Menjaga kakaknya yang kembali kambuh tidak pernah ada dalam daftar rencana Rena akhir-akhir ini. Terlebih dengan pekerjaannya belakangan yang seolah menguras seluruh energinya setiap hari, secara fisik dan mental. Lalu kini energi fisiknya kembali harus terkuras ketika dia masih harus pergi ke Rumah Sakit sepulang kerja bahkan tadi pagi dia harus berangkat dari Rumah Sakit yang otomatis membuat dia harus bangun dan berangkat lebih pagi, menguras tenaganya lebih awal. Kemarin bergantian menjaga kakaknya, dia juga memasang wajah baik-baik saja -- lebih tepatnya tersenyum dan ceria seolah tidak memiliki beban apapun di tempat kerja -- di depan Arum, Ega, Bu Ratna, Pak Deni dan tenaga medis lalu hari ini dia juga harus memasang ekspresi baik-baik saja di depan Edgar dan Sitta.
Sebenarnya untuk kali ini, Rena bertekad untuk tidak banyak mengeluh. Karena saat ini dia senang dan ingin berada di dekat Ega. Karena di depan Ega dia tidak perlu berpura-pura bahagia. Saking senang dan nyamannya, jika perlu dia ingin tidur sambil memeluk kakaknya itu. Sayang untuk kali ini Ega menolak. Mengatakan ranjang Rumah Sakit terlalu sempit, mengatakan bahwa tubuhnya bau karena baru dua kali mandi sejak hari terakhir kemo, mengatakan bahwa ranjangnya kotor dan segalanya.
Jadi, Rena harus merasa cukup hanya dengan mendengarkan ucapan kakaknya meskipun beberapa di antaranya membosankan dan tidak Rena pahami sepenuhnya. Karena Ega sering meracau, dan beberapa kali Rena tidak paham apa yang kakaknya bicarakan. Terkadang Rena balas menceritakan sesuatu tentang hari-harinya, yang ringan-ringan tentu saja. Karena dia juga enggan menambah beban pikiran Ega untuk saat ini.
Gadis itu tengah diam-diam memakan cokelat tanpa suara di samping ranjang Ega ketika sang kakak tertua datang. Dia menoleh ke arah Edgar, tidak memiliki keinginan menyambut ketika Edgar dan Sitta tengah memberi salam pada Arum. Baru ketika Edgar mendekat, Rena bersedia beranjak. Sekilas menatap Edgar sebelum berjalan cepat ke arah Sitta dan menerima makanan pesanannya.
Sudut mata Rena tetap mengamati gerakan Edgar yang mengusap pelan lengan Ega, berusaha agar gerakannya tidak membangunkan si tengah.
"Gak cocok obat kemo?" tanya Edgar pelan.
"Iya, sama ya emang kondisinya memburuk. Ketahanan tubuhnya juga lagi rendah," jawab Rena.
"Triple kill," Edgar bergumam lebih pelan. "Terus abis ini gimana?"
"Ganti obat kemungkinan Gar, tapi baru bisa lanjut kalo kondisinya membaik," kali ini Arum yang menjawab.
"Kenapa baru tahu sekarang kalo obatnya gak cocok?"
Arum menggeleng, "Mungkin karena penyakitnya terus berkembang. Yang sebelumnya gak bermasalah sekarang bermasalah," Arum beranjak dari sofa, mendekati si sulung yang sepertinya belum bersedia berhenti bertanya.
Mata Edgar melirik Sitta dan Rena yang mulai sibuk menata makanan di atas meja, sebelum kembali menatap Arum yang kini berdiri di dekatnya, "Terus berkembang?" bisiknya tertahan.
Kali ini Arum mengangguk.
"Kenapa Ma? Terapinya selama ini..."
"Sia-sia. Dokter bahkan udah kehilangan cara. Kenapa penyakitnya terus berkembang waktu terapinya bahkan gak berhenti?" Arum menggeleng lagi.
"Donor?"
"Belum ada kabar Gar. Kamu tau itu butuh waktu yang gak sebentar."
Keduanya menoleh ketika mendengar suara lenguhan pelan. Edgar dengan sigap menduduki kursi di sebelah ranjang, mengusap surai Ega yang sedikit lepek. Berniat membuat si tengah kembali tidur namun sayangnya kedua kelopak mata itu justru menggeletar terbuka, menampilkan dua iris kecoklatan yang terlihat sayu.
"Hei," sapa Edgar akhirnya ketika kedua mata itu terbuka sempurna.
"Hei," balas Ega dengan suara sedikit serak. "Kapan dateng?"
KAMU SEDANG MEMBACA
BIRU
Fiksi UmumAda kalanya, apa yang terjadi dalam hidup bertentangan dengan yang kita inginkan. Terkadang, fakta tidak berbanding lurus dengan dugaan. Seringkali, kita salah mengartikan isi hati seseorang. Biru tidak selalu tentang ketenangan dan kestabilan, warn...