Entah bagaimana alur rencana yang Tuhan berikan pada kehidupan manusia. Tidak ada yang tahu bagaimana pastinya selang seling perhitungan kesedihan dan kebahagiaan yang Tuhan berikan.
Ada kalanya, manusia merasa Tuhan memberikan kesedihan secara berangsur-angsur. Terkadang kesedihan itu menyambut ketika manusia baru saja sampai di ujung kebahagiaan atau bahkan ketika mereka tengah berbahagia. Setidaknya begitulah pemikiran mereka yang merasa Tuhan tidak adil. Meski pada kenyataannya Tuhan Maha Adil, sementara manusialah yang enggan mendapat kesengsaraan dan menuntut lebih banyak kegembiraan.
Baru saja Rena merasa dan mengira kehidupan keluarganya akan membaik semenjak dia berdamai dengan Edgar, tapi angin dingin tak kasat mata itu seolah kembali datang menghancurkan hubungan hangat mereka. Atau lebih tepatnya hubungan hangat diantara keluarga mereka.
Beberapa hari belakangan, Ega seolah sedikit menarik diri. Jika memilih untuk mendekati langsung sebenarnya tidak ada yang berbeda dan dia akan tetap menanggapi seperti biasa. Hanya saja Ega terlihat enggan memulai. Sementara Arum sudah kembali seperti semula seolah tidak ada apa-apa. Di sisi lain Edgar juga sudah berusaha untuk mendekati Ega.
Setidaknya itu yang tampak di mata Rena. Hhh jika begini Rena ingin cepat-cepat keluar dari rumah saja, tidak ingin terlibat terlalu jauh. Walau sebenarnya dalam hati dia sedikit penasaran dengan kesehatan Ega. Karena sejak keributan malam itu sampai sekarang tidak ada yang mengatakan padanya tentang kondisi Ega yang sebenarnya.
Mau bertanya pun Rena tidak tahu pada siapa. Dia tidak menemukan waktu yang tepat bertanya pada Edgar, ingin bertanya pada Arumpun juga demikian. Bertanya pada Ega? Susah sekali menemui Ega belakangan, kakaknya itu seringkali sudah mengunci pintu kamar setiap kali dia pulang. Pagi sebelum Rena berangkat dia juga jarang bertemu dengan Ega.
Hingga malam ini, Rena pikir adalah waktu yang tepat untuk bertanya pada Arum. Meski sebenarnya Rena sendiri tidak tahu apa yang akan dia lakukan jika tahu tentang Ega. Karena jujur saja hingga saat ini rasa penasarannya lebih besar dibanding rasa khawatirnya.
"Ma?"
Arum menoleh ketika pintu kamarnya terdorong terbuka, menampilkan sang ibu yang sedang memijat pelan wajahnya. Arum baru saja melepas sheet mask yang dia pakai sebelumnya.
"Apa Ren?" tanya Arum ketika Rena mendekat padanya.
"Kakak kenapa sih Ma?"
"Ngambek kali," jawab Arum asal. Seolah tidak sadar bahwa apa yang dia lakukan selama ini juga menjadi salah satu penyebab si tengah itu terluka.
"Maksudnya tuh, sakitnya kakak...makin parahkah?"
Arum terdiam, menatap si bungsu dengan pandangan sulit diartikan. Mendapat pertanyaan semacam ini membuatnya ingat pada apa yang sebenarnya terjadi pada Ega. Ada perasaan tidak enak dalam hatinya jika harus mengingat fakta ini.
"Kapan lalu abang ngomongin tentang kemo. Emang orang hepatitis perlu kemo?" kali ini Rena ingin mempertanyakan apa benar kakaknya menderita kanker seperti dugaannya atau tidak. Namun dia tidak menemukan kalimat yang tepat untuk menanyakannya.
"Kakak kena kanker," jawab Arum setelah menghela nafas, "Hepatitisnya berkembang jadi sirosis terus akhirnya jadi kanker."
Rena terdiam, dalam pandangannya kanker itu bukan penyakit yang mudah disembuhkan. Hei tunggu dulu, jika diingat lagi masalah sirosis itu Rena juga tidak tahu. Lalu sekarang kanker...apa kakaknya akan sembuh?
"Kakak bisa sembuh?"
"Kita gak tau Ren. Ada kemungkinan sembuh kalo kakak jalanin cangkok hati, tapi kita gak tau kapan ada donor yang tepat buat kakak. Selama nunggu, kakak cuma bisa ngandalin terapi sama obat. Sama kita perhatiin pola hidupnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
BIRU
قصص عامةAda kalanya, apa yang terjadi dalam hidup bertentangan dengan yang kita inginkan. Terkadang, fakta tidak berbanding lurus dengan dugaan. Seringkali, kita salah mengartikan isi hati seseorang. Biru tidak selalu tentang ketenangan dan kestabilan, warn...