"Gak," Edgar mati-matian menahan tawa sementara di line seberang Ega masih menggerutu, meminta Edgar mengembalikan satu set piyama Ega yang -- Edgar bilang -- tanpa sengaja terbawa saat Edgar pindahan.
"Kamu masih punya yang lain...ya udah beli lagi...gak ah ribet...hahaha," pada akhirnya Edgar tertawa lepas, seraya terus mengatakan alasan tak masuk akal yang intinya dia tidak mau membawakan piyama itu pada Ega.
"Udah ah, ganggu aja. Abang sibuk, udah matiin," tanpa menunggu persetujuan Ega, Edgar mematikan telepon sepihak.
Pria itu masih tersenyum simpul setelahnya. Menggoda adik pertamanya memang menyenangkan, berbeda dengan saat dia berhadapan dengan adik keduanya yang justru lebih sering membuatnya ingin marah. Padahal dulu ketika kecil Rena terlihat sama lucunya dengan Ega.
"Kenapa?"
Edgar menoleh, mendapati Sitta yang baru saja meletakkan sayur di atas meja makan. Omong-omong mereka tidak mempekerjakan pembantu, karena hingga hari ini Sitta merasa masih sanggup membereskan semuanya sendiri.
"Ega...ngomel gara-gara piyamanya kebawa," jawab Edgar.
"Ya udah balikin."
"Gak, ini aku sengaja bawa sebenernya, bukan gak sengaja. Biar aja."
"Usil emang."
"Piyamanya bagus sayang."
"Ya tapi bukan punya kamu."
"Biarin, nanti juga Ega diem. Dia gak bakal protes lama-lama."
Sitta meletakkan hidangan terakhir di atas meja, duduk di hadapan Edgar dan menatap suaminya dalam.
"Mas?" panggilnya yang membuat Edgar mengalihkan pandangan dari hidangan makan malam di atas meja ke arah wajah istrinya.
"Bukan berarti Ega gak banyak protes, terus mas bisa sembarangan lakuin sesuatu sama dia. Orang kayak dia diem setelah ngungkapin perasaannya bukan berarti dia setuju dan nerima, tapi bisa aja karena dia udah capek ngomong. Kayak barusan, dia minta mas balikin piyamanya, tapi mas gak mau. Kalo dia gak minta lagi, itu bukan karena dia udah ikhlasin tapi karena dia pikir bakal percuma minta itu sama mas."
"Kamu tahu darimana?" Edgar tersenyum simpul, sekilas justru terlihat seperti meremehkan pendapat Sitta. Jujur saja, itu karena sebagian sisi dirinya merasa perkataan Sitta cukup melukai harga dirinya. Edgar merasa tidak terima dengan kalimat Sitta yang terkesan menggurui dan menyalahkannya.
"Aku konselor Mas."
Ah iya, bagaimana bisa Edgar lupa dan meragukan Sitta? Bukankah selama ini Sitta juga sering mengatakan hal serupa?
Tapi kan, Sitta belum pernah berkomunikasi secara mendalam dengan kedua adiknya. Bukankah itu tidak adil jika menilai hanya dengan sekali lihat? Tidak peduli jika Sitta sudah lulus dari S2 Psikologi dan kini menjadi salah satu konselor di bawah seorang psikiater yang membuka praktek pribadi.
Sitta juga menjadi satu yang menampung banyak curahan hati Edgar selama ini. Itu cukup membantu Edgar tetap tenang, walau di banyak kesempatan Sitta justru mengutarakan pendapat yang berbalik dari keinginan Edgar. Singkatnya, seringkali Sitta berhasil menempatkan diri dalam situasi netral. Edgar bukan kliennya, tapi Sitta juga tidak selalu menempatkan status Edgar sebagai kekasihnya -- yang harus terus dibela -- saat sesi curhat terjadi. Wanita itu akan menilai dari sudut pandangnya, jika sikap Edgar baik dia akan mendukung, tapi jika salah dia akan menegur. Dia tidak selalu membenarkan setiap kelakuan Edgar.
Seperti saat ini.
Tapi anehnya meski Edgar beberapa kali merasa kecewa karena hal itu dia tetap bertahan dengan Sitta. Karena di samping sisi dirinya yang merasa sakit hati dengan perlakuan Sitta, sisi dirinya yang lain juga percaya bahwa Sitta dapat membantunya menjadi orang yang lebih baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIRU
General FictionAda kalanya, apa yang terjadi dalam hidup bertentangan dengan yang kita inginkan. Terkadang, fakta tidak berbanding lurus dengan dugaan. Seringkali, kita salah mengartikan isi hati seseorang. Biru tidak selalu tentang ketenangan dan kestabilan, warn...