Hubungan Edgar dan Ega membaik begitu saja. Tanpa banyak bicara, satu sama lain seolah melupakan perdebatan mereka malam itu. Menganggap hal itu hanya satu dari sekian banyak pertengkaran kecil antar saudara.
Walaupun dalam pikirannya, masing-masing dari mereka tetap menyimpan banyak tanya dan beberapa protes sekaligus keluhan hidup.
Rena pun demikian, menyimpan banyak keresahan dan rasa lelah. Gadis itu menyedot susu cokelatnya perlahan -- pemberian dari teman Ega yang baru saja berkunjung. Lelaki bernama Harsa -- yang lebih memilih dipanggil Asa -- yang memiliki senyum hangat dan aura menyenangkan. Ega bilang, lelaki itu adalah seseorang yang menempati ruangan di seberang ruangannya yang Rena masuki beberapa hari lalu. Seingat Rena, itu pasti ruangan bertuliskan Your Hope.
"Ren?"
"Hmm?" Rena mendongak, menatap Ega yang mengisyaratkannya agar mendekat ke ranjang.
"Besok mau wakilin kakak?"
"Kemana?" kening Rena berkerut.
"Acara penghijauan. Besok jatah libur kamu juga kan di toko?"
"Penghijauan dimana?"
"Daerah Bogor."
"Aku sendirian?"
"Ya enggak, masa iya mau tanam-tanam sendiri," Ega terkekeh. "Sama temen-temen abang. Bang Asa yang tadi itu, terus Jimmy, inget kan? Sama Davin juga."
"Gak mau, kan gak kenal."
"Kan kamu pinter berbaur, kan pernah ketemu mereka juga."
"Tapi kan baru kenal, canggung."
"Hhh ya udah kalo gitu, padahal tadi kakak bilang sama Bang Asa kalo kamu gantiin kakak."
"Gak mau! Kakak kok seenaknya."
"Iya iya, gak usah kalo gak mau."
Keduanya terdiam, Rena kembali meminum susu kotaknya sementara Ega hanya memandang langit-langit kamar. Sebelum dia mengatakan hal yang membuat jantung Rena berdetak cepat.
"Ren, nanti kalo kamu butuh apa-apa pas kakak gak bisa bantu, kamu hubungi teman-teman kakak. Mereka orang baik semuanya, di dompet kakak ada kartu nama mereka. Mungkin mereka pernah punya pikiran buruk sama kamu karena dulu kakak pernah ngeluh tentang kamu yang susah diatur, tapi kalo kamu butuh bantuan apapun. Mereka bakal bantu sebisanya, kakak udah minta tolong sama mereka."
Seingat Rena, ini kalimat paling panjang yang Ega ucapkan dalam satu waktu sejak...entah sejak kapan. Tapi rasanya aneh ketika Ega mengucapkannya. Mendadak Rena takut kehilangan Ega. Tapi lidahnya terlalu kelu untuk menyahut kalimat Ega, gadis itu hanya diam, mengerjap sebentar ketika saling tatap dengan Ega, kemudian memalingkan wajahnya begitu saja.
"Denger kan?"
"Hmm."
Mereka kembali membiarkan hening menguasai. Ega menghela nafas. Padahal, dia baru saja menekan gengsinya dalam-dalam demi mengatakan hal semacam itu pada sang adik. Tidak tahunya sang adik justru tidak menanggapi sesuai yang dia inginkan. Pergerakan Ega terbatas sekarang. Tubuh dan pikirannya sudah tidak bisa diandalkan. Itu sebabnya dia tidak yakin bisa membantu Rena mengatasi masalahnya. Tapi jika teman-temannya bisa membantu, tentu Ega merasa sedikit lebih baik. Hanya saja, Rena pasti butuh waktu untuk itu.
"Kak?"
"Apa?"
"Rumah yang kemaren itu...tempat apa sih?"
"Hmm semacam...Magic Shop."
"Hah? Toko sulap?"
Ega terkekeh, "Yang lainnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
BIRU
Ficção GeralAda kalanya, apa yang terjadi dalam hidup bertentangan dengan yang kita inginkan. Terkadang, fakta tidak berbanding lurus dengan dugaan. Seringkali, kita salah mengartikan isi hati seseorang. Biru tidak selalu tentang ketenangan dan kestabilan, warn...