Perbincangannya dengan Asa beberapa waktu lalu tidak cukup membuatnya bisa memilih. Namun setidaknya Rena merasa lebih aman. Asa sempat mewanti hingga dua kali, mengatakan 'Kalo ragu jangan'. Bahkan lelaki itu mengatakan dengan lebih spesifik, jika Rena memang menolak Magic Shop lagi itu tidak akan menjadi masalah besar. Dia juga menawarkan diri untuk membantu menjelaskan kepada Raka dan Juni.
Malam ini Rena mendadak memilih untuk pulang ke rumah. Hari rabu benar-benar di luar kebiasaannya untuk pulang, terlebih dia tidak memberi kabar apapun terlebih dahulu. Maka tidak heran jika sebagian listrik di rumahnya sudah dipadamkan. Waktu masih menunjukkan pukul 07.55 wib saat Rena turun dari taksi online yang dia pesan. Padahal dulu ketika dia dan kedua kakaknya masih tinggal di sini, lampu-lampu ruangan baru dimatikan di atas jam sepuluh. Itupun anak-anak Hendrawan seringkali masih terjaga meski sudah memasuki kamar masing-masing.
Ya, semuanya memang berubah. Bahkan dalam kurun waktu yang terhitung cepat.
Ada untungnya juga Rena memiliki kunci duplikat semenjak dia keluar dari rumah, jadi bisa digunakan di saat-saat seperti ini. Dia menuju kamar utama -- tempat dimana Arum kemungkinan berada -- sekedar untuk menyapa sang ibu dan memberitahu keberadaannya jika sang ibu masih terjaga. Namun kamar itu kosong.
Kening Rena mengernyit, 'Mama lagi di luarkah?'
Ada niat untuk menghubungi Arum, namun urung negitu Rena melihat ponsel hitam Arum tergeletak di atas ranjang. Gadis itu memanggil Arum pelan, barangkali kalau Arum ada di kamar atau bahkan dalam kamar mandi suaranya akan terdengar, namun tidak ada sahutan apapun yang dia dapatkan.
Gadis itu memutuskan naik ke kamarnya di lantai atas. Pintu kamar Ega yang terlihat terbuka menarik perhatiannya. Alih-alih pergi ke kamarnya yang terletak sebelum kamar Ega, Rena lebih memilih melongok ke dalam kamar kakaknya.
Ibunya ada di sana. Duduk di atas ranjang, merapikan lipatan baju-baju Ega. Seingat Rena, baju-baju itu baik-baik saja di lemari. Kenapa dirapikan lagi?
"Ma, ngapain?" tanya Rena seraya mendekat.
Arum terlihat terkejut untuk sesaat, sebelum reflek mengulurkan tangan karena Rena memberi gesture ingin menyalaminya.
"Ini, beresin baju Kakak. Kamu kok gak ngasih tau kalo pulang? Tumben. Mama gak masak apa-apa."
"Tadi udah makan. Abis keluar, makan sama Bang Asa terus pulang sini aja."
"Asa...Harsa temennya Kakak itu ya?"
"Iya."
"Ooohh," Arum tersenyum kecil, sedikit terhibur dengan fakta itu. "Kamu pacaran sama Harsa?"
Rena berdecak, "Enggak Ma. Mama ih, dari dulu mikirnya aku pacaran sama Bang Asa."
"Soalnya Mama taunya kamu pernah keluar sama cowok ya cuma Harsa aja, dari masa Kakak masih ada."
Tidak ada sahutan yang Rena berikan, gadis itu memilih meraih ponsel dan mulai memainkannya. Entahlah, jika dibicarakan lagi seperti ini, rasanya ruang kosong akibat ketiadaan kakak tengahnya itu lebih terasa. Sementara Arum kembali melipat baju-baju Ega yang sebenarnya sudah terlipat rapi. Setelah selesai, wanita itu memasukkan semuanya perlahan ke lemari Ega. Hanya tersisa sedikit pakaian di sana, sudah banyak yang dibuang oleh Edgar. Meski sejak awal Arum menyayangkan itu, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Selain enggan menentang Edgar, juga karena itu adalah pesan Ega yang disampaikan pada Edgar. Beruntung Edgar tidak membuang semuanya, menyisakan beberapa barang di kamar ini agar tidak terlihat terlalu kosong.
Ekor mata Rena melirik sekilas Arum yang kini merapikan beberapa buku Ega. Dia ingin bertanya kenapa ibunya menangis -- karena terlihat jelas mata sembab Arum meski air matanya sudah tidak mengalir lagi. Juga ingin bertanya tentang kenapa Arum merapikan kamar ini malam-malam dan tidak menundanya hingga esok hari. Namun Rena menahan pertanyaannya ketika Arum terlihat serius membuka salah satu buku bacaan Ega. Terlebih beberapa detik kemudian terdengar helaan nafas berat dari Arum yang berhasil menarik perhatian Rena. Gadis itu mengangkat kepala yang sebelumnya tertunduk pada ponsel. Kini terang-terangan mengamati Arum dengan kening berkerut. Mulutnya mengucap kalimat tanya mengandung nada yang terdengar sedikit kasar, sebenarnya hatinya tidak bermaksud demikian. Hanya saja Rena memang bukan tipikal yang bertutur kata lemah lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIRU
General FictionAda kalanya, apa yang terjadi dalam hidup bertentangan dengan yang kita inginkan. Terkadang, fakta tidak berbanding lurus dengan dugaan. Seringkali, kita salah mengartikan isi hati seseorang. Biru tidak selalu tentang ketenangan dan kestabilan, warn...