KESEDIHAN 10.

84 11 1
                                    

🧚🧚🧚

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🧚🧚🧚

"lho! Mamang mau kemana ?"

"Oh, kamu sudah pulang. Bagaimana sekolah barunya, asik?"

Pupuh hanya diam memperhatikan Mamangnya.

"Yah... namanya juga anak baru, masih penyesuaian. Dari tadi aku sudah salam. Kok, gak ada yang nyahut! Mamang mau kemana?"

Deren berhenti sejenak lalu jongkok di depan keponakannya itu.

"Waalaikum salam. Aduh, maaf. Mamang tak mendengar soalnya lagi sibuk. Sekarang sudah rapih."

"Nenek kemana? Terus Mamang mau kemana? Untuk ketiga kalinya Pupuh bertanya.

"Nenek sedang ke sungai, Mamang mau ke Jakarta meneruskan kuliah Mamang."

"Mamang serius, Terus kita dengan siapa? Siapa yang akan bantu Nenek? Lalu Mang Deren mengapa pergi? Tidak bisakah mencari sekolah yang terdekat dari sini." Pupuh terkejut dan memberondong beberapa pertanyaan.

Mang Deren terdiam hanya menatap raut wajah Pupuh yang sedih, mendadak suasana jadi haru. Deren pun ikut sedih, namun ia menyembunyikan rasa sedihnya di depan keponakan itu. Di dekapnya sejenak keponakannya itu lalu melepaskan seraya berkata.

"Mamang sudah bicarakan hal ini dengan Nenek. Mamang harus pergi! Demi kalian, demi mimpi, demi harkat, dan martabat keluarga kita. Dengar pupuh! Kau harus kuat, seperti gunung Rinjani yang berdiri kokoh. Seperti namamu. Sekarang, Mamang percayakan kau yang harus menjaga Ibu dan Nenek. Jadilah anak yang berbakti dan menjadi kebanggaan orang tua." Deren mendengus dan berucap kembali." Pupuh, Mamang sayang sama kamu."

"Pupuh juga sayang sekali, sama Mamang." Dengan nada lirih mereka pun berpelukan kembali.

'Seandainya saja Ayahmu masih ada' pikir Deren."

'Bagaima dengan Nenek? Nenek pasti sedih. Lalu Ibu dan aku, apa yang mesti aku lakukan?' lamun Pupuh.

Untuk sesaat mereka hanyut dalam pikiran, kasih sayang, antara adik dan pamanya yang selama ini selalu bersama.

"Ya, sudah. Tunggu sebentar!" Deren bangkit berjalan menuju lemari, sambil menyusut air matanya yang tak ingin Pupuh lihat.

Pupuh mencoba mengerti akan pesan kata-kata Mamangnya itu.

"Pupuh ambilah ini! Ini Batu peninggalan Abah yang beliau berikan semasa hidupnya. Simpanlah baik-baik! jangan beritahu Nenek atau siapapun mungkin suatu saat akan berguna untuk kalian. Dan ini Buku tulis bukankah kau suka menulis. Tuangkan lah keresahan dan kegelisahan pada buku ini. Ini namanya buku Diary."

"Tapi Mang?"

"Sudah simpan, Mamang mau pamitan dengan Ibumu. Soalnya besok pagi-pagi sekali Mamang harus pergi."

Pupuh Cinta Untuk IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang