KERINDUAN 43

30 11 0
                                    

    Sementara itu setelah dua hari Ratih terbaring pingsan, ia pun mulai siuman

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

    Sementara itu setelah dua hari Ratih terbaring pingsan, ia pun mulai siuman.

"Ki, Aki awas...!" Teriak, terbangun dari mimpi.

"Ratih?"

"Kakak?"

"Oh, dimana aku?" Dengan nafas yang masih tersengal-sengal. Seluruh tubuhnya berkeringat.

"Syukurlah kau telah siuman?" Tenanglah! Kau aman sekarang, kau berada di rumah kami." Ucap ibu Sri yang duduk di samping pembaringan.

"Kau?"

"Siapa kalian?"terperanjat sambil menarik selimut.

"Kau tak mengenali kami?"

"Kau? Ibu Sri? Benarkah kau ibu Sri?" Dengan wajah yang masih pucat dan lemas, namun masih terlihat cantik.

"Iya, ini aku?"

"Ibu..." Ratih berteriak bahagia sambil memeluknya.

Sementara Saca yang berdiri tak jauh dari kakaknya hanya melihat, membiarkan mereka melepas rindu.

"Ibu, aku kangen ibu Sri!"

"Aku juga kangen sama kamu neng geulis, akhirnya takdir mempertemukan kita kembali cantik."

Derai Isak tangis mengisi ruangan kamar tersebut dengan pilu.

"Ibu Sri, maafkan aku!"

"Kau tak perlu meminta maaf, Kiai Putih sudah menceritakan semua tentang kamu."

"Ibu, aku--?"

"Stsss, Ibu punya kejutan untuk kamu, lihat! Apakah kau mengenalinya? Kemarilah nak! Mendekat."

Ratih menatap wajah tampan pria yang sudah mulai di tumbuhi brewok tipis seperti mendiang Appa.

"Kau? Wajah itu! Benarkah itu kau?"

"Iya, benar. Ini aku adikmu, Saca."

"Saca Prawira Negara adik kakak?"

Mereka berangkulan dalam derai air mata penuh bahagia.

"Kakak, aku kangen kakak! Bertahun-tahun aku mencari kakak, mencari keluargaku, akhirnya Tuhan mengizinkan kita untuk bertemu."

"Saca, kakak senang kau masih hidup!Oh, adikku. Akhirnya kita bisa bersama."

"Tunggu!" Ratih melepaskan dekapannya.

"Kalau ibu Sri masih ada. Dimana dia?" Ujar Ratih sambil menyusut air mata dengan kedua tangannya dan membenahi rambut panjangnya.

Ibu Sri tersenyum sambil terus menitikan air mata. Saca tersenyum penuh haru menatap kakak dan ibu Sri.

"Maksudmu Biantoro?"

"Apakah dia masih--?" Ratih tak melanjutkan ucapannya ia menangis kembali di atas tempat tidur sambil menutupi dengan kedua telapak tangannya.

"Kau masih ingat dengan dia? Kau merindukan dia?"

Pupuh Cinta Untuk IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang