Seumur hidupnya, Ega hanya ingin dihargai dan dilihat.
Bocah tujuh tahun itu keluar dari kamarnya, di depan sudah ada sang kakek yang siap mengantar ke sekolah.
"Sudah Ga?" tanya kakeknya.
Ega hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Sudah pamit mama?"
Untuk kedua kalinya Ega mengangguk.
Keduanya masuk kedalam mobil. Dalam hitungan detik mobil itu sudah berjalan mulus menyusuri jalan menuju sekolah Ega. Hari ini pengambilan raport dan untuk kesekian kalinya dia harus menerima fakta bahwa sang kakeklah yang akan mengambil raportnya. Hendrawan sibuk mengurus toko sementara Arum sibuk mengurus Rena. Ega memperbaiki duduknya, sekarang sekali lagi dia harus menahan iri jika nanti melihat teman-temannya yang kebanyakan bersama ayah atau ibu masing-masing.
Tapi bagi Ega hal itu rasanya sulit sekali. Sebesar apapun dia berusaha menjadi anak penurut, tetap saja itu terlihat kurang di mata semua orang.
"Kamu pulang sekolah bantu ke toko Ga, sama abang," ujar Hendrawan.
Ega baru kelas III SD saat ini. Dia memang bukan tipe anak yang memiliki banyak teman, jarang bermain seperti anak seusianya. Tapi dia juga ingin menikmati masa kecilnya. Hanya saja, dengan perkataan ayahnya pagi itu Ega tahu. Dia akan diperlakukan sama dengan Edgar. Diminta membantu bisnis orang tua di usia yang sangat muda.
Itu bukan hal asing bagi keluarga Hendrawan. Orang tua Ega juga bukan berasal dari keluarga yang kaya sejak lahir. Masa kecil mereka juga terkadang dihabiskan dengan membantu orang tua masing-masing, berdagang. Dan itu berlaku turun temurun.
Ega hanya bisa menerima dan menurut, karena dia tahu membangkang perintah ayahnya akan menimbulkan kemarahan Hendrawan. Pada Edgar saja ayahnya tega -- jika sewaktu-waktu Edgar membangkang -- apalagi padanya? Jadi, menurut adalah pilihan satu-satunya.
Ega bukan lelaki berandalan, dia bukan anak nakal. Jika dia melawan, itu karena dia merasa semua yang diterimanya sudah kelewat batas dan sudah tidak masuk batas toleransinya lagi. Dia tidak pernah mencari gara-gara, dia selalu berusaha tidak melakukan hal buruk, tapi jika ada satu hal yang tidak berjalan sesuai rencana, Ega seolah menjadi satu yang patut disalahkan.
"Ega, gimana sih adeknya jatoh ini!" Arum berteriak emosi.
Bocah sembilan tahun itu menatap sang ibu takut. Padahal Rena yang tidak bisa diam hingga terjatuh dari kursi dan kepalanya membentur lantai.
"Kalo jaga adeknya yang bener Ega, kamu tuh kakak."
Mata Ega memanas, air mata sudah mulai menggenang di sana. Ketika air mata itu siap meluncur jatuh, dia mengusapnya kasar, dia tidak ingin terlihat cengeng. Tapi rasanya dia tidak suka diperlalukan seperti itu. Ega tidak suka dimarahi, tidak suka selalu disalahkan. Karena rasanya menyakitkan.
Tanpa ada yang menyadari, sejak saat itu Ega sedikit menjauhi Rena, menjaga jarak. Dia tidak ingin lagi disalahkan jika terjadi sesuatu pada sang adik.
Sakit.
Satu keluhan itu berputar dalam kepala Ega. Rasanya dia ingin meneriaki siapapun yang ribut membuat suara bising atau menyentuh tubuhnya saat ini. Tapi jangankan untuk berteriak, untuk membuka mata saja rasanya berat sekali. Ega sudah mencoba sejak tadi, namun dia tidak kunjung berhasil.
Kali ini bukan hanya hatinya yang sakit, tapi tubuhnya juga. Bahkan seluruh tubuhnya rasanya tidak karuan.
'Papa mau nganter abang,' itu satu pemikiran yang menyadarkan Ega ketika pagi itu dia melihat Hendrawan sudah bersiap.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIRU
Fiksi UmumAda kalanya, apa yang terjadi dalam hidup bertentangan dengan yang kita inginkan. Terkadang, fakta tidak berbanding lurus dengan dugaan. Seringkali, kita salah mengartikan isi hati seseorang. Biru tidak selalu tentang ketenangan dan kestabilan, warn...