CINTA 32

79 11 0
                                    

"Saat itu kehidupan kami sangat memperhatinkan, kami empat bersaudara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Saat itu kehidupan kami sangat memperhatinkan, kami empat bersaudara. Kami anak bungsu yang kembar. orang tua kami memberikan aku, Agung kepada pak Kiai untuk diangkat menjadi anaknya. Semula pak Kiai menolak, mereka juga hidupnya pas-pasan. Hingga ada dua Minggu aku diam-diam pulang dan tak ingin kembali. Pak haji datang dan membujuk aku, tetapi tetap saja aku engan kembali. Orang tua kami merasa tak enak lalu mereka memberikan Iman yang sakit-sakitan, pak Kiai menerima dengan catatan ini sudah menjadi keputusan orang tua kami." Tutur Agung.

Iman menyambung," Aku masih ingat! Saat itu aku marah kepada Kakakku, Agung. Aku yang sering sakit-sakitan di jauhkan dari keluarga ku sendiri. Tapi untungnya pak Kiai memberikan aku satu anak kerbau yang lucu, mulai saat itu aku terhibur dan bersemangat kembali saat kerbau-kerbau beranak pinang. Tapi kebahagiaan aku tak lama saat mendengar ayah dan ibuku hanyut terbawa arus." Iman terdiam tampak dari kedua matanya berkaca-kaca.

"Sejak saat itu aku benci sekali melihat Iman dan begitu pula dia, walaupun Iman sudah diangkat anak oleh pak Kiai yang kaya seperti sekarang. Iman tetap selalu ada di hati ibu dan bapak, bagaimana tidak? Kepergian bapak dan ibu yang ingin memberikan pecak ikan ke pada Iman membuat dua kakakku, ayah, dan ibuku, hanyut oleh luapan air bah sungai Salam." Agung tertunduk lesu.

Imanpun mendekat dan merangkul kakaknya, lama mereka meluapkan emosi dalam diri mereka dalam Isak tangis.

"Maaf kan kami Pupuh, kau harus melihat kami menangis seperti ini."

"Sejak saat itu, kami tak tegor sapa. Aku benci kepada Agung, karena ia membiarkan itu terjadi." Ujar Iman.

"Aku juga benci dengan Iman, kerena demi Iman demi makanan dan kasih sayangnya. Mereka harus meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Dan sejak saat itu aku putuskan untuk menjaili Iman dan membuat dia tak punya teman."

"Lalu bagaimana kau dan Ujang." Tanya Pupuh.

"Setelah kepergian orang tua kami, aku hidup sendiri dengan membantu para tetangga, mengambil kelapa, mencari ikan, dan menjualnya kepasar, pokoknya apapun aku lakukan agar aku bisa makan dan Ujang adalah keluarga angkatku. Maafkan aku juga Pupuh, karena pernah mengolok-olok dan menjaili kamu. Aku marah jika ada anak yang mau berteman dengan Iman."

"Kalian tahu!" Aku bangga mempunyai teman seperti kalian, kalian mau saling memaafkan dan membuang segala prasangka, amarah kalian, demi cinta. Cinta kepada kakak dan adik, cinta kepada keluarga. Aku yakin ibu dan bapak kalian pasti bangga dengan kalian. Tidak seperti aku." Ucap Pupuh lirih di akhir kalimat dan terdiam.

Iman dan Agung saling pandang dan menyusut air mata masing-masing lalu menghampiri Pupuh.

"Kamu tidak sendirian Pupuh, kami akan selalu menemani kamu." Sahut Iman.

"Sudahlah! Lupakan!" Tandas Pupuh.

"Bagaimana aku bisa melupakannya, Pupuh? Ibu dan bapak mu tega melakukan penculikan itu?"

Pupuh Cinta Untuk IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang