi hutan."

"Nanti kita terlambat ke sekolahnya."

Pupuh Cinta Untuk IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang